Tidak Butuh Judul [9]
Ify seketika merubah air mukanya menjadi masam ketika
mendapati Rio di ruangan itu bersama Alvin. Entah sejak kapan pemuda itu di
sana. Padahal sepuluh menit yang lalu ketika Ify meminta izin untuk mengurusi
administrasi, di ruangan itu hanya ada Alvin seorang diri. Gadis itu melengos
ketika Rio menoleh padanya. Tidak peduli dengan desahan kecewa dari sang
pemuda.
Rio tahu
bahwa Ify masih marah padanya. Terlihat dari sikapnya yang berbeda. Terbaca
dari matanya yang selalu menghindar untuk menatapnya. Dia seakan mengabaikan
kehadirannya. Menganggap bahwa dirinya sama sekali tak ada. Padahal jelas-jelas
batang hitungnya begitu kentara.
“Kita
pulang sekarang, Vin! Bentar ya aku telepon taksi dulu!” ujar Ify seraya
mengeluarkan ponsel dari tasnya.
“Mending
pakai mobil gue aja!” tukas Rio. Dengan senang hati menawarkan tumpangan.
“Iya, Fy!
Nebeng sama Kak Rio aja,” ujar Alvin, mendukung tawaran Rio.
Ify
memandang Alvin yang tengah menatapnya sayu. Ya sudahlah, atas nama
persahabatan yang ia junjung begitu tinggi, ia rela membuang semua gengsi.
Gadis itu akhirnya mengangguk, menyetujui. Meski sepanjang perjalanan pulang,
hanya suara dehaman yang keluar dari mulut Ify. Tidak ada percakapan atau
nyanyian random yang biasa gadis itu gumamkan kala menikmati sebuah perjalanan.
Mungkin memang perjalanan itu teramat tidak dinikmati oleh Ify.
***
Hari sudah
malam, dan Alvin sudah bisa ditinggal sendirian. Setelah memberikan
wejangan-wejangan untuk beristirahat dengan cukup pada pemuda itu, Ify
berpamitan pulang. Gadis itu berjanji besok akan kembali lagi.
Ify melongok
ke arah kanan, mencari penampakan angkot dengan jurusan yang melintasi
apartemennya. Ketika tiba-tiba Rio datang dan menarik bahu Ify agar menghadap
ke arahnya. Ify memberengut. Memperlihatkan ketidaksukaannya atas sikap Rio.
“Pulang
bareng gue aja kenapa sih?” tanya Rio sarkatis. Pemuda itu berdecak samar.
Ify memutar
bola matanya. “Ga mau! Aku pulang naik angkot aja.”
“Terus gue
tega ngebiarin lo balik sendiri naik angkot? Kalau di jalan lo kenapa-napa gimana?”
tanya Rio dengan nada yang semakin meninggi. Terdengar sekali kekhawatirannya
terhadap Ify pada setiap kata yang terlontar dari mulutnya.
“Pokoknya
aku mau pulang naik angkot aja!” ujar Ify, masih berpegang teguh pada
pendiriannya.
“Lo tuh
susah banget ya dibilangin? Oke. Gue bareng sama lo naik angkot!” tukas Rio.
Ify
membelalakan mata. “Loh, ga bisa gitu dong!”
Rio
bersiul-siul tidak peduli.
“Kakak tuh
susah banget ya dibilangin?” keluh Ify, mengutip kalimat Rio yang ia ucapkan
dengan nada kesal. “Oke. Aku pulang naik mobil Kakak.” Akhirnya, Ify menyerah
juga.
“Nah! Gitu
dong!” ujar Rio. “Yuk!” pemuda itu meraih
lengan Ify.
Ify
menepis tangan Rio cepat. Kemudian berjalan mendahului pemuda itu. Entah
mengapa, dadanya tiba-tiba berdebar.
***
Tidak
ada suara apa pun selain penyiar radio yang begitu bersemangat menyapa
pendengarnya, yang diselangi lagu-lagu terhits masa kini yang memenuhi mobil
itu. Dua penumpangnya sama sekali tidak
berkata apa pun. Ify masih amat kesal dan marah akan apa yang telah dilakukan
Rio tadi siang. Jadi, buat apa mengobrol? Nanti yang ada mereka malah
bertengkar dan drama ‘turunin aku di sini sekarang’ pun akan terjadi. Ify tidak
mau. Terlalu sinetron. Dan ia pun terlalu sibuk berkutat dengan jantungnya yang
ia rasa memompa lebih cepat dari biasanya. Detaknya pun tak berirama. Isi
rongga dadanya chaos.
Sementara
Rio sendiri bingung harus memulai dari mana. Sembari menyetir, ia merangkai
kata demi kata yang tepat untuk meminta maaf. Agar gadis di sampingnya mau
mendengar penjelasannya dan bukan malah mengamuk kemudian minta turun di tengah
jalan. Oh betapa ia berharap Ify tidak sedrama itu.
Dan
kebisuan itu pun bertahan sampai di apartemen mereka. Rio masih belum menemukan
cara yang tepat untuk meminta maaf, dan Ify sama sekali tidak berharap maaf
dari pemuda egois itu.
Sampai
akhirnya, ketika Ify akan membuka pintu apartemennya, barulah Rio sadar bahwa
ia tidak akan bisa tidur malam ini kalau masalahnya dengan Ify belum selesai.
Segera ia menahan tangan Ify yang hendak memutar kenop pintu.
Ify
merengut ketika tangan Rio menyentuh punggung tangannya. Segera ia tarik
kembali tangannya. Ia mendelik tajam pada Rio. Menunggu apa yang akan dilakukan
pemuda itu selanjutnya.
Rio
menghela napas panjang, bersiap-siap. “Sori, Fy! Soriii banget! Gue ngaku gue
salah. Gue benar-benar nyesel.”
Ify
hanya menatap datar, seperti masih meragukan permintaan maaf dari Rio.
“Minggu
depan nyokap gue ulang tahun. Gue mau
kasih sesuatu yang spesial buat dia di hari ulang tahunnya.” Rio menelan ludah.
“Selama ini gue selalu nyusahin dia.
Satu hari aja gue pengen bahagiain dia.”
Ify
mendesah pelan. Tiba-tiba hatinya merasa tersentuh. Sensitif sekali baginya
ketika mendengar sesuatu yang berhubungan dengan ibu. Karena hampir selama
hidupnya, tidak pernah ia rasakan kasih sayang seorang ibu. Karena ia selalu
iri pada orang-orang yang bisa melakukan banyak hal untuk ibunya, sementara
dirinya tidak. Karena ia teramat membenci orang-orang yang menyakiti ibu
mereka.
“Lo
mau maafin gue?” tanya Rio penuh harap.
Meskipun
tindakan Rio tidak bisa dibenarkan, tapi Ify tidak bisa untuk tidak memaafkan
pemuda itu. Selain karena alasan Rio, juga karena sesuatu dalam hatinya
mendorongnya untuk memaafkan. Gadis itu mengangguk pelan.
“Makasih
ya!” tukas Rio dengan wajah berbinar. “Kalau gitu gue ke kamar gue dulu. Daa.”
“Kak
Rio sebentar,” ucap Ify tiba-tiba. Membuat tubuh Rio urung berbalik. “Aku mau
bantuin Kak Rio,” lanjut gadis itu.
Rio
menarik ujung-ujung bibirnya ke atas. “Serius?” ia memastikan.
“Ya.”
jawab Ify singkat seraya tersenyum. Kalau ia tidak bisa membahagiana ibunya
secara langsung, paling tidak ia bisa melakukan sesuatu untuk seseorang yang
dipanggil ibu oleh orang lain.
“Makasih
ya, Fy!” ujar Rio bahagia. Terlalu bahagia sampai-sampai ia hendak menghambur
memeluk Ify. Namun urung karena gadis itu terlebih dahulu mundur dan meringkuk.
Rio menggaruk tengkuknya salah tingkah. “Sori sori…”
Ify
menyeringai. “Kalau gitu, aku masuk ya, Kak! Daa.” Gadis itu memutar tubuhnya.
Kemudian mendorong pintu kamarnya sehingga tertutup rapat. Membuat penampakan
Rio tidak lagi bisa dilihatnya. Ify menelan ludah. Merasakan jantungnya
tiba-tiba berdebar lebih cepat ketika Rio hampir saja memeluknya. Gadis itu
menggeleng. Melupakan kejadian beberapa menit yang lalu. Ia langsung berlari ke
kamarnya. Melempar tubuhnya ke atas tempat tidur. Menatap langit-langit. Untuk
segala kekacauan yang terjadi hari ini, ia berharap untuk tidak pernah terulang
lagi. Ia juga berharap bahwa tidak akan terjadi apa-apa karena kejadian hari
ini.
***
“
Jadi,
menurut lo gue kasih hadiah apa buat nyokap gue?” tanya Rio sesaat setelah
capuchino pesanannya tiba di atas meja. Siang ini dirinya dan Ify memutuskan
untuk makan siang berdua di cafeteria kampus, setelah semalam mereka berdamai
dan bahkan tadi pagi mereka berangkat ke kampus bersama.
Ify
menelan suapan bakso pertamanya. Berdeham kemudian berujar mantap, “Waktu.”
Rio
mengerenyit bingung. “Waktu?”
“Iya.
Waktu. Semua orang bisa beli apa pun, kecuali waktu. Kakak ingat terakhir
ngabisin waktu sama Mama?”
Rio
merasa hatinya mencelos ketika menyadari bahwa sudah lama sekali ia tidak
memiliki waktu untuk dihabiskan bersama mama. Bahkan ia sudah lama tidak
pulang. Ia tersenyum getir. “Udah lama banget.”
“Nah,
itu dia. Di hari ulang tahunnya, Kakak bisa kasih seharian waktu Kakak buat
Mama. Ga susah kan meluangkan waktu sehari aja?”
Rio
mengangguk. Tidak untuk mamanya. Untuk perempuan paling ia sayangi seluruh dunia,
yang tidak pernah mengkhianatinya, yang selalu ada untuknya. Rio tersenyum. Menatap
Ify, perempuan yang selalu mengingatkannya pada Mama. Mama yang pintar memasak,
yang selalu memaafkannya, yang membuat dirinya merasa lebih baik.
“Thanks
ya, Fy! Lo makan yang banyak, biar ga sakit. Soalnya weekend nanti lo harus
ikut senang-senang sama gue dan nyokap,” tukas Rio.
Ify
tersedak mendengar apa yang diucapkan Rio. Terburu-buru ia meneguk air putih.
Setelah tenggorokkannya tidak lagi sakit, ia meminta penjelasan pada Rio. Tapi
Rio hanya tersenyum. Baginya, semuanya sudah jelas.
*Bersambung*