Tidak Butuh Judul [9]

Kamis, 16 Juni 2016

Tidak Butuh Judul [9]


Ify seketika merubah air mukanya menjadi masam ketika mendapati Rio di ruangan itu bersama Alvin. Entah sejak kapan pemuda itu di sana. Padahal sepuluh menit yang lalu ketika Ify meminta izin untuk mengurusi administrasi, di ruangan itu hanya ada Alvin seorang diri. Gadis itu melengos ketika Rio menoleh padanya. Tidak peduli dengan desahan kecewa dari sang pemuda.

            
Rio tahu bahwa Ify masih marah padanya. Terlihat dari sikapnya yang berbeda. Terbaca dari matanya yang selalu menghindar untuk menatapnya. Dia seakan mengabaikan kehadirannya. Menganggap bahwa dirinya sama sekali tak ada. Padahal jelas-jelas batang hitungnya begitu kentara.

“Kita pulang sekarang, Vin! Bentar ya aku telepon taksi dulu!” ujar Ify seraya mengeluarkan ponsel dari tasnya.
           
“Mending pakai mobil gue aja!” tukas Rio. Dengan senang hati menawarkan tumpangan.
            
“Iya, Fy! Nebeng sama Kak Rio aja,” ujar Alvin, mendukung tawaran Rio.
            
Ify memandang Alvin yang tengah menatapnya sayu. Ya sudahlah, atas nama persahabatan yang ia junjung begitu tinggi, ia rela membuang semua gengsi. Gadis itu akhirnya mengangguk, menyetujui. Meski sepanjang perjalanan pulang, hanya suara dehaman yang keluar dari mulut Ify. Tidak ada percakapan atau nyanyian random yang biasa gadis itu gumamkan kala menikmati sebuah perjalanan. Mungkin memang perjalanan itu teramat tidak dinikmati oleh Ify.
***
            
Hari sudah malam, dan Alvin sudah bisa ditinggal sendirian. Setelah memberikan wejangan-wejangan untuk beristirahat dengan cukup pada pemuda itu, Ify berpamitan pulang. Gadis itu berjanji besok akan kembali lagi.
            
Ify melongok ke arah kanan, mencari penampakan angkot dengan jurusan yang melintasi apartemennya. Ketika tiba-tiba Rio datang dan menarik bahu Ify agar menghadap ke arahnya. Ify memberengut. Memperlihatkan ketidaksukaannya atas sikap Rio.
            
“Pulang bareng gue aja kenapa sih?” tanya Rio sarkatis. Pemuda itu berdecak samar.
            
Ify memutar bola matanya. “Ga mau! Aku pulang naik angkot aja.”
            
“Terus gue tega ngebiarin lo balik sendiri naik angkot? Kalau di jalan lo kenapa-napa gimana?” tanya Rio dengan nada yang semakin meninggi. Terdengar sekali kekhawatirannya terhadap Ify pada setiap kata yang terlontar dari mulutnya.
            
“Pokoknya aku mau pulang naik angkot aja!” ujar Ify, masih berpegang teguh pada pendiriannya.
            
“Lo tuh susah banget ya dibilangin? Oke. Gue bareng sama lo naik angkot!” tukas Rio.
            
Ify membelalakan mata. “Loh, ga bisa gitu dong!”
           
Rio bersiul-siul tidak peduli.
            
“Kakak tuh susah banget ya dibilangin?” keluh Ify, mengutip kalimat Rio yang ia ucapkan dengan nada kesal. “Oke. Aku pulang naik mobil Kakak.” Akhirnya, Ify menyerah juga.
            
“Nah! Gitu dong!” ujar Rio. “Yuk!” pemuda itu meraih lengan Ify.
            
Ify menepis tangan Rio cepat. Kemudian berjalan mendahului pemuda itu. Entah mengapa, dadanya tiba-tiba berdebar.

***
           
Tidak ada suara apa pun selain penyiar radio yang begitu bersemangat menyapa pendengarnya, yang diselangi lagu-lagu terhits masa kini yang memenuhi mobil itu.  Dua penumpangnya sama sekali tidak berkata apa pun. Ify masih amat kesal dan marah akan apa yang telah dilakukan Rio tadi siang. Jadi, buat apa mengobrol? Nanti yang ada mereka malah bertengkar dan drama ‘turunin aku di sini sekarang’ pun akan terjadi. Ify tidak mau. Terlalu sinetron. Dan ia pun terlalu sibuk berkutat dengan jantungnya yang ia rasa memompa lebih cepat dari biasanya. Detaknya pun tak berirama. Isi rongga dadanya chaos.
            
Sementara Rio sendiri bingung harus memulai dari mana. Sembari menyetir, ia merangkai kata demi kata yang tepat untuk meminta maaf. Agar gadis di sampingnya mau mendengar penjelasannya dan bukan malah mengamuk kemudian minta turun di tengah jalan. Oh betapa ia berharap Ify tidak sedrama itu.
           
Dan kebisuan itu pun bertahan sampai di apartemen mereka. Rio masih belum menemukan cara yang tepat untuk meminta maaf, dan Ify sama sekali tidak berharap maaf dari pemuda egois itu.
            
Sampai akhirnya, ketika Ify akan membuka pintu apartemennya, barulah Rio sadar bahwa ia tidak akan bisa tidur malam ini kalau masalahnya dengan Ify belum selesai. Segera ia menahan tangan Ify yang hendak memutar kenop pintu.
           
Ify merengut ketika tangan Rio menyentuh punggung tangannya. Segera ia tarik kembali tangannya. Ia mendelik tajam pada Rio. Menunggu apa yang akan dilakukan pemuda itu selanjutnya.
            
Rio menghela napas panjang, bersiap-siap. “Sori, Fy! Soriii banget! Gue ngaku gue salah. Gue benar-benar nyesel.”
            
Ify hanya menatap datar, seperti masih meragukan permintaan maaf dari Rio.
            
“Minggu depan nyokap gue ulang tahun.  Gue mau kasih sesuatu yang spesial buat dia di hari ulang tahunnya.” Rio menelan ludah. “Selama ini gue selalu nyusahin dia.  Satu hari aja gue pengen bahagiain dia.”
            
Ify mendesah pelan. Tiba-tiba hatinya merasa tersentuh. Sensitif sekali baginya ketika mendengar sesuatu yang berhubungan dengan ibu. Karena hampir selama hidupnya, tidak pernah ia rasakan kasih sayang seorang ibu. Karena ia selalu iri pada orang-orang yang bisa melakukan banyak hal untuk ibunya, sementara dirinya tidak. Karena ia teramat membenci orang-orang yang menyakiti ibu mereka.
            
“Lo mau maafin gue?” tanya Rio penuh harap.
           
Meskipun tindakan Rio tidak bisa dibenarkan, tapi Ify tidak bisa untuk tidak memaafkan pemuda itu. Selain karena alasan Rio, juga karena sesuatu dalam hatinya mendorongnya untuk memaafkan. Gadis itu mengangguk pelan.
            
“Makasih ya!” tukas Rio dengan wajah berbinar. “Kalau gitu gue ke kamar gue dulu. Daa.”
            
“Kak Rio sebentar,” ucap Ify tiba-tiba. Membuat tubuh Rio urung berbalik. “Aku mau bantuin Kak Rio,” lanjut gadis itu.
           
Rio menarik ujung-ujung bibirnya ke atas. “Serius?” ia memastikan.
            
“Ya.” jawab Ify singkat seraya tersenyum. Kalau ia tidak bisa membahagiana ibunya secara langsung, paling tidak ia bisa melakukan sesuatu untuk seseorang yang dipanggil ibu oleh orang lain.
            
“Makasih ya, Fy!” ujar Rio bahagia. Terlalu bahagia sampai-sampai ia hendak menghambur memeluk Ify. Namun urung karena gadis itu terlebih dahulu mundur dan meringkuk. Rio menggaruk tengkuknya salah tingkah. “Sori sori…”
           
Ify menyeringai. “Kalau gitu, aku masuk ya, Kak! Daa.” Gadis itu memutar tubuhnya. Kemudian mendorong pintu kamarnya sehingga tertutup rapat. Membuat penampakan Rio tidak lagi bisa dilihatnya. Ify menelan ludah. Merasakan jantungnya tiba-tiba berdebar lebih cepat ketika Rio hampir saja memeluknya. Gadis itu menggeleng. Melupakan kejadian beberapa menit yang lalu. Ia langsung berlari ke kamarnya. Melempar tubuhnya ke atas tempat tidur. Menatap langit-langit. Untuk segala kekacauan yang terjadi hari ini, ia berharap untuk tidak pernah terulang lagi. Ia juga berharap bahwa tidak akan terjadi apa-apa karena kejadian hari ini.
***
            “

Jadi, menurut lo gue kasih hadiah apa buat nyokap gue?” tanya Rio sesaat setelah capuchino pesanannya tiba di atas meja. Siang ini dirinya dan Ify memutuskan untuk makan siang berdua di cafeteria kampus, setelah semalam mereka berdamai dan bahkan tadi pagi mereka berangkat ke kampus bersama.
           
Ify menelan suapan bakso pertamanya. Berdeham kemudian berujar mantap, “Waktu.”
           
Rio mengerenyit bingung. “Waktu?”
            
“Iya. Waktu. Semua orang bisa beli apa pun, kecuali waktu. Kakak ingat terakhir ngabisin waktu sama Mama?”
            
Rio merasa hatinya mencelos ketika menyadari bahwa sudah lama sekali ia tidak memiliki waktu untuk dihabiskan bersama mama. Bahkan ia sudah lama tidak pulang. Ia tersenyum getir. “Udah lama banget.”
            
“Nah, itu dia. Di hari ulang tahunnya, Kakak bisa kasih seharian waktu Kakak buat Mama. Ga susah kan meluangkan waktu sehari aja?”
           
Rio mengangguk. Tidak untuk mamanya. Untuk perempuan paling ia sayangi seluruh dunia, yang tidak pernah mengkhianatinya, yang selalu ada untuknya. Rio tersenyum. Menatap Ify, perempuan yang selalu mengingatkannya pada Mama. Mama yang pintar memasak, yang selalu memaafkannya, yang membuat dirinya merasa lebih baik.
            
“Thanks ya, Fy! Lo makan yang banyak, biar ga sakit. Soalnya weekend nanti lo harus ikut senang-senang sama gue dan nyokap,” tukas Rio.

            
Ify tersedak mendengar apa yang diucapkan Rio. Terburu-buru ia meneguk air putih. Setelah tenggorokkannya tidak lagi sakit, ia meminta penjelasan pada Rio. Tapi Rio hanya tersenyum. Baginya, semuanya sudah jelas.

*Bersambung*