Untuk Kamu, Dari Aku
Untuk kamu, seseorang yang hanya bisa leluasa kueja dalam
doa.
Halo, Kak! Ingin rasanya sapaan singkat itu kuucapkan tiap
kali kita bertemu. Tapi lidahku selalu kelu. Bibirku selalu beku.
Halo, Kak! Akhirnya aku bisa menyapamu. Malam ini. Dari jauh.
Meski aku tahu takkan pernah sampai, tapi paling tidak, jemariku berani
menuliskannya.
Kakak mungkin tidak mengenal aku sebagaimana aku mengenal
Kakak. Kakak tidak tahu namaku, tidak hapal wajahku, tidak peduli boyband
favoritku. Tapi aku tahu nama lengkapmu dan bagaimana merapalkannya, aku hapal
bagaimana caramu menyunggingkan senyum, aku peduli padamu yang selalu risau
akan isu-isu sosial di sekitar.
Setahun yang lalu, aku masih ingat. Saat itu kali pertama
aku melihatmu. Berdiri di balik stand mic. Memandu acara penyambutan mahasiswa
baru. Kala itu aku pun percaya bahwa cinta pada pandangan pertama nyata adanya.
Aku, anak ingusan yang masih berseragam abu-abu saat itu jatuh cinta padamu,
pada kakak tingkat dengan segudang prestasi yang mengagumkan.
Dan satu tahun berlalu begitu cepat. Kemarin, aku melihat
wujudmu lagi. Setelah berbulan-bulan tidak pernah lagi kutemukan sosokmu di
mana-mana. Kakak yang begitu kugilai hadir dengan segala pesona yang masih
selalu sama.
Kata teman-temanku, aku hanya kagum pada kakak. Tapi aku
bersikeras bahwa aku jatuh cinta padamu. Buktinya, hanya melihat kakak berkedip
saja, bisa-bisanya membuat jantungku mempercepat ritme detaknya.
Kak, aku iri pada mereka! Yang begitu mudah berbicara banyak
hal denganmu. Yang berkontak mata langsung denganmu. Yang bisa duduk berhadapan
denganmu. Terlebih, aku iri pada
perempuan itu! Perempuanmu! Yang kau panggil dengan panggilan sayang, yang kau
beri kejutan di hari ulangtahun, yang kau dampingi ketika acara wisuda, yang
kau perkenalkan pada ibu serta ayahmu.
Aku ingin seperti mereka! Ingin seperti perempuanmu!
Tapi, aku sadar siapa aku. Aku hanya seorang pemimpi sederhana
yang berangan-angan agar bisa menjadi perempuanmu! Yang hanya bisa memandangimu
dari jauh, menikmatimu sebatas punggung saja.
Aku pernah menjabat tanganmu, merasakan hangat kelima
jemarimu. Saat itulah aku tahu kau telah berhasil menggenggam hatiku. Meskipun
aku tak kau beri kesempatan bahkan hanya untuk sekedar menyentuh hatimu.
Kita pernah saling bicara. Beradu pandang satu sama lain.
Saat itulah aku tahu kau telah merampas kesadaranku. Membuatku berfantasi
begitu jauh terhadapmu.
Kau pernah menghadiahiku ucapan serta doa di hari ulang
tahunku. Saat itulah aku percaya bahwa itulah lagu terindah yang pernah
kudengar.
Perempuanmu boleh saja bangga bisa memilikimu, tapi aku
lebih bangga karena aku bisa mencintai tanpa perlu memiliki.
Perempuanmu boleh saja berbahagia bisa selalu bersamamu.
Tapi aku lebih bahagia karena doaku selalu lekat menyertaimu.
Kau cium perempuanmu di pipi, kening atau bahkan bibir. Tapi
bolehkah aku menangis terharu, karena kau justru menciumku di sini, di hatiku.
Semoga kelak, meskipun tak berarti apa pun, aku bisa
menciummu, mencium hatimu.
Dari aku, seseorang
yang hanya bisa menitipkan pesan cinta lewat doa.