Sejatiku Kamu part 1
Aku tidak tahu caranya mencintai. Tapi untuk mencintaimu aku tak perlu belajar lagi. Karena dengan dicintaimulah aku mencintaimu.
Papa selalu bilang bahwa Tuhan Mahacinta. Dan memang benar. Oleh karenanyalah aku bisa mengenal cinta sedahsyat Papa. Cinta yang tegas, kekal, melapangkan.
Pa, aku cinta Papa!
Bilang sama Tuhan kalau aku ingin memelukmu sekali lagi saja. Bilang kalau aku benci perpisahan. Terlebih dengan Papa. Bilang aku mau ikut saja dengan Papa!
***
Aku tidak tahu harus memulainya dari mana. Semua bagian dari kisah ini, baik menyenangkan atau justru menyedihkan, malah akan membuat hatiku sakit. Untuk kenangan indah yang rasanya begitu mustahil terulang. Untuk kenangan pahit yang masih belum bisa kuterima dengan ikhlas hingga sekarang. Semuanya. Tentang kisahku bersama cinta sejatiku. Tentang aku dan Papa.
***
Aku lebih mengenal Papa daripada diriku sendiri. Aku tahu sejarah hidup Papa. Bagaimana ia menjalani masa kanak-kanak hingga remaja di sebuah desa di bagian barat kota Bandung. Lalu merantau ke ibukota. Berkuliah di fakultas ekonomi Universitas Indonesia. Setelah mendapatkan gelar sarjana, Papa sempat bekerja di sebuah bank swasta. Namun ia juga menyusun proposal pengajuan beasiswanya untuk dapat melanjutkan kuliah di luar negeri. Waktu yang ia habiskan untuk bergulat dengan proposal pun akhirnya terbayar. Papa berhasil mendapatkan beasiswa impiannya. Lantas ia pun meninggalkan Indonesia. Menjalani kehidupan barunya di Paris.
Empat tahun barulah Papa kembali dengan menyandang gelar doktor. Anak desa yang gemar bermain bola di sawah itu pun akhirnya menjadi seorang ekonom. Berhasil mengangkat harkat dan martabat keluarganya yang selama ini selalu dipandang rendah karena profesinya yang hanya sekedar petani.
Selain gelar doktor, papa juga membawa hal lain yang lebih menggembirakan. Seorang perempuan bernama Ayudia dikenalkan sebagai calon istrinya. Oh dialah Mamaku! Papa dan Mama bertemu di Yunani. Saat itu, Papa sedang berlibur sekaligus melakukan penelitian. Sementara Mama memang berkuliah di sana. Di negeri seribu dewa itulah mereka saling jatuh cinta.
Setahun berikutnya, Papa dan Mama menikah. Dua tahun kemudian aku hadir di antara mereka. Mengisi hari-hari mereka yang super sibuk. Dan sejak saat itu juga Mama berhenti bekerja. Memilih fokus mengurusiku dan melakukan hobinya: menulis.
Oh iya, perkenalkan. Namaku Athena. Titik. Ketika teman-temanku memiliki nama dua hingga tiga kata (bahkan ada yang sampai lima kata), aku cukup satu saja, Athena. Aku tidak mengerti mengapa orangtuaku begitu pelit hingga memberi nama sependek itu. Sama seperti ketidakmengertianku mengapa mereka pun memiliki nama yang hanya terdiri dari satu kata. Surya dan Ayudia.
Bukan saja menyoal singkatnya namaku, tapi juga nama itu terdengar aneh di telinga teman-teman sekolahku. Ketika yang lain diejek nama orangtuanya, khusus buatku adalah namaku yang jadi bahan ejekan. Mereka bilang namaku aneh. Kayak bukan nama manusia. Lebih mirip mahluk astral dari planet antah brantah. Ada juga yang bilang bahwa namaku seperti alat untuk menangkap gelombang televisi. Woy! Itu antena!
Pernah suatu kali saking kesalnya diejek terus-menerus (tapi apa daya, tak bisa melawan), aku pulang dalam keadaan menangis. Meraung-raung dalam dekapan Papa. Waktu itu aku masih duduk di kelas dua sekolah dasar.
"Huhuhu. Athena sebal sama teman-teman! Huhuhu." ujarku sesenggukan. Masih tersungkur dalam tubuh Papa.
"Teman-teman Athena kenapa?" tanya Papa lembut. Dia menyibak jumputan rambut yang menghalangi wajahku.
Aku terbangun. Menegakan tubuhku di samping Papa. Kulihat wajahnya yang begitu tulus. Sampai tak tega harus mengatakannya. Tapi aku tak bisa menahannya lagi. Kalau dibiarkan, lama-lama aku bisa depresi hingga mungkin bunuh diri.
"Pa, kenapa sih nama aku Athena? Teman-teman ejek aku terus. Bilangnya Antena. Emangnya aku tivi. Huhu." tukasku. Masih menyisakan sedikit tangis.
Papa tersenyum hangat. Dia menarik napas panjang. Hendak memberikan pengertian.
"Papa beri nama kamu Athena, karena Papa ingin kamu seperti Dewi Athena."
Keningku terlipat. Baru tahu bahwa ada orang lain yang memiliki nama sepertiku. Ah, tapi setidaknya dia ditambahkan Dewi. Jadi dipanggilnya bisa Dewi. Tidak sepertiku. Athena. Sudah. Athena. Apa lagi? Antena. Woy!
"Kamu tahu ga Dewi Athena itu siapa?"
Aku menggeleng. Tidak tahu.
"Dewi Athena itu adalah Dewi kebijaksanaan dari Yunani. Papa ingin kamu bisa sebijaksana dia, sayang!" Papa menepuk pipiku yang masih menyisakan titik-titik air mata di sana. "Jangan dipikirin kalau teman-teman ngejek nama Athena. Mereka ga tahu kalau Athena itu kalau di Yunani keren!" ucap Papa.
Aku mengangguk pelan. Menyetujui semua ucapan Papa. Sejak saat itu, aku tidak peduli teman-temanku mengejek namaku lagi. Mereka tidak tahu saja bahwa yang mereka ejek adalah seorang Dewi Yunani. Hih. Padahal aku sendiri saat itu juga bingung, Dewi itu apa? Seperti biadari atau malaikat ya? Lalu Yunani itu di mana? Kalau naik kereta bisa berapa jam ya? Atau bisa hanya dengan naik angkot? Jurusan apa? Cicaheum-Ciroyom?
Baru ketika aku duduk di kelas enam, aku tahu bahwa Dewi itu merupakan sebuah kepercayaan. Dan Yunani itu jauhhh sekali. Tidak ada rel yang menghubungkan Bandung dengan Yunani. Dan kalau naik angkot, mungkin butuh seribu kali bolak-balik Cicaheum-Ciroyom.
Dan aku pun menyadari bahwa Papa memberiku nama yang ia adaptasi dari dewi Yunani, karena pertemuan Papa dan Mama terjadi di Yunani. Coba saja kalau mereka bertemu di Tangkuban Perahu. Pasti namaku sekarang adalah Dayang Sumbi.
***
Bersambung