Istimewa
Aku percaya bahwa semua anak terlahir istimewa.
Namanya Ina. Sekilas, tidak ada yang berbeda dengan dia. Anak perempuan yang hanya berbeda dua tahun di bawahku itu tumbuh seperti anak lainnya. Dengan rambut keriting yang kurang terawat dan badan yang bongsor. Ya, biasa saja bukan?
Kali pertama aku bertemu dengannya adalah ketika aku bergabung di sebuah sekolah pengabdian kampusku, aku jadi pengajar di sana. Saat itulah aku bertemu dengan Ina. Dengan senyum lebar dan wajah yang ceria dia menyambut kami (para pengajar baru).
Tapi hari itu aku belum mengenalnya begitu dalam. Belum tahu bahwa dia begitu istimewa. Hari itu berlalu begitu saja. Dengan kepulangan kami yang diantarkan olehnya.
"Ina mau ke mana?" tanya salah seorang pengajar.
"Aku mau antar kakak-kakak." ujarnya tetap dengan senyum lebar,
"Jauh loh, Na!"
"Ga pa-pa. Hehe." tuturnya singkat seraya terus berjalan mengiringi kepulangan kami.
Keesokan harinya, aku kembali ke sekolah itu. Bertemu dengan Ina lagi. Dia menyalami kami satu per satu. Beberapa dia ingat namanya. Lalu tiba giliran dia mencium tanganku.
"Coba nama aku siapa?"
Dia tertegun seraya tersipu malu. Aduhh lupa! Begitu siratnya.
"Aku Sinta. Apa?"
"Ka Chinta!" ujarnya begitu semangat. Meskipun dia keliru memanggil namaku, tapi aku tak peduli. Sinta, Cinta, Chinta atau apalah itu. Yang jelas, setelah hari itu aku menemukan keistimewaan itu.
***
Ina punya panggilan khusus untuk pengajar yang dekat dengannya. Bunda dan Ayah. Tapi untukku berbeda.
Kala itu aku baru saja tiba di sekolah. Dia langsung berteriak "Omaaaaaa!" seraya melambaikan tangan.
Aku terkesiap. Loh kok Oma? Apakah aku setua itu? -_-
Semua yang ada di sana menertawakan panggilan Ina padaku.
"Ina kok Oma sih?"
"Ga pa-pa. Oma kan cantik." jawabnya. Dia tahu saja aku suka dibilang cantik._.
Ya, sejak hari itu di selalu memanggilku Oma.
***
Ina punya banyak cerita. Aku suka mendengarkannya. Meskipun kadang kurang mengerti. Tapi masa bodoh. Aku suka ketika dia bercerita.
Salah satu cerita yang kuingat adalah dia bilang kalau cita-citanya adalah menjadi psikolog. Iya, Ina. Oma doakan semoga cita-citamu terwujud.
***
Ina adalah anak paling rajin datang ke sekolah. Dia selalu jadi penghuni pertama. Pernah suatu kali ketika hujan lebat, dan aku baru sampai di sekolah, Ina ditemani teman pengajar sedang duduk di teras sekolah. Bercerita.
Hari itu pun dihabiskan oleh kami untuk mendengarkan semua cerita Ina yang lucu. Tentang dia yang pernah terkunci di kamar mandi, atau tentang dia yang paling suka datang ke kost para pengajar.
Oh iya, hobi Ina itu datang ke kost. Entah sudah berapa pengajar yang kostnya disambangi oleh Ina. Karena aku tinggal di rumah saudara dan jauh dari sekolah, jadilah Ina tidak pernah mengunjungiku. Tapi pernah dia mengatakan "Oma, aku mau nginep di rumah Tante." Aku hanya tersenyum. Tentu Ina.
***
Salah satu dari sekian banyak kelucuan Ina adalah ponselnya. Dia memiliki ponsel yang ukurannya kecil namun berat. Dan canggihnya, ponsel itu berkamera. Kadang, Ina memotret kami.
Suatu waktu, aku melihat Ina menempelkan ponselnya di telinga kemudian menggoyangkan tubuhnya. Aku bertanya sedang apakah dia. Dia tersenyum lalu menyerahkan ponselnya padaku. Ponsel yang tengah memutar sebuah lagu. Cabe-cabean. Aku terhenyak. Ina tertawa terbahak-bahak lantas terus bergoyang.
"Kenapa cabe-cabean? Kenapa ga sayur-sayuran?" tany seseorang.
"Iya. Kenapa ga sayur-sayuran, buah-buahan, nasi-nasian, lauk-laukkan. Itu kan lebih sehat." ujarku.
Ina tertawa. Masih terus bergoyang.
Karena itulah, aku memperkenalkan Ina pada lagu yang lebih layak untuk didengarnya.
Eh tapi, sekarang kalau mendengar lagu Cabe-cabean jadi ingat Ina. -_-
***
Ina pandai berakting. Dia bisa menangis sekaligus tertawa. Istimewa,, ya?
Ina sering menangis untuk mencari perhatian para pengajar. Ya, Ina suka diperhatikan. Ketika dia menangis, pengajar akan memperlakukannya sebagai adik kecil. Tapi aku tidak. Ketika dia menangis, aku akan menggodanya. Terus menggoda sampai tawanya meledak. Aku tidak memperlakukannya sebagai adik. Tapi aku memposisikannya sebagai teman. Ya, Ina adalah temanku.
Tapi pernah dia menangis dan susah sekali berhenti. Berbagai cara telah dilakukan. Tapi dia tetap menangis.
"Ina kenapa?" tanyaku lembut.
"Oma, Bunda Linda ke mana sih? Aku kangen. Huaaaaa." tangisnya semakin kencang.
"Bunda Linda sakit, Ina! Makanya Ina doain Bunda biar cepat sembuh, terus ke sini lagi. Ya?"
"Aku pengen Bunda Lindaaaaa!"
Aku tertegun. Merasa tertohok. Dia bisa sebegitu sayang terhadap bundanya. Akankah dia juga begitu pada Omanya? Merindukan kehadirannya ketika dia tidak hadir?
Aku menatapi Ina yang masih sesenggukan menangis.
***
Katanya, aku harus mengajari Ina. Nyatanya, aku belajar banyak darinya. Tentang hidup. Sesederhana kalimat "Oma kan cantik." Seringan tawa lepasnya. Seindah keceriannya. Setulus rasa sayangnya.
Aku semakin percaya, bahwa semua anak terlahir istimewa.
0 Komentar :
Posting Komentar
Komentari