Musisi

Rabu, 02 Oktober 2013

Musisi


Saya suka musik. Tapi saya bukan pemusik. Saya hanya penikmat. Saya suka mendengarkan musik untuk menemani saya belajar atau hanya sekedar me mbaca novel. Musik membuat saya lebih tenang ditengah kegrasa-grusuan saya.

Saya adalah orang yang kemana-mana lebih sering menggunakan angkutan umum; angkot atau bis. Dan di sana saya selalu bertemu dengan musisi-musisi
jalanan yang kebanyakan bukan menghibur, tapi -maaf malah mengganggu.

Suatu hari saya dan dua teman saya naik bis jurusan Jatinangor-DU. Di bis itulah kali pertama saya bertemu dengan seorang musisi angkutan yang dari suara dan musikalitasnya membuat saya tersentuh. Dia seorang pemuda bertubuh gempal. Kata teman saya, dia masih mahasiswa. Saat itu dengan merdunya dia menyanyikan dua lagu yang dua-duanya adalah favorit saya, Dealova dan Dia Milikku. Dia menggunakan gitar untuk mengiringinya bernyanyi. Kata teman saya juga, dia biasanya memakai biola. Sayang hari itu tidak.

Sepanjang perjalanan, saya menikmati 'pertunjukannya'. Saya mungkin satu-satunya orang yang antusias menikmati musiknya saat itu. Penumpang lain lebih senang mengobrol dengan teman sebelah, memainkan gadget atau hanya nanar melihat ke luar lewat kaca jendela bis.

Dua lagu usai. Tiba saatnya dia untuk mendapatkan haknya. Bayaran atas hiburan yang disuguhkannya. Saya memberikan sedikit uang yang saya punya. Tidak seberapa dibandingkan kepuasan telinga dan hati saya.

Dan kemarin, seperti de javu. Saya bertemu lagi dengan seorang musisi. Saya tidak sedang berada di bis, musisi itu pun bukan seorang pemuda bertubuh gempal. Jadi kemarin saya dan dua teman saya makan di sebuah warung nasi. Lalu ketika kami menyantap makanan masing-masing, seorang bapak -umurnya kira-kira sebaya dengan ayah saya- dengan gitar sederhananya datang, memetik gitarnya, lalu melantunkan sebuah lagu yang ahh lagi-lagi menyentuh hati saya.

"Kaulah segalanya untukku
Kaulah curahan hati ini"

Saya tersipu ketika bapak itu akhirnya menyudahi lagunya. Saya merogoh saku kemeja saya, berharap ada uang di sana. Nihil. Melirik domper. Nihil pula. Hanya cukup untuk membayar makanan yang saya makan. Akhirnya dnegan muka badak say berkata, "Suara bapak bagus. Tapi saya ga ada uang. Tapi saya nanti pasti kasih uang kok. Anggap aja hutang. Kalau kita ketemu, Bapak jangan segan-segan buat tagih hak Bapak."

Bapak itu cuma tersenyum. Takzim menganggukan kepalanya lalu bergegas ke warung yang lain. Menyanyikan lagu yang sama.

Lalu tadi, saya membayar hutang itu. Masih di warung nasi yang sama, dia kembali datang, tetap dengan gitar sederhananya. Dia kembali bernyanyi

"Andaikan kau datang kembali, jawaban apa yang kan ku beri."

Sambil tersenyum saya memberikan sedikit uang saya padanya. "Ini, Pak. Sekalian sama yang kemarin."

"Oh iya! Makasih ya, Neng!" Dia mengangguk takzim. Selalu seperti itu. Lantas melanjutkan pertunjukannya.

Mereka dua orang hebat di bidangnya. Saya berharap dapat bertemu lagi dengan mereka. Mungkin di lain kondisi. Ketika mereka sudah menjadi musisi yang 'musisi'.

Salam dari penggemarmu Mas, Pak!