Bola Oranye
Pemuda itu terduduk di pinggir lapangan basket.
Kepalanya menunduk dalam. Punggungnya yang bergerak menandakan nafasnya yang
terengah-engah. Keringat sebesar biji jagung menggelayuti profil wajahnya yang
tampan. Dia kelelahan.
Sejurus kemudian, pemuda yang mengenakan pakaian
basket itu mendengus kesal. Meninju bola berwarna oranye yang ada di
hadapannya. Bola itu terpental. Bergulir hingga akhirnya menyentuh iking kaki
gadis yang berdiri di tengah lapangan basket.
Gadis berseragam putih abu itu menatap nanar sejenak
pada bola tersebut. Berjongkok dan meraih bola itu. ia mendesah kentara.
Berjalan menghampiri pemuda pelempar bola. Pemuda yang masih tenggelam dalam
lelahnya.
“Gabriel.” Seru gadis itu tertahan. Menyentuh bahu
pemuda bernama Gabriel itu.
Gabriel terkesiap. Merasakan gesture hangat sebuah
tangan menyapa pundaknya. Terburu ia menepis tangan itu. agak kasar, sehingga
membuat si empunya tangan terhenyak.
“Pergi!” Gabriel mendesis. “Orang sepertiku tidak
pantas mempuntai teman sepertimu Ify!”
Gadis berambut ikal sebahu bernama Ify itu menautkan
kedua alisnya. Menatap tak percaya. Ia berdecak. Berjongkok menekuk lututnya.
Ikut duduk bersila di samping Gabriel. Tangannya masih memegangi bola oranye
itu.
“Kenapa kau tidak pergi meninggalkanku? Seperti yang
lain? Marah? Atau…” Gabriel menggantungkan kata-katanya. Setelah mendesah putus
asa, ia kembali berujar, “Kecewa?” Gabriel bertanya sarkatis.
Ify menarik ujung-ujung bibirnya ke atas. Menyimpul
senyum yang sangat manis. menampilkan deretan gigi yang terhias kawat
berwarna-warni. Lantas menempelkan telapaknya pada lapangan basket. Hingga
beberapa detik kemudian, ia mengangkat kembali telapak tangannya. Membalikannya
hingga sempurna menengadah ke langit. Menunjukan telapak tangan yang kini
ditempeli debu juga bakteri-bakteri lainnya. Gabriel mengerenyit tak mengerti.
“Marah untuk apa? Kecewa karena apa?” tanya retoris
dilontarkan oleh sang gadis.
Maka seketika, kelebatan peristiwa satu jam yang
lalu itu muncul kembali di benak Gabriel. Pertanyaan itu seperti melemparkannya
pada kejadian menyesakkan itu. Yang pada akhirnya, hanya menjejalinya dengan
kecewa.
Kala itu, Gabriel bersama rekan-rekan satu tim
basketnya tengah berjuang melawan tim dari sekolah lain. Matahari yang superior
menyengat seluruh isi bumi berhasil membakar semangat pada masing-masing
pribadi di tengah lapangan basket itu. Namun apa yang berpendar dalam hati
pemuda tampan itu berbeda. Lebih dari semangat. Ah, bukankah yang berlebihan
itu tidak baik? Ya, karena yang bergelung di sana adalah tetes-tetes keegoisan.
Dan seiring detik yang berdetak, tetesan itu semakin menggenang. Membanjiri
permukaan hati. Lalu pada akhirnya melumat habis ketulusan budi.
Dua menit terakhir menuju peluit panjang, Gabriel
mendapatkan bola. Ia mendrible bola itu di tempatnya berpijak. Agak susah
memang ia melewati hadangan lawan. Posisinya terjepit oleh tiga orang rivalnya.
Ia bingung harus melakukan apa. Waktu yang tersedia semakin menyudutkannya.
Apalagi timnya kini tertinggal satu angka. Apabila ia salah mengambil langkah,
maka sudah dipastikan timnya kalah.
Teriakan rekan setimnya yang berada dalam posisi
lebih menguntungkan darinya, tak diindahkan pemuda itu. Ia mengabaikan
permintaan mereka untuk menyerahkan bola. Tidak. Ia adalah kapten tim. Maka ia
yakin, dengan kemampuan yang dimilikinya, ia pasti bisa membawa timnya juara.
Lagipula, tak ada jaminan timnya akan menang jika ia mengoper bola pada
teman-temannya. Kemampuan mereka dibawahnya.
Maka akhirnya, Gabriel memutuskan melempar bola itu
langsung menuju ring. Menerabas teriakan-teriakan itu. Ia mengikuti bisikan
keegoisan yang kini meluber hingga ke dasar hati. Ia tidak peduli.
Dan Dewi Fortuna sama sekali tak berpihak pada
kekeraskepalaan. Bola oranye itu sempat bergulir pada mulut ring. Namun sejurus
kemudian, bola itu jatuh. Tanpa sempat melalui bulatan ring. Timnya kalah.
Cakrawala itu runtuh seketika. Cakrawala yang
disusun oleh tiap riak keegoisan. Hatinya mencelos. Merasa tertampar dari
fantasinya. Kini sesak mencekat rongga pernafasannya.
Untung saja Ify segera bersuara. Kalau tidak,
mungkin tangis itu akan meleleh dari sudut mata elang sang pemuda. Karena
nyatanya, setiap kali ia mengingat peristiwa itu, ia selalu berusaha sekuat
tenaga menahan tangis. Menggigit bibir kuat-kuat, hingga muncul bekas.
“Kamu tidak seperti debu.” Ify meniup telapak
tangannya. Debu yang sebelumnya menempel di sana, langsung berterbagna dihantar
udara. Lantas menghilang entah kemana.
Gabriel mengerutkan kening. Tahu bahwa Ify tengah
mengajaknya memasuki ranah analogi.
“Debu selalu kalah oleh angin. Sekecil apa pun
anginnya. Ia tak pernah menjejakan dirinya lama di suatu tempat. Hembusan angin
selalu berhasil membuatnya menyerah. Hingga debu hanya bisa terumbang-ambing
mengikuti arah angin. Kalau pun nanti ia berhasil menyentuh tanah, ia hanya
akan terinjak-injak. Atau kembali tertiup angin. Hingga nasibnya, selalu sama.
Menjadi pecundang saja. Tidak lebih.” Ify mendesah. Menoleh sejenak pada
Gabriel yang sedang seksama mendengarkan perkataannya. Lantas memalingkan
wajahnya ke depan.
“Aku percaya, kamu seperti bola ini.” Ify menunjuk
bola oranye yang ada di hadapannya. Gabriel mengikuti arah telunjuk Ify.
“Kamu tahu, seberapa keras bola itu dilempatkan, dia
selalu bisa bangkit kembali. Ia tak pernah menyerah. Hebat, bukan? Ya, seperti
kamu. Kamu juga hebat. Tapi, kamu juga harus tahu, sehebat apa pun bola itu, ia
tetap rendah hati. Setiap kali ia dilambungkan tinggi ke udara, ia selalu
kembali ke asalnya. Ia tak pernah mau berlama-lama berada di sana. Karena apa?
karena kerendahan hatinya.” Ify mengambil jeda. Mendesah. “Aku yakin, kamu
seperti bola itu. berendah hati dengan segala kehebatannya.”
Gabriel menatap bola oranye itu. Merasa malu.
Harusnya, ia bisa mencontoh bola itu. Bukankah ia telah menghabiskan separuh
dari usianya dengan berteman dan bermain bersama bola itu? Mestinya, itu
bukanlah hal yang sulit. Mengingat rasa egois yang menelurkan kesombongan itu
sesungguhnya bukan murni sifatnya. Ia hanya terbawa suasana. Mengikuti kobaran
ambisinya.
“Kamu mau belajar sepeti bola itu?” tanya Ify.
Gabriel mengangguk. Tentu saja. Mana mungkin ia
menolak. Bukankah hidup akan lebih indah apabila disertai dengan kerendahan
hati. ya, sesederhana itu.
Ify tersenyum. Lantas berdiri dan berlari ke tengah
lapangan. “Ayo kita main basket! Lempar bolanya!” Ify mengerjapkan kedua
matanya.
Gabriel terkekeh. Meraih bola dan ikut bergabung
bersama gadisnya di lapangan. Bermain basket. Menerobos hujan yang tiba-tiba
turun. Maka buncahlah mereka dalam semarak dendang orchestra rintikan hujan.
Berendah hati di bawah naungan tiap berkah yang dihadiahkan Tuhan.
~Selesai~
Well, ini cerpen tercepat yang pernah saya buat. Makanya maafin deh kalau ancur atau semacamnya! Thanks yang udah setia baca coretan saya. Komentarnya ditunggu di twitter @sintaSnap dan fb Sinta Banget
***
Bandung Barat, 10 april 2012
Sinta Nurwahidah
Salam Pisang Goreng!