Tidak Butuh Judul [16]

Kamis, 16 Februari 2017

Tidak Butuh Judul [16]


Terakhir kali Rio datang ke tempat ini adalah ketika dirinya ditinggalkan Sivia. Sekarang, ia kembali lagi-lagi untuk gadis itu. Rio mengangkat bahu. Kita lihat saja nanti apa yang akan terjadi. Pemuda itu berjalan masuk.  

“Rio, ke mana aja lo?” seseorang tiba-tiba menepuk pundak Rio.  

Rio terkesiap. Mendapati Raynald di sana. Salah satu temannya yang dulu tidak pernah menolak untuk diajak ke club. Sekarang, Raynald telah percaya diri datang ke tempat itu tanpa Rio.  

“Hai, Ray! Sibuk gue. He,” Rio terkekeh pelan. “Eh, lihat Sivia ga?”

 “Sivia? Tuh di sana,” Raynald menunjuk ke salah satu tempat di ujung club.

 “Oke. Thanks, ya! Gue samperin Sivia dulu!” ujar Rio kemudian melipir pergi.  

Rio mendapati Sivia. Semenjak putus, ia belum pernah menemui Sivia secara khusus. Bahkan di acara ulang tahun Sivia kala itu, ia hanya menyapa Sivia sekilas untuk mengucapkan selamat.  

“Ada apa?” tanya Rio langsung, tanpa prolog apa pun.

 Sivia menoleh pada Rio. Matanya sembab bekas tangisan. Gadis dalam balutan dress ketat berwarna hitam itu langsung melompat meraih Rio. Melanjutkan tangisnya yang tadi sempat mereda.  

Rio berdecak samar. Ia memutar bola matanya kesal. Drama apa lagi yang hendak dipertunjukkan Sivia kali ini? Ia tidak tahu. Pemuda itu menjauhkan tubuh Sivia darinya.  

“Kenapa? Berantem sama Deva?” tanya Rio sarkatis.  

Sivia menggeleng. “Gue kangen sama lo.”  

Rio mencibir. “Serius kangen?”  

“Please, Yo! Gue lagi banyak masalah banget. Gue cuma pengen senang-senang.”

 Rio menatap Sivia seraya berpikir. Ia juga sedang menghadapi masalah, dan mungkin Sivia memang sengaja dikirimkan Tuhan untuk membuatnya sejenak melupakan masalah itu. Yeah! Rio, malam ini anggap saja tidak terjadi apa-apa. Anggap saja luka di pipimu adalah bekas menabrak pintu. Anggap saja sesak di dadamu karena asap rokok yang berterbangan memenuhi club ini. Mari bersenang-senang!  

“Let’s have fun tonight, Sivia!” Rio meraih tangan Sivia. Menariknya menuju keramaian. Ikut bergabung bersama manusia-manusia lain yang mungkin juga sama sepertinya. Bersenang-senang dan tak lagi peduli dengan masalah yang ditanggungnya.

Rio dan Sivia menggerakkan tubuhnya. Sesekali mereka berpelukan. Saling membagi peliknya masalah yang tengah mereka hadapi.

***  

Semakin malam, club semakin ramai. Orang-orang datang dengan bermacam masalah, tapi tak jarang pula yang datang tanpa membawa apa pun. Ia hanya ingin bersenang-senang.

 Rio dan Sivia menepi, memesan minuman.

“Deva ga suka gue undang lo ke pesta ulang tahun gue kemarin. Selesai pesta kami berantem hebat,” celetuk Sivia setelah menenggak habis segelas minuman beralkohol yang baru saja disuguhkan padanya.

“Kalau Deva ga suka lo masih berhubungan sama gue, ngapain sekarang lo minta ketemu?” tanya Rio sarkatis.

“Bodo! Biar aja dia makin marah. Ga peduli gue!” Sivia meminta gelasnya diisi kembali. Seorang bartender sigap memenuhi permintaannya. Gadis itu benar-benar kalap.

Rio cuma bisa melongo ketika Sivia telah menghabiskan minuman pada gelas keduanya dan sekarang ia meminta yang ketiga sementara dirinya masih menyisakan tiga perempat minuman di tangannya. Sedari dulu, Rio memang tidak terlalu suka meminum alkohol. Dia datang ke club hanya karena tuntutan pergaulan. Dan ia agak trauma dengan kejadian berbulan lalu saat ia minum terlalu banyak dan ia hampir mati karena mobilnya menabrak trotoar. Meskipun ia tidak bisa memungkiri bahwa ia mensyukuri hal itu terjadi. Coba saja malam itu dia tidak minum hingga mabuk berat, coba saja tidak ada truk yang melaju kencang dari arah berlawanan dan membuatnya membanting setir hingga menabrak trotoar, coba saja ia kuat untuk mencapai kamarnya tanpa harus jatuh tersungkur di depan kamar Ify, ia mungkin tidak akan sampai di titik ini, di mana ia menjatuhkan cintanya begitu dalam untuk Ify.

Rio terkesiap. Coba saja Rio untuk malam ini lupakan Ify! Rutuknya dalam hati. Oh, ia tidak yakin bisa.

 “Oh iya, gue pikir lo pacaran sama Ify,” ujar Sivia. Gelasnya kembali terisi untuk kesekian kali. Rio sudah tidak lagi menghitungnya.  

“Maunya sih gitu,” ujar Rio.  

“Pipi lo kenapa?” tanya Sivia. Pandangannya kini mengabur, tapi lebam di pipi Rio telah dilihatnya sejak tadi. Hanya saja baru kini ia mendapatkan kesempatan untuk bertanya.   

“Ditonjok Gabriel.”  

“Kok bisa?”

 “Bisa lah! Orang cemburu bisa lakuin apa aja.”

 “Waktu gue sama Deva, lo cemburu ga? Kok lo ga lakuin apa-apa?”

Sivia tidak tahu saja Rio hampir mati cemburu saat itu.  

Rio memicingkan mata. Sepertinya Sivia harus berhenti minum. Gadis itu sudah mabuk.

 “Sivia kayaknya kita harus pulang,” ujar Rio seraya menjauhkan gelas alkohol dari Sivia.

 “Gue ga mau pulang! Pokoknya gue mau di sini sama lo,” tukas Sivia dan sedetik kemudian ia jatuh terkulai yang untungnya segera ditangkap oleh Rio.  

Akhirnya, Rio menggendong Sivia yang tak sadarkan diri ke dalam mobilnya. Kemudian ia bawa pulang ke apartemennya.

***

 Rio merasakan punggungnya ngilu. Menggendong Sivia dari lobi hingga kamarnya ternyata cukup membuat tulang punggungnya kesakitan bahkan hingga berlalu beberapa jam. Belum sembuh pipinya yang kini berwarna biru, sekarang harus ditambah pula dengan sakit di punggung, dan jangan lupa dengan sakit hatinya yang kian terasa ketika dirinya sendiri.  

“Yo...”  Rio terperanjat ketika mendengar sapaan itu. Ia menoleh dan melihat Sivia berjalan mendekatinya. Gadis itu baru saja bangun.

 “Makasih ya!” ujar Sivia kemudian duduk di samping Rio.  

Rio hanya mengangguk samar.

 “Gue mau pulang.”

 “Mau gue antar?”

 “Ga usah, gue udah telepon  supir gue suruh jemput.”  

Kemudian mereka hanya bertatapan tanpa suara untuk beberapa saat. Rio melihat Sivia tanpa perasaan apa pun. Cinta yang dulu begitu besar sampai membuatnya hampir gila kini sudah tak lagi ada. Sosok yang bahkan ketika bangun tidur pun masih sebegini cantiknya, yang kini duduk berdempetan dengannya, tak mampu membuat hatinya berbunga. Seseorang yang lain telah membuat hatinya sesak.  

Sedangkan Sivia memandang Rio dengan tatapan yang sulit sekali diartikan. Kelebihan Sivia yang lain selain wajah cantik adalah ia mampu menyembunyikan rahasia di balik kedua pelihatnya. Tidak pernah ada yang bisa menebaknya. Mungkin saja saat ini Sivia tengah menatap rindu pada mantan kekasihnya. Atau bisa jadi ia justru tengah menatap menggoda, ingin mempermainkan pemuda itu seperti yang pernah dilakukannya dulu. Tidak ada yang tahu.

 “Gue ke bawah sekarang ya! Kayaknya supir gue udah datang deh! See you!” ujar Sivia kemudian bergerak semakin dekat dan mendaratkan sebuah ciuman di pipi Rio yang bengkak. Sebuah ciuman yang dulu sangat biasa diberikan Sivia ketika berpamitan pergi. Gadis itu menghilang di balik pintu.

 Ciuman itu biasa kalau terjadi berbulan yang lalu. Ciuman itu biasa kalau status mereka bukan sebagai mantan. Sekarang, ciuman itu jadi tak biasa karena mendarat saat Rio dan Sivia bernasib sama, membutuhkan seseorang yang bisa membuat mereka lupa pada masalah yang menggantungi benaknya.  

Rio masih tertegun di tempatnya. Ia menyentuh pipinya. Sakit di sana kemudian hilang, berganti hangat dan gemuruh di dadanya.

***

 Ify berjalan gontai seraya menjinjing kantung kresek berisi bubur ayam yang baru saja dibelinya untuk sarapan. Pagi ini ia sama sekali kehilangan mood untuk memasak.

 Masih teringat jelas di benaknya kejadian semalam, bagaimana ia melihat Gabriel meledak karena bom waktu yang dirakitnya. Berkali-kali ia mencoba menghubungi pemuda itu, tapi tak sekali pun membuahkan hasil.

 Ify sadar dirinya telah menyakiti Gabriel. Tapi ia juga tak bisa memungkiri bahwa di hatinya kini juga telah ada Rio, yang entah sejak kapan tepatnya ia menyelinap masuk ke sana. Ify hanya tidak ingin membohongi dirinya sendiri. Dan ia pun sudah berjanji bahwa pelukan semalam adalah pelukan perpisahan. Ia tidak menyangka bahwa  kemungkinan besar yang akan ia berikan salam perpisahan adalah Gabriel.

 Seseorang di ujung lorong tiba-tiba membuat Ify membelalakkan kedua matanya. Ia jelas melihat orang itu adalah Sivia, baru saja keluar dari kamar Rio. Ada urusan apa? Sepagi ini?

 Ify berjalan dengan kaku, sementara Sivia berjalan seperti tanpa beban. Ia tersenyum miring kala dirinya berpapasan dengan Ify. Kemudian menghilang masuk ke dalam lift.  

Kalau sepagi ini dia pergi, jadi sejak kapan Sivia di apartemen Rio? Batin Ify berbisik.

Tiba-tiba kegelisahan menyelimuti hatinya. Gadis itu berlari masuk ke kamarnya.

 Di sana ia menekuri semuanya. Ketidakmengertiannya atas semua yang terjadi. Mengapa bisa ia mencintai dua orang sekaligus dan egoisnya ia tidak ingin kehilangan salah satu dari mereka. Kejadian semalam adalah peringatan bahwa bisa saja Gabriel meninggalkannya.

Dan menemukan Sivia keluar dari kamar Rio barusan adalah peringatan berikutnya bahwa Rio juga takkan segan pergi darinya.

Pada akhirnya ia akan sendiri. Temannya yang tak pernah pergi bernama sakit hati.

***  

Entah karena Tuhan menyayanginya, atau justru sedang mempermainkannya, karena setiap kali Rio patah hati, selalu hadir sosok lain dalam hidupnya.

Dulu ketika Sivia meninggalkannya, Ify datang untuknya. Sekarang saat Ify mengabaikan perasaannya, berbalik Sivia yang datang padanya.  

Rio tidak tahu nasib Ify bagaimana setelah kejadian malam itu. Tidak pernah lagi ia melihat wajah cantik itu. Ia juga tidak tahu bagaimana kelanjutan hubungan Ify dan Gabriel. Mungkin mereka tak seberapa peduli padanya dan kembali melanjutkan hidupnya seperti biasa. Rio seperti debu yang cukup disapu saja hilang. Ya, memang sebegitu tidak pentingnya dirinya di mata Ify.

 Rio pernah patah hati sebelumnya, dan ia berhasil menyembuhkan segalanya. Untuk kali ini ia pun yakin bisa. Perempuan yang bergelayut manja di sampingnya yang dulu melukai hatinya kini menjelma menjadi obatnya.  

Ify berhasil dikesampingkan Rio saat detiknya terisi dengan kehadiran Sivia. Meskipun saat ia pulang ke apartemennya, sendirian di kamarnya, bayangan Ify kembali menamparnya telak bahwa ia menjadikan Sivia sebuah pelarian. Yang menyesaki hati dan jiwanya kini adalah Ify dan Ify lagi.

 “Mungkin kita bisa bareng-bareng lagi kaya dulu, Yo!” ujar Sivia suatu hari ketika ia menghabiskan makan siang bersama Rio.  

Rio tidak menjawab. Tapi seminggu yang telah ia lalui bersama Sivia bisa menjadi jawaban bahwa ia tengah mencoba untuk memulai semuanya dari awal. Kembali pada Sivia dan mengubur dalam-dalam perasaannya pada Ify.

***

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari