Tidak Butuh Judul [5]
Sakit yang berdenyut di daerah kepalanya membuat Rio menjauh
dari kemudi. Dengan napas terburu, pemuda itu perlahan membuka matanya. Bersiap
menerima kenyataan bahwa apa yang dilihatnya bukan lagi sebuah kehidupan. Wahai
surga, sambutlah kedatangan pecundang kita!
Rio
menghembuskan napas lega ketika matanya yang terasa panas menangkap pemandangan
malam dari dalam mobil. Dirinya belum mati ternyata. Tadi, mobilnya berhasil
menghindari truk itu. Dibantingnya ke kiri hingga berakhir dengan moncong
mobilnya mencium trotoar. Pemuda itu mengurut dada.
“Aww...”
Rio tiba-tiba meringis ketika rasa sakit itu kembali berdenyut. Ia menyentuh
pelipisnya. Dan jari tangannya merasakan sebuah cairan pekat di sana. Rio
memandangi jarinya yang berwarna merah. Darah. Pelipisnya berdarah. Tak sengaja
terbentur kemudi.
Oke. Malam
ini Sivia hampir saja membuat nyawa pemuda itu menghilang. Besok apa lagi? Oh,
mau begini terus Rio?
Pemuda itu
menggeleng cepat. Lalu menghidupkan kembali mesin mobilnya. Menginjak pedal gas
dan melanjutkan perjalanannya. Meski tidak secepat kelajuan sebelum ia
kecelakaan, tapi tetap saja terlalu cepat untuk seseorang yang masih –setengah-
mabuk dan baru saja mengalami benturan.
Butuh
sepuluh menit untuk Rio sampai di apartemennya. Setelah memarkir mobilnya yang
penyok akibat berciuman dengan trotoar tadi, pemuda itu terhuyung-huyung
berjalan memasuki lobi. Petugas yang ada di sana berlari ke arah Rio. Hendak
membantu pemuda yang terlihat begitu kacau itu. Namun Rio menolak. Merasa bahwa
kalau untuk pergi ke kamarnya saja ia kuat.
Kakinya kembali
bergerak ketika bunyi ting berbunyi dan selanjutnya pintu lift terbuka. Efek
alkohol ternyata masih kuat dalam dirinya. Dengan memegangi pelipisnya yang
terluka, pemuda itu berjalan tersaruk. Menyusuri koridor menuju kamarnya.
Kamarnya
hanya tinggal beberapa meter lagi. Namun sepertinya Rio tidak bisa bertahan
lagi. Tiba-tiba semua yang ada di hadapannya mengabur dengan sendirinya. Kedua
kakinya bergetar, merasa lemas bahkan untuk hanya berdiri. Persendiannya seakan
lumpuh begitu saja. Pemuda itu jatuh tersungkur. Menimbulkan suara berisik
ketika tubuhnya terbanting pada pintu.
Ternyata
suara berisik itu berhasil membuat pemilik pintu terbangun dari tidurnya. Gadis
itu menekan saklar lampu kamarnya. Yakin betul bahwa apa yang didengarnya
bukanlah mimpi. Bukan pula kucing atau tikus yang mencuri makanan di dapurnya.
Gadis itu berjingkat dari tempat tidurnya. Berjalan keluar dan tidak mendapati
apa pun di ruang tamunya. Oh, mungkin memang tidak ada apa-apa. Pikir gadis
itu.
Brakkk...
Brakkk...
Ify –gadis
itu- baru saja akan kembali ke kamar, ketika tiba-tiba terdengar gedoran di
pintu apartemennya. Dan sekarang ia yakin bahwa telinganya tidak salah dengar.
Suaranya dari luar. Siapakah yang bertamu larut malam seperti ini? Ify
mengangkat bahu. Lantas berlari ke arah pintu.
Gadis itu
meraih kenop pintu, lalu menariknya pelan. Dan betapa terkejutnya ia ketika
mendapati penampakan seorang pemuda terkulai di kakinya. Ify hampir menjerit
kalau saja ia tidak ingat bahwa suaranya bisa mengganggu tetangga-tetangganya.
Ify
berjongkok dan meraih tubuh pemuda itu. Denga tangannya ia tolehkan wajah sang pemuda agar mengarah
kepadanya.
“Kak
Rio?!!” pekik Ify tak percaya ketika menyadari bahwa pemuda yang ia temukan
terbujur tak berdaya di depan kamarnya adalah Rio.
“Kak Rio
kenapa?” tanya Ify. Ketar-ketir setengah mati ketika melihat ada luka pada
pelipis sang pemuda.
Rio tidak
menjawab. Membuat Ify gugup seketika. Oh, jangan dulu mati! Ia tidak mau
dituduh menjadi pembunuh atau dimintai kesaksian di pengadilan atas kematian
pemuda itu. Gadis itu melongok ke kiri dan kanan. Aduh! Di mana pula kamar Rio?
Ya Tuhan, bahkan ia baru tahu kalau Rio tinggal di apartemen yang sama
dengannya.
Akhirnya,
Ify membawa Rio ke dalam apartemennya. Meskipun tubuhnya kecil, tapi jangan
salah sangka. Ify ini punya tenaga kuli. Ya meskipun untuk mengangkat beban
sebesar Rio ia pun tak mampu. Namun ternyata pemuda itu masih bisa berdiri,
walau harus dengan bantuan Ify. Gadis itu memapah Rio dan menuntunnya masuk ke
dalam kamar lain yang ada di sana, kamar yang tak dihuni siapa-siapa.
Ify
menjatuhkan tubuh Rio di atas kasur. Oh, betapa kacaunya keadaan pemuda itu.
Rambutnya yang sudah mulai gondrong terlihat berantakan. Wajah itu terlihat
lelah. Mata yang setengah terbuka berwarna merah. Ditambah luka yang sepertinya
belum lama muncul pada pelipisnya.
Ify terkesiap
lalu berlari ke arah dapur. Mengambil handuk, sebaskom air hangat dan segelas
air putih. Tidak ada ide lain selain tiga benda itu.
Beberapa
saat kemudian, Ify kembali ke kamar. Menyimpan baskom air hangat di meja kecil
dekat tempat tidur. Lalu memberikan air putih yang dibawanya pada Rio.
“Minum
dulu, Kak!” tukas Ify.
Dengan
gerakan terbata, Rio mendekatkan mulutnya pada gelas. Membiarkan seteguk air
mengaliri tenggorokannya.
Ify lalu
meletakkan gelas air putih itu di dekat baskom. Lalu meraih handuk yang
sebelumnya telah ia celupkan pada air hangat. Lantas ia gunakan handuk itu
untuk membersihkan luka di pelipis Rio yang darahnya telah mengering. Ify
telaten mengurusi Rio seperti seorang ibu mengurusi anaknya. Ify seperti lupa
bagaimana dulu Rio memperlakukannya dengan teramat kejam.
Rio yang
sedari tadi tak berkutik, menuruti semua perintah Ify, disuruh minum ia minum,
disuruh menoleh ia menoleh, tiba-tiba bergerak menghambur ke arah Ify.
Tangannya menggapai tubuh Ify. Dengan gerakan kasar, ia menarik Ify untuk masuk
ke dalam pelukannya.
“Kak Rio
lepas!” erang Ify seraya mendorong tubuh Rio agar menjauh darinya.
Rio semakin
kuat mengurung tubuh mungil Ify. Kini, wajahnya bergerak mendekati wajah gadis
yang tiba-tiba dilingkupi rasa takut itu. Dan dalam jarak sedekat itu, Ify bisa
merasakan udara yang dihembuskan oleh Rio menyapu wajahnya. Indra penciumannya
pun berhasil menerjemahkan bau alkohol terkuar darinya. Rio mabuk. Oh Papa,
Gabriel, Alvin, tolong!
Setelah
berjuang sekuat tenaga, akhirnya Ify berhasil melepaskan diri dari kedua tangan
kokoh Rio. Gadis itu kini menatapi pemuda yang terduduk lemah di atas tempat
tidur dengan perasaan yang bercampur aduk dalam hatinya. Takut dan kasihan. Oh,
ia harus apa sekarang? Kalau ia biarkan Rio menginap di apartemennya, siapa
yang tahu apa yang akan dilakukan pemuda itu nanti malam? Rio sedang mabuk. Dan
apa pun bisa dilakukan seseorang dalam keadaan seperti itu. Tapi apakah ia akan
tega mengusir pemuda itu dari apartemennya? Selain mabuk, Rio juga sedang
sakit.
“Arght!”
Ify mendesah frustasi. Pagi masih beberapa jam lagi. Dan ia masih punya hati
untuk tidak menelepon petugas malam-malam begini.
“Kak...”
cicit Ify pelan ketika menyadari bahwa Rio tak bergeming kembali. Takut-takut
gadis itu mendekati Rio. Menyentuh bahu pemuda itu untuk memastikan bahwa ia
masih bernyawa.
Rio
tiba-tiba mendongakkan kepala. Matanya yang merah menatap Ify sayu. Tersenyum
tipis entah untuk apa. Lantas tubuhnya terkulai tak berdaya. Untung saja, Ify
sigap menahan tubuh pemuda itu sehingga ia tidak terguling dan mencium lantai.
Gadis itu menghembuskan napas lega. Heran juga, mengapa Rio suka sekali
mengagetkannya.
Namun ulah
Rio malam itu belum berhenti sampai situ. Ia kembali membuat Ify memekik oleh
cairan berbusa yang menjijikan yang keluar dari mulut Rio. Pemuda itu
memuntahinya.
Oke bagus
ya. Lagi-lagi Rio membuat tubuhnya kotor dan bau. Dulu karena harus berjibaku
dengan sampah, sekarang karena pemuda itu muntah. Pemuda itu mendengus sebal.
Tadinya Ify
akan mengomeli Rio. Tapi tidak jadi karena Ify menyadari bahwa pemuda itu kini
benar-benar tak sadarkan diri. Kedua matanya sudah menutup rapat. Napasnya kini
terhela secara teratur. Orang mabuk harus muntah dulu ya baru bisa tidur? Tanya
Ify dalam hati. Akhirnya yang Ify lakukan adalah membaringkan Rio di tempat
tidur. Menutupi tubuh pemuda itu dengan selimut.
“Bahkan
sampai sekarang, aku ga percaya bahwa Kakak bisa hancur seperti ini,” ucap Ify
pelan seraya menatapi wajah Rio yang entah mengapa terlihat begitu polos saat
itu. Tidak seperti Rio si sombong yang dikenalnya. Ify tidak menemui sosok Rio
yang bahkan hampir membuat Alvin mati.
“Jujur aku
lebih suka Kakak yang dulu. Meskipun Kakak selalu jahat sama aku, tapi Kakak
kuat. Kakak ga lemah dan menyedihkan seperti ini.” Ify meracau sendiri. Entah
mengapa ikut merasakan juga kesakitan Rio karena Sivia, kekasihnya memilih
pergi bersama lelaki lain. Ify tidak bisa membayangkan kalau Gabriel tiba-tiba
menelepon dan mengatakan bahwa ia sudah punya perempuan lain yang lebih baik
darinya. Apakah Ify akan sehancur Rio?
Ify
terkesiap, menggelengkan kepalanya cepat. Tidak. Gabriel tidak akan
melakukannya. Gabriel pemuda yang baik. Ia pasti bisa menjaga hatinya hanya
untuk Ify. Gadis itu mengangguk samar. Meskipun entah mengapa, kemungkinan
buruk itu terus menggantungi langit-langit pikirannya.
Lagi-lagi
Ify terkesiap. Kembali ia memandangi wajah Rio. Lalu sejurus kemudian, ia
berjingkat dari tempatnya. Berjalan keluar kamar dan meninggalkan Rio di sana.
Gadis itu kini bergegas ke kamar mandi. Mengganti piamanya yang ternodai oleh
muntahan Rio.
Pukul tiga
dini hari Ify baru bisa tertidur. Meskipun ia sudah membersihkan diri dari
pukul dua, tapi entah mengapa ia susah sekali menutup mata. Resah sekali
meninggalkan Rio sendirian. Ia takut tiba-tiba Rio bangun dan mengamuk lantas
melempar barang-barangnya. Orang mabuk tak jauh berbeda dengan orang gila, kan?
Namun gadis
itu tidak bisa memungkiri rasa kantuknya. Akhirnya ia kalah. Jatuh tertidur
begitu pulasnya.
***
Ify
terkesiap ketika angkot yang ditumpanginya mengerem secara mendadak. Saat itu
ia menyadari bahwa letak kampusnya hanya tinggal beberapa meter lagi. Gadis itu
memutuskan untuk turun di situ saja. Ia takut tertidur lagi dan akhirnya
kampusnya terlewat jauh. Masih ingat kejadian di hari pertamanya kuliah dulu?
Ify tidak mau kebodohan itu terulang kembali.
Sumpah ya
tadi malam Ify seperti tidak tidur. Rasanya alarm itu terlalu cepat membangunkannya.
Oh, ia belum puas mengistirahatkan tubuh dan pikirannya.
Ini memang
hari sabtu dan harusnya Ify bisa bermalas-malasan di apartemennya. Namun demi
Bapak Alvin Putra yang mengemis-ngemis padanya untuk datang, maka ia relakan
waktu istirahatnya. Awas saja Vin kalau acaranya tidak seru. Ify jitak sampai
botak dia. Tak apa. Biar penampilannya sama seperti para ilmuwan-ilmuwan itu.
Lagipula, sudah bosan sekali Ify melihat rambut klimis Alvin.
“Hoammmm!”
Ify menutup mulutnya dengan telapak tangan. Entah sudah berapa kali ia menguap
pagi itu. Mungkin begini rasanya jadi Mama dulu ketika mengurusi Ify bayi.
Tidur larut malam, dan bangun teramat pagi. Meskipun Ify hanya merepotkan Mama satu
tahun saja. Wanita itu terlebih dahulu dipanggil oleh Yang Maha Kuasa sebelum
Ify mampu mengungkapkan rasa terimakasih atas kesediannya menjadi jembatan yang
menghubungkan antara surga dan dunia. Sekarang dan selamanya, bahagialah terus
di surga Mama. Doakan Ify agar suatu hari nanti bisa menyusulmu ke sana.
Ify menguap
lagi. Oh, betapa pagi ini ia sibuk sekali. Hal yang pertama ia lakukan ketika
bangun dari tidurnya adalah berlari ke kamar sebelah. Mengecek keadaan Rio. Dan
pemuda itu masih di sana. Bergelung di balik selimut dengan napas teratur.
Lalu
setelah itu ia pergi ke dapur. Membuat sup dengan bahan seadanya. Oh Ify belum
memperbaharui isi kulkasnya. Sup akan sangat baik untuk Rio.
Tapi sampai
ia akan pergi pun, Rio belum saja bangun. Ify hendak membangunkan pemuda itu.
Namun ia tidak tega. Akhirnya ia biarkan Rio di sana sementara ia pergi.
Sebelum itu, ia tinggalkan sebuah memo di atas meja dekat tempat tidur.
Berharap Rio akan membacanya dan bertahan hingga ia kembali pulang.
“Ify!”
Alvin mendorong bahu Ify. Membuat gadis itu oleng dan hampir terjatuh kalau saja
Alvin tidak menahannya.
“Ih lebay
banget sih, Fy! Dicolek begitu aja udah mau jatuh!” sungut Alvin.
Ify memutar
kedua bola matanya. “Dicolek aja udah begitu, apalagi didorong kamu, Vin!
Mental jauh banget aku.”
Alvin
mengerutkan kening ketika mendapati wajah Ify yang tidak bersemangat. Habis begadang
dia? “Abis ngapain sih? Kok kayak yang ngantuk banget.”
Ify menguap
lagi. Kali ini ia arahkan mulutnya yang sengaja dibiarkan terbuka pada Alvin.
Membuat sahabatnya itu bergidik ngeri. “Tadi malam Kak Rio nginep di
apartemenku.”
“APA?!!”
Alvin memekik kencang. Lalu mengguncang kedua bahu Ify. “Ngapain dia nginep di
apartemen kamu? Terus, dia ngapain kamu? Ga diapa-apain, kan? Aduh, kok kamu
ngebiarin harimau buas itu ada di sana sih?”
Berondongan
pertanyaan Alvin ditanggapi dengan hembusan napas berat oleh Ify. Gadis itu
menjauhkan tangan Alvin dari bahunya. “Aku cuma dimuntahin aja. Lagian dia
bukan lagi harimau. Tadi malam dia jadi anak kucing.”
“Ha?” Alvin
memekik lagi. Membuat orang-orang di sekitar menoleh dan mengarahkan
pandangannya pada mereka. “Maksudnya anak kucing? Ah tapi itu ga penting.
Ngapain kamu bawa dia nginep diapartemen kamu?”
“Tadi malam
dia...” Ify berhenti sejenak. Tidak mungkin ia bilang bahwa Rio ditemukan dalam
keadaan mabuk. Bisa-bisa Alvin makin heboh. Lalu ia teringat luka di pelipis
Rio. “Dia kecelakaan.”
“Sekarang
dia di mana?” tanya Alvin lagi.
“Masih di
apartemenku. Pas aku mau pergi, dia belum bangun. Ya udah aku tinggalin.” Ujar
Ify santai sementara Alvin sudah menggeleng-gelengkan kepala.
“Kamu
biarin orang asing tinggal di apartemen kamu?” tanya Alvin gemas.
“Kita
sama-sama kenal dia, Vin! Lagian dia terlalu kaya untuk jadi perampok.” Ify
menghela napas gusar. Alvin ini sudah seperti Papa saja. Hih. “Ya udahlah, Vin!
Kalau kamu protes terus, aku balik nih!”
Dan ancaman
Ify berhasil membungkam mulut Alvin. Pemuda itu tidak akan membiarkan Ify
meninggalkannya karena protes-protesnya itu. Ya sudahlah. Selama Ify baik-baik
saja, sepertinya tidak ada salahnya membantu Rio si sombong yang kena batunya
itu. Semoga setelah ini, Rio mendapat hidayah dan tobat membullynya.
***
Bersambung