Tidak Butuh Judul [5]

Rabu, 20 April 2016

Tidak Butuh Judul [5]


Sakit yang berdenyut di daerah kepalanya membuat Rio menjauh dari kemudi. Dengan napas terburu, pemuda itu perlahan membuka matanya. Bersiap menerima kenyataan bahwa apa yang dilihatnya bukan lagi sebuah kehidupan. Wahai surga, sambutlah kedatangan pecundang kita!
            
Rio menghembuskan napas lega ketika matanya yang terasa panas menangkap pemandangan malam dari dalam mobil. Dirinya belum mati ternyata. Tadi, mobilnya berhasil menghindari truk itu. Dibantingnya ke kiri hingga berakhir dengan moncong mobilnya mencium trotoar. Pemuda itu mengurut dada.
            
“Aww...” Rio tiba-tiba meringis ketika rasa sakit itu kembali berdenyut. Ia menyentuh pelipisnya. Dan jari tangannya merasakan sebuah cairan pekat di sana. Rio memandangi jarinya yang berwarna merah. Darah. Pelipisnya berdarah. Tak sengaja terbentur kemudi.
            
Oke. Malam ini Sivia hampir saja membuat nyawa pemuda itu menghilang. Besok apa lagi? Oh, mau begini terus Rio?
           
Pemuda itu menggeleng cepat. Lalu menghidupkan kembali mesin mobilnya. Menginjak pedal gas dan melanjutkan perjalanannya. Meski tidak secepat kelajuan sebelum ia kecelakaan, tapi tetap saja terlalu cepat untuk seseorang yang masih –setengah- mabuk dan baru saja mengalami benturan.
            
Butuh sepuluh menit untuk Rio sampai di apartemennya. Setelah memarkir mobilnya yang penyok akibat berciuman dengan trotoar tadi, pemuda itu terhuyung-huyung berjalan memasuki lobi. Petugas yang ada di sana berlari ke arah Rio. Hendak membantu pemuda yang terlihat begitu kacau itu. Namun Rio menolak. Merasa bahwa kalau untuk pergi ke kamarnya saja ia kuat.
            
Kakinya kembali bergerak ketika bunyi ting berbunyi dan selanjutnya pintu lift terbuka. Efek alkohol ternyata masih kuat dalam dirinya. Dengan memegangi pelipisnya yang terluka, pemuda itu berjalan tersaruk. Menyusuri koridor menuju kamarnya.
            
Kamarnya hanya tinggal beberapa meter lagi. Namun sepertinya Rio tidak bisa bertahan lagi. Tiba-tiba semua yang ada di hadapannya mengabur dengan sendirinya. Kedua kakinya bergetar, merasa lemas bahkan untuk hanya berdiri. Persendiannya seakan lumpuh begitu saja. Pemuda itu jatuh tersungkur. Menimbulkan suara berisik ketika tubuhnya terbanting pada pintu.
            
Ternyata suara berisik itu berhasil membuat pemilik pintu terbangun dari tidurnya. Gadis itu menekan saklar lampu kamarnya. Yakin betul bahwa apa yang didengarnya bukanlah mimpi. Bukan pula kucing atau tikus yang mencuri makanan di dapurnya. Gadis itu berjingkat dari tempat tidurnya. Berjalan keluar dan tidak mendapati apa pun di ruang tamunya. Oh, mungkin memang tidak ada apa-apa. Pikir gadis itu.
            
Brakkk... Brakkk...
            
Ify –gadis itu- baru saja akan kembali ke kamar, ketika tiba-tiba terdengar gedoran di pintu apartemennya. Dan sekarang ia yakin bahwa telinganya tidak salah dengar. Suaranya dari luar. Siapakah yang bertamu larut malam seperti ini? Ify mengangkat bahu. Lantas berlari ke arah pintu.
            
Gadis itu meraih kenop pintu, lalu menariknya pelan. Dan betapa terkejutnya ia ketika mendapati penampakan seorang pemuda terkulai di kakinya. Ify hampir menjerit kalau saja ia tidak ingat bahwa suaranya bisa mengganggu tetangga-tetangganya.
            
Ify berjongkok dan meraih tubuh pemuda itu. Denga tangannya ia  tolehkan wajah sang pemuda agar mengarah kepadanya.
           
“Kak Rio?!!” pekik Ify tak percaya ketika menyadari bahwa pemuda yang ia temukan terbujur tak berdaya di depan kamarnya adalah Rio.
            
“Kak Rio kenapa?” tanya Ify. Ketar-ketir setengah mati ketika melihat ada luka pada pelipis sang pemuda.
            
Rio tidak menjawab. Membuat Ify gugup seketika. Oh, jangan dulu mati! Ia tidak mau dituduh menjadi pembunuh atau dimintai kesaksian di pengadilan atas kematian pemuda itu. Gadis itu melongok ke kiri dan kanan. Aduh! Di mana pula kamar Rio? Ya Tuhan, bahkan ia baru tahu kalau Rio tinggal di apartemen yang sama dengannya.
            
Akhirnya, Ify membawa Rio ke dalam apartemennya. Meskipun tubuhnya kecil, tapi jangan salah sangka. Ify ini punya tenaga kuli. Ya meskipun untuk mengangkat beban sebesar Rio ia pun tak mampu. Namun ternyata pemuda itu masih bisa berdiri, walau harus dengan bantuan Ify. Gadis itu memapah Rio dan menuntunnya masuk ke dalam kamar lain yang ada di sana, kamar yang tak dihuni siapa-siapa.
            
Ify menjatuhkan tubuh Rio di atas kasur. Oh, betapa kacaunya keadaan pemuda itu. Rambutnya yang sudah mulai gondrong terlihat berantakan. Wajah itu terlihat lelah. Mata yang setengah terbuka berwarna merah. Ditambah luka yang sepertinya belum lama muncul pada pelipisnya.
            
Ify terkesiap lalu berlari ke arah dapur. Mengambil handuk, sebaskom air hangat dan segelas air putih. Tidak ada ide lain selain tiga benda itu.
            
Beberapa saat kemudian, Ify kembali ke kamar. Menyimpan baskom air hangat di meja kecil dekat tempat tidur. Lalu memberikan air putih yang dibawanya pada Rio.
            
“Minum dulu, Kak!” tukas Ify.
            
Dengan gerakan terbata, Rio mendekatkan mulutnya pada gelas. Membiarkan seteguk air mengaliri tenggorokannya.
           
Ify lalu meletakkan gelas air putih itu di dekat baskom. Lalu meraih handuk yang sebelumnya telah ia celupkan pada air hangat. Lantas ia gunakan handuk itu untuk membersihkan luka di pelipis Rio yang darahnya telah mengering. Ify telaten mengurusi Rio seperti seorang ibu mengurusi anaknya. Ify seperti lupa bagaimana dulu Rio memperlakukannya dengan teramat kejam.
            
Rio yang sedari tadi tak berkutik, menuruti semua perintah Ify, disuruh minum ia minum, disuruh menoleh ia menoleh, tiba-tiba bergerak menghambur ke arah Ify. Tangannya menggapai tubuh Ify. Dengan gerakan kasar, ia menarik Ify untuk masuk ke dalam pelukannya.
            
“Kak Rio lepas!” erang Ify seraya mendorong tubuh Rio agar menjauh darinya.
            
Rio semakin kuat mengurung tubuh mungil Ify. Kini, wajahnya bergerak mendekati wajah gadis yang tiba-tiba dilingkupi rasa takut itu. Dan dalam jarak sedekat itu, Ify bisa merasakan udara yang dihembuskan oleh Rio menyapu wajahnya. Indra penciumannya pun berhasil menerjemahkan bau alkohol terkuar darinya. Rio mabuk. Oh Papa, Gabriel, Alvin, tolong!
            
Setelah berjuang sekuat tenaga, akhirnya Ify berhasil melepaskan diri dari kedua tangan kokoh Rio. Gadis itu kini menatapi pemuda yang terduduk lemah di atas tempat tidur dengan perasaan yang bercampur aduk dalam hatinya. Takut dan kasihan. Oh, ia harus apa sekarang? Kalau ia biarkan Rio menginap di apartemennya, siapa yang tahu apa yang akan dilakukan pemuda itu nanti malam? Rio sedang mabuk. Dan apa pun bisa dilakukan seseorang dalam keadaan seperti itu. Tapi apakah ia akan tega mengusir pemuda itu dari apartemennya? Selain mabuk, Rio juga sedang sakit.
           
“Arght!” Ify mendesah frustasi. Pagi masih beberapa jam lagi. Dan ia masih punya hati untuk tidak menelepon petugas malam-malam begini.
            
“Kak...” cicit Ify pelan ketika menyadari bahwa Rio tak bergeming kembali. Takut-takut gadis itu mendekati Rio. Menyentuh bahu pemuda itu untuk memastikan bahwa ia masih bernyawa.
            
Rio tiba-tiba mendongakkan kepala. Matanya yang merah menatap Ify sayu. Tersenyum tipis entah untuk apa. Lantas tubuhnya terkulai tak berdaya. Untung saja, Ify sigap menahan tubuh pemuda itu sehingga ia tidak terguling dan mencium lantai. Gadis itu menghembuskan napas lega. Heran juga, mengapa Rio suka sekali mengagetkannya.
            
Namun ulah Rio malam itu belum berhenti sampai situ. Ia kembali membuat Ify memekik oleh cairan berbusa yang menjijikan yang keluar dari mulut Rio. Pemuda itu memuntahinya.
            
Oke bagus ya. Lagi-lagi Rio membuat tubuhnya kotor dan bau. Dulu karena harus berjibaku dengan sampah, sekarang karena pemuda itu muntah. Pemuda itu  mendengus sebal.
            
Tadinya Ify akan mengomeli Rio. Tapi tidak jadi karena Ify menyadari bahwa pemuda itu kini benar-benar tak sadarkan diri. Kedua matanya sudah menutup rapat. Napasnya kini terhela secara teratur. Orang mabuk harus muntah dulu ya baru bisa tidur? Tanya Ify dalam hati. Akhirnya yang Ify lakukan adalah membaringkan Rio di tempat tidur. Menutupi tubuh pemuda itu dengan selimut.
            
“Bahkan sampai sekarang, aku ga percaya bahwa Kakak bisa hancur seperti ini,” ucap Ify pelan seraya menatapi wajah Rio yang entah mengapa terlihat begitu polos saat itu. Tidak seperti Rio si sombong yang dikenalnya. Ify tidak menemui sosok Rio yang bahkan hampir membuat Alvin mati.
            
“Jujur aku lebih suka Kakak yang dulu. Meskipun Kakak selalu jahat sama aku, tapi Kakak kuat. Kakak ga lemah dan menyedihkan seperti ini.” Ify meracau sendiri. Entah mengapa ikut merasakan juga kesakitan Rio karena Sivia, kekasihnya memilih pergi bersama lelaki lain. Ify tidak bisa membayangkan kalau Gabriel tiba-tiba menelepon dan mengatakan bahwa ia sudah punya perempuan lain yang lebih baik darinya. Apakah Ify akan sehancur Rio?
            
Ify terkesiap, menggelengkan kepalanya cepat. Tidak. Gabriel tidak akan melakukannya. Gabriel pemuda yang baik. Ia pasti bisa menjaga hatinya hanya untuk Ify. Gadis itu mengangguk samar. Meskipun entah mengapa, kemungkinan buruk itu terus menggantungi langit-langit pikirannya.
           
Lagi-lagi Ify terkesiap. Kembali ia memandangi wajah Rio. Lalu sejurus kemudian, ia berjingkat dari tempatnya. Berjalan keluar kamar dan meninggalkan Rio di sana. Gadis itu kini bergegas ke kamar mandi. Mengganti piamanya yang ternodai oleh muntahan Rio.
           
Pukul tiga dini hari Ify baru bisa tertidur. Meskipun ia sudah membersihkan diri dari pukul dua, tapi entah mengapa ia susah sekali menutup mata. Resah sekali meninggalkan Rio sendirian. Ia takut tiba-tiba Rio bangun dan mengamuk lantas melempar barang-barangnya. Orang mabuk tak jauh berbeda dengan orang gila, kan?
           
Namun gadis itu tidak bisa memungkiri rasa kantuknya. Akhirnya ia kalah. Jatuh tertidur begitu pulasnya.

***
            
Ify terkesiap ketika angkot yang ditumpanginya mengerem secara mendadak. Saat itu ia menyadari bahwa letak kampusnya hanya tinggal beberapa meter lagi. Gadis itu memutuskan untuk turun di situ saja. Ia takut tertidur lagi dan akhirnya kampusnya terlewat jauh. Masih ingat kejadian di hari pertamanya kuliah dulu? Ify tidak mau kebodohan itu terulang kembali.
            
Sumpah ya tadi malam Ify seperti tidak tidur. Rasanya alarm itu terlalu cepat membangunkannya. Oh, ia belum puas mengistirahatkan tubuh dan pikirannya.
            
Ini memang hari sabtu dan harusnya Ify bisa bermalas-malasan di apartemennya. Namun demi Bapak Alvin Putra yang mengemis-ngemis padanya untuk datang, maka ia relakan waktu istirahatnya. Awas saja Vin kalau acaranya tidak seru. Ify jitak sampai botak dia. Tak apa. Biar penampilannya sama seperti para ilmuwan-ilmuwan itu. Lagipula, sudah bosan sekali Ify melihat rambut klimis Alvin.
            
“Hoammmm!” Ify menutup mulutnya dengan telapak tangan. Entah sudah berapa kali ia menguap pagi itu. Mungkin begini rasanya jadi Mama dulu ketika mengurusi Ify bayi. Tidur larut malam, dan bangun teramat pagi. Meskipun Ify hanya merepotkan Mama satu tahun saja. Wanita itu terlebih dahulu dipanggil oleh Yang Maha Kuasa sebelum Ify mampu mengungkapkan rasa terimakasih atas kesediannya menjadi jembatan yang menghubungkan antara surga dan dunia. Sekarang dan selamanya, bahagialah terus di surga Mama. Doakan Ify agar suatu hari nanti bisa menyusulmu ke sana.
            
Ify menguap lagi. Oh, betapa pagi ini ia sibuk sekali. Hal yang pertama ia lakukan ketika bangun dari tidurnya adalah berlari ke kamar sebelah. Mengecek keadaan Rio. Dan pemuda itu masih di sana. Bergelung di balik selimut dengan napas teratur.
            
Lalu setelah itu ia pergi ke dapur. Membuat sup dengan bahan seadanya. Oh Ify belum memperbaharui isi kulkasnya. Sup akan sangat baik untuk Rio.
            
Tapi sampai ia akan pergi pun, Rio belum saja bangun. Ify hendak membangunkan pemuda itu. Namun ia tidak tega. Akhirnya ia biarkan Rio di sana sementara ia pergi. Sebelum itu, ia tinggalkan sebuah memo di atas meja dekat tempat tidur. Berharap Rio akan membacanya dan bertahan hingga ia kembali pulang.
            
“Ify!” Alvin mendorong bahu Ify. Membuat gadis itu oleng dan hampir terjatuh kalau saja Alvin tidak menahannya.
            
“Ih lebay banget sih, Fy! Dicolek begitu aja udah mau jatuh!” sungut Alvin.
            
Ify memutar kedua bola matanya. “Dicolek aja udah begitu, apalagi didorong kamu, Vin! Mental jauh banget aku.”
            
Alvin mengerutkan kening ketika mendapati wajah Ify yang tidak bersemangat. Habis begadang dia? “Abis ngapain sih? Kok kayak yang ngantuk banget.”
            
Ify menguap lagi. Kali ini ia arahkan mulutnya yang sengaja dibiarkan terbuka pada Alvin. Membuat sahabatnya itu bergidik ngeri. “Tadi malam Kak Rio nginep di apartemenku.”
            
“APA?!!” Alvin memekik kencang. Lalu mengguncang kedua bahu Ify. “Ngapain dia nginep di apartemen kamu? Terus, dia ngapain kamu? Ga diapa-apain, kan? Aduh, kok kamu ngebiarin harimau buas itu ada di sana sih?”
            
Berondongan pertanyaan Alvin ditanggapi dengan hembusan napas berat oleh Ify. Gadis itu menjauhkan tangan Alvin dari bahunya. “Aku cuma dimuntahin aja. Lagian dia bukan lagi harimau. Tadi malam dia jadi anak kucing.”
            
“Ha?” Alvin memekik lagi. Membuat orang-orang di sekitar menoleh dan mengarahkan pandangannya pada mereka. “Maksudnya anak kucing? Ah tapi itu ga penting. Ngapain kamu bawa dia nginep diapartemen kamu?”
            
“Tadi malam dia...” Ify berhenti sejenak. Tidak mungkin ia bilang bahwa Rio ditemukan dalam keadaan mabuk. Bisa-bisa Alvin makin heboh. Lalu ia teringat luka di pelipis Rio. “Dia kecelakaan.”
            
“Sekarang dia di mana?” tanya Alvin lagi.
            
“Masih di apartemenku. Pas aku mau pergi, dia belum bangun. Ya udah aku tinggalin.” Ujar Ify santai sementara Alvin sudah menggeleng-gelengkan kepala.
            
“Kamu biarin orang asing tinggal di apartemen kamu?” tanya Alvin gemas.
            
“Kita sama-sama kenal dia, Vin! Lagian dia terlalu kaya untuk jadi perampok.” Ify menghela napas gusar. Alvin ini sudah seperti Papa saja. Hih. “Ya udahlah, Vin! Kalau kamu protes terus, aku balik nih!”
            
Dan ancaman Ify berhasil membungkam mulut Alvin. Pemuda itu tidak akan membiarkan Ify meninggalkannya karena protes-protesnya itu. Ya sudahlah. Selama Ify baik-baik saja, sepertinya tidak ada salahnya membantu Rio si sombong yang kena batunya itu. Semoga setelah ini, Rio mendapat hidayah dan tobat membullynya.

***
Bersambung