Lebih Dari Plester part 10B
Karena walaupun masa lalu adalah hal yang tabu, tak akan ada yang pernah bisa menghapusnya dari sejarah.
***
Bunyi bel yang menjerit bersamaan dengan Bu Winda yang mengakhiri pelajaran untuk hari ini, sontak membuat Ify mencelat. Sedari tadi, bunyi itulah yang dinanti. Ya, karena ketika bel berbunyi, ia akan mulai beraksi.
Ify terburu-buru membereskan buku serta alat tulis lainnya. Memasukannya ke dalam tas. Gadis itu sangat bersemangat.
Jauh berbeda dengan pemuda di sampingnya. Ia sama sekali tak berselera untuk pulang. Ah, tidak. Ia tak akan pulang. Bukankah ia harus memenuhi permintaan gadis cerewet itu? Maka dengan enggan, ia bersiap.
Ekspresi yang tidak menyenangkan dari pemuda itu, membuat Ify sebal. Gadis itu berkacak pinggang. Mempelototi sang pemuda.
"Gabriel!" desis Ify. Pemuda empunya nama mendongak. Menatap malas Ify. Sejurus berikutnya, memutar kedua bola mata.
Ify mendengus. "Gabriel! Semangat dong! Semangat!" Ify
mengangkat tangannya yang mengepal. Seakan dengan itu, ia bisa mengusir rasa enggan pada diri Gabriel. Digantikan dengan kobaran semangat.
"Iya, ini juga semangat." ucapan Gabriel berbanding terbalik dengan gurat wajahnya. Masih tetap sama. Tak berselera.
"Ga suka ya pergi sama Ify?" tanya Ify retoris. Ada nada kecewa yang disisipkannya. Ia menunduk. "Kalau Gabriel ga mau, ga pa-pa kok." Tersenyum miring. Dipaksakan.
Gabriel terkesiap. Bukan. Bukan itu maksudnya. Ia bukan tidak mau menemani Ify. Ia hanya takut saja kalau Ify melakukan hal-hal yang aneh. Ify kan memang gadis yang aneh. Kini, hatinya diliputi rasa bersalah. Tatkala, Ify memutar tubuh. Tersaruk berjalan keluar kelas. Gadis itu terlihat sangat sedih atas sikapnya yang menyiratkan sebuah penolakan tak kentara.
Gabriel pun segera menyusul Ify. Membujuk gadis itu agar mau memaafkannya. Membuang jauh-jauh raut murung yang tergurat pada wajah manis sang gadis.
"Aduuuh Fy! Jangan ngambek! Iya iya, gue semangat. Semangat. SEMANGAT!" ujar Gabriel setengah berteriak. Cara yang diambilnya supaya Ify tak lagi merajuk. Gabriel mensejajarkan langkahnya dengan Ify, sementara gadis itu terus berjalan dengan tetap menunduk.
Gabriel berdecak. Kembali berusaha membujuk Ify. "Ayolah Ify! Jangan marah! Gue senang kok jalan sama lo. Gue semangat." Gabriel memuntahkan amunisi bujukannya. Masih belum putus asa.
Sebenarnya, Gabriel bisa saja berhenti berusaha. Masalah Ify? Ah, biarkan saja. Toh bukan urusannya kalau gadis itu marah atau sedih. Tapi kini keadaannya berbeda. Bukankah hal sekecil apa pun yang menyangkut Ify adalah urusannya, juga? Itu sudah ia yakini dalam hati.
Jutaan kata-kata manis yang dilontarkan Gabriel telah berhasil menghantarkan keduanya ke area tempat parkir. Dan selama itu pula, Ify tetap tak bergeming. Mengabaikan kata-kata memelas yang meluncur dari bibir Gabriel. Sampai ketika Gabriel tiba pada penghujung usahanya. Ia mengambil jalan terakhir.
Gabriel menjatuhkan dirinya. Berlutut memeluk kedua kaki Ify. Berharap dengan itu, Ify tak lagi mendiamkan dirinya. Tak apa jikalau Ify berceloteh tiada henti. Itu lebih baik.
Apa yang dilakukan Gabriel cukup membuat Ify terperanjat. Ia mengerutkan kening menatap Gabriel yang masih tetap pada posisinya.
"Ify jangan marah!" ujar Gabriel dengan nada memelas yang sangat kentara. Sedangkan Ify, tersenyum tertahan. Membiarkan Gabriel melanjutkan ucapannya.
"Pokoknya, hari ini gue buat lo. Nanti-nanti juga." kata Gabriel. Ia mengucapkan ikrar tersirat.
Maka senyum Ify sempurna mengembang. Tak lagi ia tahan. Gadis itu membungkuk. Memegang kedua bahu Gabriel. Membantunya berdiri.
"Beneran ya?" tanya Ify. Kedua alisnya bergantian ia angkat.
Gabriel melongo mendapati Ify yang sudah kembali menjadi Ify yang ceria. "Kok udah ga marah?" tanya Gabriel. Terdengar seperti orang bodoh.
"Emang dari tadi juga ga marah. Tadi tuh aku malas aja ngeladenin kamu yang tiba-tiba cerewet. Buang-buang waktu." ujar Ify. Diakhiri dengan juluran lidah. Mencibir.
"Jadi cuma ngerjain, nih? Iihhh" Gabriel menjawil hidung Ify gemas.
Ify menepis tangan Gabriel. "Emangnya kamu doang yang bisa ngerjain? Udah ah, ambil motor gih! Aku tunggu di depan gerbang." Ify melengos pergi.
Tinggallah Gabriel sendiri di sana. Memandang siluet Ify yang semakin mengecil. Segera setelah itu mengambil motornya. Mengenakan helm yang berwarna senada dengan motornya.
Gabriel akan segera menancap gas, ketika seruan seseorang memaksanya untuk tetap diam. Gabriel menoleh. Matanya menangkap sosok seorang gadis dengan rambut sebahu setengah berlari menghampirinya.
"Ada apa Ik?" tanya Gabriel sedetik setelah gadis itu berada di hadapannya.
Oik -gadis itu- mengatur nafasnya yang terengah. Setelah itu, barulah ia mengutarakan maksudnya menahan Gabriel. "Lo mau kemana? Sama Ify?"
"Gue mau nemenin dia kemana pun dia mau." jawab Gabriel.
"Terus?" tanya Oik lagi.
Gabriel menatap bingung dari balik pelindung kepala. "Apa?"
Oik berdecak. Pemuda itu malah balik bertanya. Apa dia sudah lupa? Pada gadis plesternya? Oik memutar kedua bola matanya. "Sivia."
Sivia? Gabriel memberikan tanggapan dengan hanya tertawa menyeringai. Sivia? Apalah pedulinya terhadap gadis itu? Gadis yang menghilang tanpa jejak. Gadis yang mengiming-iminginya dengan janji masa depan, sehingga tiga tahun lamanya, hanya janji palsu itulah yang mengisi seluruh harapan. Cih. Untuk apa ia masih memikirkan perasaan gadis itu? Bahkan mungkin, gadis itu tak lagi memiliki perasaan. Sehingga dengan tega meninggalkannya sendirian.
"Sivia udah ga ada." ujar Gabriel telak. Lalu tanpa permisi, mulai melajukan kendaraannya. Ia bergegas. Ada hal yang lebih penting ketimbang mengurusi persoalan masa lalunya itu. Biarlah masa lalu tetap tertinggal. Karena kalaupun ia mengejar, itu akan sekedar menjadi khayal.
Kini, Gabriel hendak menghampiri gadis aneh itu. Gadis yang menjadi alasan untuk ia mendeklamasikan ikrar tulus itu. Sungguh. Meski kata-kata tadi hanya ia kias untuk membujuk sang gadis, ia bisa memastikan bahwa ikrar itu akan terlaksana dengan baik. Terkecuali sosok dari masa lalunya kembali. Ia tidak tahu apa jadinya nanti.
Dan gadis yang masih tersisa di sana duduk terkulai tak berdaya. Terpekur dengan jawaban pemuda yang telah menghilang dari batas penglihatannya. Sivia sudah tidak ada. Ya, Sivia memang tidak ada di sini. Ia juga tak tahu wujud sahabatnya itu sekarang. Ia tak tahu, apakah gadis itu masih mungil atau masih menyukai dinosaurus seperti dulu. Ia tidak tahu. Tapi bukankah Oik tahu bahwa Sivia selalu ada. Di negeri antah berantah nun jauh di sana. Dan dari tempatnya itu, Sivia tak pernah berhenti mengawasi. Mata Sivia diwakilkan oleh pengamatannya. Oik juga tahu bahwa Sivia masih menyayangi Gabriel. Rasa itu masih sama seperti saat keduanya bertemu. Ketika dengan telaten, Sivia menempelkan plester dinosaurus pada lutut Gabriel yang terluka. Tidak ada yang berubah. Bahkan semakin bertambah.
Namun tidak semuanya diketahui Oik. Oik tidak tahu tentang operasi tumor otak yang dijalani Sivia beserta akibatnya. Itulah mengapa tiga pekan lamanya, Sivia tak pernah membalas pesan elektronik yang dikirimnya. Maka Oik pun tak tahu, bahwa ingatan yang paling krusial untuk Sivia lenyap bersama tumornya. Tentang kisah unik Sivia bersama pemuda cerobohnya, lengkap dengan bermilyar plester dinosaurusnya.
Oik tidak tahu. Sungguh. Juga tentang keberadaan Sivia yang mulai tergeser dari singgasana hati yang dimiliki Gabriel. Lamat-lamat, Ify hendak menguasai.
***
Ify dan Gabriel kini tengah berada di sebuah toilet umum. Mereka baru saja dari toko percetakan yang kemarin dikunjungi Ify. Mengambil pesanan gadis itu.
Kali ini, mereka tengah berdebat kecil. Membuat bapak penjaga toilet lekat memperhatikan.
"Ayo! Kamu harus pake ini!" Ify membentangkan kaos putih dengan gambar dinosaurus dan tulisan 'Gerakan Seribu Plester Dinosaurus' yang dicetak dengan huruf bersambung.
Gabriel ternganga. Meraih kaos tersebut. "Mau kampanye?"
"Yap! Kita akan kampanye gerakan seribu plester dinosaurus." ujar Ify dengan berapi-api.
Gabriel meneguk ludah. Dugaannya memang benar. Gadis itu pasti melakukan hal yang aneh. Mana ada gerakan seribu plester dinosaurus? Tak bisakah Ify memilih kegiatan yang lebih masuk akal dari pada ini? Gabriel menggeleng.
"Ayo Gabriel! Gerakan ini bertujuan agar kita lebih peduli dengan sesama. Ya salah satunya, dengan berbagi plester." jelas Ify. Matanya mengerjap. Memohon agar Gabriel tak menolak ajakannya.
Maka akhirnya, Gabriel pun menjalankan permintaan Ify. Ia masuk ke dalam toilet untuk mengganti kemeja sekolahnya dengan kaos yang sengaja dipesan Ify khusus untuk agenda konyol ini.
Setelah itu, barulah Ify masuk ke ruang toilet yang lain. Memakai kaos yang sama dengan yang akan dikenakan Gabriel. Ify terkikik sendiri. Membayangkan nanti dirinya dan Gabriel akan memakai baju yang sama. Seperti anak kembar. Atau sepasang... kekasih?
***
Cakka telah siap dibalik bulatan kemudi. Ia hanya tinggal menanti rekannya yang akan menemaninya berkeliling kota untuk menginjak pedal gas.
"Sivia pergi dulu ya Pa!" gadis bernama Sivia itu mencium pipi sang papa.
"Hati-hati ya sayang!" Papa mengacak rambut Sivia. Kemudian mewanti-wanti pemuda yang akan membawa putrinya berkelana. "Jangan ngebut ya Kka! Pulangnya juga jangan malam-malam!"
"Iya Om!" Cakka mengangguk, menyanggupi.
Lantas, Sivia pun masuk ke dalam mobil. Duduk di kursi penumpang bagian depan. Dengan bantuan Cakka, membantu Sivia memasang sabuk pengaman.
Cakka menginjak gas secara perlahan. Mobil mewah itu pun melaju, meninggalkan rumah yang sama mewahnya. Hendak membelah jalanan kota tersayangnya.
Sivia membuka lebar kaca jendela mobil. Ia membiarkan berbagai polusi jalanan menyerangnya. Biar saja. Bukankah ia sangat merindukan segala tentang kota tersayangnya. Tak terkecuali, dengan polusi.
Rambut Sivia berkibar, sementara kepalanya menyembul keluar. Ia seperti orang yang pertama naik mobil mewah.
"Aduh Siviaaa! Jangan kaya gitu! Nanti ditilang." tegur Cakka. Sebenarnya lebih karena faktor keamanan Sivia.
"Ga pa-pa! Aku kangen sama pak polisi." timpal Sivia. Kini, membentangkan kedua tangannya. Seperti hendak terbang.
"Siviaaaaa." ujar Cakka lagi. Hampir bosan menegur gadis itu.
Maka mendengar nada Cakka yang melemah, Sivia menarik kepalanya untuk kembali ke dalam mobil. Duduk takzim di samping Cakka. "Maaf ya Kka!" Sivia bercicit pelan.
Cakka menoleh ke arah Sivia. Dengan punggung tangan, ia mengusap pipi Sivia. "Don't worry!" tersenyum Sivia.
Sivia menyentuh lengan Cakka. Membalas senyum Cakka dengan senyum terbaik yang ia miliki. "Makasih ya!"
Cakka menarik kembali tangannya. Fokus memegang kendali. Dan beberapa detik kemudian, ia tersadar. Jalan ini?
Cekiiiitttttt...
Bunyi berdecit itu diciptakan oleh gesekan antara ban mobil dengan aspal, ketika si pengemudi sekuat tenaga menginjak rem secara tiba-tiba. Membuat penumpang satu-satunya terkejut dan hampir terluka. Untung saja, sabuk pengaman menyelamatkannya.
"Kenapa Kka?" Sivia menoleh pada Cakka. Dilihatnya wajah pemuda itu sangat pucat. Tubuhnya gemetar. Dan deru nafasnya tak teratur.
"Kamu baik-baik aja?" tanya Sivia cemas.
"Kita putar balik ya!" dengan suara bergetar ia berbicara. Ucapannya sama sekali tak menjawab pertanyaan Sivia. Terserah saja.
Sivia pun berhenti bertanya. Membiarkan Cakka melakukan apa pun yang diingankannya. Sejuta pertanyaan itu akhirnya Sivia telan sendiri.
Mobil itu kini telah berbalik arah. Masih menyisakan pucat di wajah tampan, Cakka melajukan kembali mobilnya. Meninggalkan jalan yang gagal dilaluinya. Jalan yang menghubungkannya dengan tempat dimana ia mengubur masa lalunya. Ia menghindari tempat itu. Karena kalau tidak, sang masa lalu akan menyembul dan mengacaukan segalanya.
Biarkan kini, hanya masa depan yang berkuasa. Begitu rapalnya. Dalam hati tentu saja.
***
Bersambung
*
0 Komentar :
Posting Komentar
Komentari