Lebih Dari Plester part 4
Gabriel memasukkan buku
serta alat tulis lainnya ke dalam tas. Setelah itu, ia bangkit dari
kursinya. Hendak pergi ke luar kelas. Sebelum akhirnya, langkahnya
dihentikan oleh suara lembut yang menyerukan namanya. Gabriel
membalikkan tubuhnya. Mendapati gadis yang baru saja memanggilnya itu
masih duduk di kursinya. Gabriel mengangkat sebelah alisnya. Lantas
berkata, "Apa?" dengan nada datar khasnya.
Ify mengulum bibir. "Ikut ke kantin!" kata Ify dengan wajah memelas. Ia merapatkan kedua telapak tangannya. Memohon agar Gabriel mengizinkannya untuk ikut ke kantin seperti hari kemarin.
"Elo kan udah tahu dimana kantinnya. Gue udah ga punya tanggung jawab seperti apa yang lo bilang!" ujar Gabriel tak peduli. Ia langsung melengos pergi.
Gadis itu hanya bisa mendesah kentara setelahnya. Gabriel aneh. Lima menit yang lalu, mereka baru saja bersama-sama belajar tentang trigonometri. Bahkan Gabriel sendiri yang meminta pada dirinya untuk mengajarkannya. Sekarang, menemaninya saja ke kantin, Gabriel tidak mau. Ify bukannya pamrih. Ia hanya masih segan pergi ke kantin sendirian. Entah kenapa, ia enggan mengajak seseorang selain Gabriel. Padahal, ia telah mengenal beberapa siswa di kelasnya.
Baiklah. Ify bersandar pada kursi. Hari ini, ia tidak akan ke kantin. Biar saja ia menahan lapar sampai pulang sekolah nanti. Ify mengusap-usap perutnya. Berharap sang perut bisa diajaknya berkompromi.
Mungkin, Ify terlahir sebagai gadis yang beruntung. Ketika keringat dingin bercucuran membingkai wajah cantiknya karena kelaparan, Tuhan mengirimkan Dewa penyelamat untuknya. Menolongnya dari rasa lapar yang hampir saja membuatnya pingsan. Pemuda itu datang. Dengan gaya tengilnya menawarkan diri untuk menemani Ify ke kantin.
"Mau ke kantin? Yuk sama aku!" ujar si pemuda.
"Ya ampun Rio keceeee!" Ify mencelat dari kursinya. Menatap tak percaya pada Rio. Bibirnya yang pucat bergetar. "Ayo!" Ify menarik lengan Rio menuju kantin.
***
Nafsu makannya terpuaskan ketika Ify disuguhkan semangkuk bakso yang dipesan Rio. Tanpa basa-basi, ia langsung melahap bakso tersebut.
Sementara Rio, tak henti menatapi lekat-lekat setiap inci profil wajah Ify. Gadis itu nampak sangat polos. Ify mungkin gadis terlugu yang pernah dijumpainya. Rio sampai terkekeh sendiri ketika cuping hidung Ify memerah. Akibat dari terlalu banyak sambal yang ia campurkan pada kuah baksonya. Ya, ia kepedasan. Lidahnya serasa dibakar.
"Makasih ya Rio kece!" ujar Ify di sela prosedur menyantap baksonya. Kalimatnya terdengar kurang jelas. Kembali melanjutkan makan.
"Santai aja Ify cantik!" timpal Rio. Ia menyeruput es kelapa mudanya. Lantas memberikan es kelapa muda yang sama pada Ify yang baru saja selesai menghabiskan baksonya tanpa sisa.
Ify langsung meneguk es kelapa muda yang diserahkan Rio. Untung saja Ify bukan gadis yang neko-neko. Ia tidak keberatan meminum es kelapa muda sisa Rio. Ia juga tidak mengganti sedotan bekas Rio. Benar-benar gadis yang berbeda. Ah, ia jadi semakin suka padanya. Ya, Rio telah menyukai Ify saat pertama kali Rio bertemu dengannya.
Ify membersihkan bibirnya dengan tissue. Mengerjapkan mata. Mengagetkan Rio yang sedari tadi mengagumi kecantikannya dengan menepuk punggung tangan Rio.
"Rio kece, kok Gabriel galak ya? Ify jadi takut deh!" ujar Ify. Membayangkan kembali wajah Gabriel ketika pertama kali ia melihatnya. Ekspresi ketidaksukaan dan penolakan terhadapnya sangat kentara.
"Dia ga galak kok. Dia cuma aneh aja! Haha." Rio tertawa menyeringai.
"Bilangin ke Gabriel ah!" Ify mendelik Rio yang bersikap tak acuh. Masa bodoh.
Rio bersiul-siul tak peduli. Matanya menyapu seluruh sudut kantin. Sampai ketika matanya berhenti pada satu fokus. Ia menangkap siluet pemuda yang tengah duduk sendirian sambil membaca sebuah buku. Rio berdecak. Bisa-bisanya Gabriel membaca di tempat seperti ini. Jelas-jelas kantin adalah tempat makan. Kalau mau membaca, ya di perpustakaan. Rio mengumpat dalam hati.
Namun, melihat Gabriel yang menyendiri, agaknya Rio juga merasa prihatin. Ia teringat dulu ketika Gabriel masih menjadi Gabriel yang ceria. Sudah sangat lama ia kehilangan sosok sahabatnya yang seperti itu. Harus Rio akui, ia merindukan Gabriel yang dulu. Rio menatap menerawang.
"Kenapa?" tanya Ify.
"Eh..." Rio terkesiap. Menggeleng seraya tersenyum. "Gue ke sana dulu ya!"
Setelah mendapatkan izin dari Ify, Rio bergegas menghampiri Gabriel.
Setelah Rio berdiri tepat di belakang Gabriel, ia merebut buku yang tengah dibaca Gabriel dari belakang. Membuat Gabriel terperanjat dan spontan menoleh ke belakang. Ia mendapati Rio yang mengangkat tinggi bukunya, seraya nyengir tanpa dosa.
"Gue lagi ga mau bercanda." ujar Gabriel. "Sini buku gue!" Gabriel melompat dan mengambil bukunya dari tangan Rio. Duduk lagi di kursinya.
Rio mendesah. Ia menarik kursi, dan duduk di samping Gabriel. "Sejak kapan sih lo mau bercanda lagi?" Rio mencibir. Seenaknya memimum minuman kaleng milik Gabriel.
Gabriel meletakan bukunya di atas meja dengan kasar. "Maksud lo apa?"
"Gue ga punya maksud apa-apa. Gue cuma kangen aja sama lo." Rio melingkarkan tangannya untuk merangkul Gabriel. "Lo yang dulu." lanjut Rio. Tepat pada telinga Gabriel.
Gabriel tertegun sebentar. Apa maksud Rio? Dirinya yang dulu? Apa bedanya dengan dirinya yang sekarang? Ia pikir sama saja. Hanya satu yang beda. Yaitu, kini harinya terasa kosong tanpa senyum gadis plesternya. Itu saja.
Gabriel menghempaskan tangan Rio. Mempelototi Rio. "Gue masih tetap Gabriel." desisnya. Berjingkat dari tempat duduknya. Bergegas meninggalkan Rio.
Dan baru beberapa langkah dari Rio, Gabriel dihentikan oleh kalimat yang diucapkan Rio yang telak menohok hatinya.
"Elo sadar ga sih kalau lo udah bukan Gabriel lagi? Atau lo pura-pura ga sadar?"
Gabriel mengepalkan tangannya. Rio tidak tahu apa-apa tentangnya. Ia mendengus kesal. Setelah ia berhasil menekan emosinya, ia melanjutkan langkahnya. Tidak tahu apa yang dilakukan Rio setelah dirinya tak lagi di sana.
Setelah Gabriel pergi dengan segala apa yang membuatnya tak pernah mengerti dengan semua perubahan yang terjadi, Rio melempar semua benda yang ada di atas meja. Mangkuk, kaleng minuman, serta buku yang tak sempat dibawa pemiliknya. Benda itu berterbangan ke sembarang tempat. Menciptakan keonaran di kantin yang masih disesaki siswa-siswi sekolahnya. Rio tidak peduli. Ia sudah sangat bosan dengan sikap Gabriel. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Dan selama itu, Gabriel menjadi pribadi yang berbeda. Ia memakai topeng. Menyembunyikan dirinya yang sesungguhnya.
Maka ia juga tidak peduli akibat dari apa yang dilakukannya. Ia tidak peduli semua pasang mata yang ada di kantin menyorot padanya. Ia juga tidak peduli Bu Winda yang memergokinya tengah membuat onar. Hingga untuk kesekian kalinya, ia harus mendapatkan hukuman. Hari ini, ia bertemu kembali dengan sahabat sejatinya, lap dan ember. Ia benar-benar tidak peduli.
Dari semua yang ada di sana, Ify adalah yang paling terhenyak. Ia hanya bisa menganga. Apa yang terjadi antara Gabriel dan Rio? Bukankah mereka berdua bersahabat? Ify meneguk ludah. Menundukkan kepala. Mendapati sebuah buku tergeletak di dekat ujung sepatu catsnya. Buku yang tadi melayang bersama mangkuk dan kaleng minuman. Ify membungkuk. Mengambil buku bersampul plastik bening yang cukup tebal itu. Ia mengamati covernya. Dinosaurus. Buku milik Gabriel. Ify mendekap buku itu di depan dada. Ia segera kembali ke kelas. Hendak mengembalikan buku itu pada si empunya.
Ify harus mengurungkan niatnya, ketika ia mengetahui bahwa Gabriel tak ada di kelas. Kata Oik, Gabriel meminta izin pulang karena sakit. Ify sempat bertanya-tanya. Mungkinkah Gabriel sakit? Dan Ify akhirnya tahu, kalau ada yang sakit dari bagian tubuh Gabriel yang tak kasat mata. Ify akhirnya menyimpan buku itu di tasnya. Biar besok saja ia memberikan buku itu pada Gabriel.
***
Gabriel meninju lantainya sekeras mungkin. Hingga dari sela jemarinya mengalir darah segar. Apa yang telah dilakukan Rio tadi? Ia tak berhak mengatur bagaimana hidupnya kini. Ia seharusnya tak mempedulikan keadaannya yang memprihatinkan ini. Ia tak perlu dikasihani. Biarkan ia sendiri saja bersama jutaan elegi kesakitannya. Biarkan ia menanggung pedih lukanya sendiri. Karena ia masih menggenggam erat keyakinan itu. Gadis itu pasti akan kembali. Membawakan segudang plester untuk mengobati seluruh luka yang telah membusuk di hatinya.
Gabriel menatapi lengannya yang terluka. Tetesan darah sudah jatuh menodai lantai. Ia menggigit bibir. Bagaimanalah kalau gadis itu tak akan pernah kembali lagi? Gabriel memilih mati saja. Membawa seluruh perih ke keabadian.
Gabriel mengangkat lengannya yang lain ke udara. Ia hendak meninjukannya ke lantai, sebelum akhirnya Rio mendorong kasar pintu kamar Gabriel hingga terbuka. Rio menahan kuat-kuat tangan Gabriel. Memohon dengan sangat agar Gabriel menyudahi semuanya.
"Berhenti nyakitin diri lo sendiri! Apa lo pikir, dia seneng liat lo begini? Enggak Yel! Dia pasti sedih." Rio menahan agar air matanya tidak meleleh.
"Gue butuh dia. Cuma dia." suara Gabriel gemetar ketika mendengarnya. Kepalanya menunduk dalam.
Hati Rio mencelos ketika mendengarnya. Ia bisa menangkap dengan jelas bagaimana Gabriel mengatakannya dengan sepenuh hati. Ia seperti hendak memamerkan rasa sakitnya pada seluruh dunia.
Kini, giliran Rio yang meninju lantai. Baginya, ia harus merasakan juga rasa sakit yang dirasakan Gabriel. Paling tidak, hanya itu yang bisa membuat Gabriel merasa tak sendiri lagi. Pemuda itu harus tahu bahwa hidup bukan melulu mengenai gadis plester itu. Gabriel harus bisa melanjutkan hidupnya yang berharga, ada ataupun tidak gadis plester itu di sampingnya. Karena, ia sesungguhnya masih memiliki orang-orang yang senantiasa menerima segala apa yang ada pada dirinya.
Dan mungkin, gadis lugu yang baru menjejakan kaki dalam kisahnya itu, bisa menjadi keindahan yang tak seharusnya disia-siakan. Bahkan, disadari atau tidak, ia jauh lebih hebat dari gadis plester yang kini entah berada di mana.
***
Bersambung
Ify mengulum bibir. "Ikut ke kantin!" kata Ify dengan wajah memelas. Ia merapatkan kedua telapak tangannya. Memohon agar Gabriel mengizinkannya untuk ikut ke kantin seperti hari kemarin.
"Elo kan udah tahu dimana kantinnya. Gue udah ga punya tanggung jawab seperti apa yang lo bilang!" ujar Gabriel tak peduli. Ia langsung melengos pergi.
Gadis itu hanya bisa mendesah kentara setelahnya. Gabriel aneh. Lima menit yang lalu, mereka baru saja bersama-sama belajar tentang trigonometri. Bahkan Gabriel sendiri yang meminta pada dirinya untuk mengajarkannya. Sekarang, menemaninya saja ke kantin, Gabriel tidak mau. Ify bukannya pamrih. Ia hanya masih segan pergi ke kantin sendirian. Entah kenapa, ia enggan mengajak seseorang selain Gabriel. Padahal, ia telah mengenal beberapa siswa di kelasnya.
Baiklah. Ify bersandar pada kursi. Hari ini, ia tidak akan ke kantin. Biar saja ia menahan lapar sampai pulang sekolah nanti. Ify mengusap-usap perutnya. Berharap sang perut bisa diajaknya berkompromi.
Mungkin, Ify terlahir sebagai gadis yang beruntung. Ketika keringat dingin bercucuran membingkai wajah cantiknya karena kelaparan, Tuhan mengirimkan Dewa penyelamat untuknya. Menolongnya dari rasa lapar yang hampir saja membuatnya pingsan. Pemuda itu datang. Dengan gaya tengilnya menawarkan diri untuk menemani Ify ke kantin.
"Mau ke kantin? Yuk sama aku!" ujar si pemuda.
"Ya ampun Rio keceeee!" Ify mencelat dari kursinya. Menatap tak percaya pada Rio. Bibirnya yang pucat bergetar. "Ayo!" Ify menarik lengan Rio menuju kantin.
***
Nafsu makannya terpuaskan ketika Ify disuguhkan semangkuk bakso yang dipesan Rio. Tanpa basa-basi, ia langsung melahap bakso tersebut.
Sementara Rio, tak henti menatapi lekat-lekat setiap inci profil wajah Ify. Gadis itu nampak sangat polos. Ify mungkin gadis terlugu yang pernah dijumpainya. Rio sampai terkekeh sendiri ketika cuping hidung Ify memerah. Akibat dari terlalu banyak sambal yang ia campurkan pada kuah baksonya. Ya, ia kepedasan. Lidahnya serasa dibakar.
"Makasih ya Rio kece!" ujar Ify di sela prosedur menyantap baksonya. Kalimatnya terdengar kurang jelas. Kembali melanjutkan makan.
"Santai aja Ify cantik!" timpal Rio. Ia menyeruput es kelapa mudanya. Lantas memberikan es kelapa muda yang sama pada Ify yang baru saja selesai menghabiskan baksonya tanpa sisa.
Ify langsung meneguk es kelapa muda yang diserahkan Rio. Untung saja Ify bukan gadis yang neko-neko. Ia tidak keberatan meminum es kelapa muda sisa Rio. Ia juga tidak mengganti sedotan bekas Rio. Benar-benar gadis yang berbeda. Ah, ia jadi semakin suka padanya. Ya, Rio telah menyukai Ify saat pertama kali Rio bertemu dengannya.
Ify membersihkan bibirnya dengan tissue. Mengerjapkan mata. Mengagetkan Rio yang sedari tadi mengagumi kecantikannya dengan menepuk punggung tangan Rio.
"Rio kece, kok Gabriel galak ya? Ify jadi takut deh!" ujar Ify. Membayangkan kembali wajah Gabriel ketika pertama kali ia melihatnya. Ekspresi ketidaksukaan dan penolakan terhadapnya sangat kentara.
"Dia ga galak kok. Dia cuma aneh aja! Haha." Rio tertawa menyeringai.
"Bilangin ke Gabriel ah!" Ify mendelik Rio yang bersikap tak acuh. Masa bodoh.
Rio bersiul-siul tak peduli. Matanya menyapu seluruh sudut kantin. Sampai ketika matanya berhenti pada satu fokus. Ia menangkap siluet pemuda yang tengah duduk sendirian sambil membaca sebuah buku. Rio berdecak. Bisa-bisanya Gabriel membaca di tempat seperti ini. Jelas-jelas kantin adalah tempat makan. Kalau mau membaca, ya di perpustakaan. Rio mengumpat dalam hati.
Namun, melihat Gabriel yang menyendiri, agaknya Rio juga merasa prihatin. Ia teringat dulu ketika Gabriel masih menjadi Gabriel yang ceria. Sudah sangat lama ia kehilangan sosok sahabatnya yang seperti itu. Harus Rio akui, ia merindukan Gabriel yang dulu. Rio menatap menerawang.
"Kenapa?" tanya Ify.
"Eh..." Rio terkesiap. Menggeleng seraya tersenyum. "Gue ke sana dulu ya!"
Setelah mendapatkan izin dari Ify, Rio bergegas menghampiri Gabriel.
Setelah Rio berdiri tepat di belakang Gabriel, ia merebut buku yang tengah dibaca Gabriel dari belakang. Membuat Gabriel terperanjat dan spontan menoleh ke belakang. Ia mendapati Rio yang mengangkat tinggi bukunya, seraya nyengir tanpa dosa.
"Gue lagi ga mau bercanda." ujar Gabriel. "Sini buku gue!" Gabriel melompat dan mengambil bukunya dari tangan Rio. Duduk lagi di kursinya.
Rio mendesah. Ia menarik kursi, dan duduk di samping Gabriel. "Sejak kapan sih lo mau bercanda lagi?" Rio mencibir. Seenaknya memimum minuman kaleng milik Gabriel.
Gabriel meletakan bukunya di atas meja dengan kasar. "Maksud lo apa?"
"Gue ga punya maksud apa-apa. Gue cuma kangen aja sama lo." Rio melingkarkan tangannya untuk merangkul Gabriel. "Lo yang dulu." lanjut Rio. Tepat pada telinga Gabriel.
Gabriel tertegun sebentar. Apa maksud Rio? Dirinya yang dulu? Apa bedanya dengan dirinya yang sekarang? Ia pikir sama saja. Hanya satu yang beda. Yaitu, kini harinya terasa kosong tanpa senyum gadis plesternya. Itu saja.
Gabriel menghempaskan tangan Rio. Mempelototi Rio. "Gue masih tetap Gabriel." desisnya. Berjingkat dari tempat duduknya. Bergegas meninggalkan Rio.
Dan baru beberapa langkah dari Rio, Gabriel dihentikan oleh kalimat yang diucapkan Rio yang telak menohok hatinya.
"Elo sadar ga sih kalau lo udah bukan Gabriel lagi? Atau lo pura-pura ga sadar?"
Gabriel mengepalkan tangannya. Rio tidak tahu apa-apa tentangnya. Ia mendengus kesal. Setelah ia berhasil menekan emosinya, ia melanjutkan langkahnya. Tidak tahu apa yang dilakukan Rio setelah dirinya tak lagi di sana.
Setelah Gabriel pergi dengan segala apa yang membuatnya tak pernah mengerti dengan semua perubahan yang terjadi, Rio melempar semua benda yang ada di atas meja. Mangkuk, kaleng minuman, serta buku yang tak sempat dibawa pemiliknya. Benda itu berterbangan ke sembarang tempat. Menciptakan keonaran di kantin yang masih disesaki siswa-siswi sekolahnya. Rio tidak peduli. Ia sudah sangat bosan dengan sikap Gabriel. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Dan selama itu, Gabriel menjadi pribadi yang berbeda. Ia memakai topeng. Menyembunyikan dirinya yang sesungguhnya.
Maka ia juga tidak peduli akibat dari apa yang dilakukannya. Ia tidak peduli semua pasang mata yang ada di kantin menyorot padanya. Ia juga tidak peduli Bu Winda yang memergokinya tengah membuat onar. Hingga untuk kesekian kalinya, ia harus mendapatkan hukuman. Hari ini, ia bertemu kembali dengan sahabat sejatinya, lap dan ember. Ia benar-benar tidak peduli.
Dari semua yang ada di sana, Ify adalah yang paling terhenyak. Ia hanya bisa menganga. Apa yang terjadi antara Gabriel dan Rio? Bukankah mereka berdua bersahabat? Ify meneguk ludah. Menundukkan kepala. Mendapati sebuah buku tergeletak di dekat ujung sepatu catsnya. Buku yang tadi melayang bersama mangkuk dan kaleng minuman. Ify membungkuk. Mengambil buku bersampul plastik bening yang cukup tebal itu. Ia mengamati covernya. Dinosaurus. Buku milik Gabriel. Ify mendekap buku itu di depan dada. Ia segera kembali ke kelas. Hendak mengembalikan buku itu pada si empunya.
Ify harus mengurungkan niatnya, ketika ia mengetahui bahwa Gabriel tak ada di kelas. Kata Oik, Gabriel meminta izin pulang karena sakit. Ify sempat bertanya-tanya. Mungkinkah Gabriel sakit? Dan Ify akhirnya tahu, kalau ada yang sakit dari bagian tubuh Gabriel yang tak kasat mata. Ify akhirnya menyimpan buku itu di tasnya. Biar besok saja ia memberikan buku itu pada Gabriel.
***
Gabriel meninju lantainya sekeras mungkin. Hingga dari sela jemarinya mengalir darah segar. Apa yang telah dilakukan Rio tadi? Ia tak berhak mengatur bagaimana hidupnya kini. Ia seharusnya tak mempedulikan keadaannya yang memprihatinkan ini. Ia tak perlu dikasihani. Biarkan ia sendiri saja bersama jutaan elegi kesakitannya. Biarkan ia menanggung pedih lukanya sendiri. Karena ia masih menggenggam erat keyakinan itu. Gadis itu pasti akan kembali. Membawakan segudang plester untuk mengobati seluruh luka yang telah membusuk di hatinya.
Gabriel menatapi lengannya yang terluka. Tetesan darah sudah jatuh menodai lantai. Ia menggigit bibir. Bagaimanalah kalau gadis itu tak akan pernah kembali lagi? Gabriel memilih mati saja. Membawa seluruh perih ke keabadian.
Gabriel mengangkat lengannya yang lain ke udara. Ia hendak meninjukannya ke lantai, sebelum akhirnya Rio mendorong kasar pintu kamar Gabriel hingga terbuka. Rio menahan kuat-kuat tangan Gabriel. Memohon dengan sangat agar Gabriel menyudahi semuanya.
"Berhenti nyakitin diri lo sendiri! Apa lo pikir, dia seneng liat lo begini? Enggak Yel! Dia pasti sedih." Rio menahan agar air matanya tidak meleleh.
"Gue butuh dia. Cuma dia." suara Gabriel gemetar ketika mendengarnya. Kepalanya menunduk dalam.
Hati Rio mencelos ketika mendengarnya. Ia bisa menangkap dengan jelas bagaimana Gabriel mengatakannya dengan sepenuh hati. Ia seperti hendak memamerkan rasa sakitnya pada seluruh dunia.
Kini, giliran Rio yang meninju lantai. Baginya, ia harus merasakan juga rasa sakit yang dirasakan Gabriel. Paling tidak, hanya itu yang bisa membuat Gabriel merasa tak sendiri lagi. Pemuda itu harus tahu bahwa hidup bukan melulu mengenai gadis plester itu. Gabriel harus bisa melanjutkan hidupnya yang berharga, ada ataupun tidak gadis plester itu di sampingnya. Karena, ia sesungguhnya masih memiliki orang-orang yang senantiasa menerima segala apa yang ada pada dirinya.
Dan mungkin, gadis lugu yang baru menjejakan kaki dalam kisahnya itu, bisa menjadi keindahan yang tak seharusnya disia-siakan. Bahkan, disadari atau tidak, ia jauh lebih hebat dari gadis plester yang kini entah berada di mana.
***
Bersambung
0 Komentar :
Posting Komentar
Komentari