HUJAN, Kita Dan Mimpi part 6B
Ku ingin marah melampiaskan
tapi ku hanyalah sendiri disini
ingin ku tunjukan pada siapa saja yang ada bahwa hatiku, kecewa.
~Bunga Citra Lestari~
*
"Terus Ify?" tanyaku sarkatis.
Papa dan Mama saling berpandangan, seakan mereka berfikir 'pasien lebih penting dari kamu Fy'.
"Kamu lanjutin makan, papa ntar telpon Mang Ujang buat jemput kamu, oke sayang? Yuk ma!" Papa menarik tangan mama, lalu dengan terburu-buru meninggalkanku dengan semua kekecewaan yang kembali ku raih.
Aku terpaku sendiri, melihat mereka seakan tak mempedulikan aku yang kenyataannnya adalah anak mereka. Lalu apa makna dari perkataan mama tadi malam? 'Besok, kami milikmu'. Alah, omong kosong semuanya.
Makanan di hadapanku kini terlihat hidup dan mencibirku. Oke, aku ga nafsu makan kalian.
Aku bergegas keluar, aku telusuri sudut tempat parkir. Tak ada jaguar yang tadi mengantarku ke sini. Dia pergi, membawa kebahagiaanku dengan sangat cepat.
Dengan berat aku berjalan, tak tentu tujuan. Mataku menatap kosong ke depan. Pikiranku melayang dan hatiku luluh lantak. Ya, aku kecewa. Aku kira kebahagiaan ini akan bertahan lebih lama di diriku, ternyata bahagia itu tak betah hinggap terlalu lama padaku. Tapi kenapa tuhan? Apa dalam diriku terdapat sebuah monster jahat berbadan besar dan menakutkan sehingga bahagia itu enggan lama-lama tinggal. Atau bahagia itu benci pada itik buruk rupa sepertiku? Tapi sekarang aku kan pelangi. Ah, pelangi ataupun itik buruk rupa sama saja bagiku. Aku tetap tak dapatkan bahagia.
Bahagia. Hal termewah dan termahal bagiku di dunia ini yang tak pernah bisa ku beli. Beli? Kalau bahagia dapat dibeli, berapa harganya? Satu juta? seratus juta? Satu milyar? satu triliyun? Berapa? Ayo sebutkan! Dan tidak. Tidak. Tidak. Bahagia itu tak dapat dibeli dengan rupiah. Lalu dengan apa? Pengorbanan. Hey, sudah banyak yang ku korbankan. Dan sudah lama aku menunggu bahagia itu menghampiriku. Kapan tuhan?
Oke. Tidak ada gunanya memaksa. Biarlah mengalir seperi aliran air di sungai.
*
Akhirnya aku sampai di sebuah halte. Bukan. Bukan halte yang dekat sekolah. Ini halte yang berbeda, tapi di mana pun haltenya, aku tetap menyukainya. Aku tidak berniat untuk berteduh dari teriknya siang ini, aku hanya duduk di emperan halte. Ya, macam gelandangan.
Aku kembali merenung, menekuri hidupku yang amat malang ini. Kenapa malang selalu mengekoriku? Mataku mulai berkaca-kaca dan sebentar lagi bersiap pecah lalu menumpahkan tangis. Dan benar kan? Si bening itu mulai terjun bebas dari mataku. Ya, aku rasa menangis dapat membuatku lebih baik. Meski kenyataannnya tidak sama sekali.
Aku memelototi beton yang ku injak. Yang tadinya terang, sekarang mulai meredup. Apa ini? Aku menengadahkan kepalaku, melihat langit yang tadinya biru, kini menjadi hamparan awan kelabu, dan nampaknya kau mau datang. Kenapa? Bukankah hari ini kamu tak ada jadwal untuk menyerbu bumi? Dasar kau!
Setetes, dua tetes, lalu diikuti rombongan tetes yang lain. Kau mulai datang menimpaku. Kenapa kau ikut menangis hujan? Apa ini cibiranmu pada kelemahanku? Iya?
"Jangan menangis terlalu lama Ify!" kata seseorang yang kini sudah berdiri gagah di sampingku. "Pelangiku" lanjut Rio. Ya, dialah orang itu.
"Kenapa? Toh hujan setiap turuh selalu menangis?" pembelaanku.
"Ada dua hal yang membuat hujan menangis" ujarnya lalu menghela nafas "Satu, hujan menangis karena dia mau memberikan rintikanya untuk kehidupan."
Aku memotong pembicaraannya "Aku tahu satu lagi, dia pasti sedih kan? Sama sepertiku." Air mataku kini turun makin deras bersama hujan yang selalu mengiringiku.
"kamu salah, hujan tak pernah sedih. Alasan lain kenapa dia turun adalah dia ingin dan harus mengkamuflase tangisan mahluk-mahluk di bumi. Dan itulah alasan dia turun sekarang."
Bicara apa mahluk satu ini? Apa benar yang ia katakan hujan? Kau mau mengkamuflase tangisku saat ini?
"Dan kamu tahu Fy, saat ini dia gagal melaksanakan tugasnya. Tangismu terlalu deras sehingga hujan tak mampu menyamarkanya." ujarnya lagi.
Kata-katanya sungguh aneh. Ngelantur ya ini orang? Tapi, ada benarnya juga sih, kali ini aku menangis sangat optimal. Tapi apakah sederas itu, hingga hujan tak mampu mengkamuflase tangisku?
"jangan menangis lagi, jangan buat hujan susah payah melakukan itu. Biarlah hujan turun hanya untuk memberikan titik-titik kehidupan tanpa ada embel-embel yang lainya!" ujarnya lagi.
Aku menoleh ke arahnya, sosoknya begitu dewasa saat ini, melebihi umurnya yang masih 15 tahun.
Dia mengulurkan tangannya padaku. Tanpa berfikir, aku meraih tangannya. Dia mengangkatku bangkit dari keterpurukkan. Dia bagai katrol yang mengangkat seember air dari dasar sumur.
Dia menarikku masuk ke bis yang baru saja tiba. Aku hanya terus mengekorinya, hingga akhirnya kami duduk di baris ketiga, seperti saat itu. Bedanya kali ini dia memisahkanku dengan jendela.
Bis pun melaju bersamaan dengan genggaman tangan kami yang makin mengerat. Dia salurkan semangatnya padaku lewat genggaman tangan halusnya.
"Biarlah tetap begini!" ujarnya sambil menggerakan genggamannya kemudian mempererat "aku ngantuk, aku tidur ya!" katanya lalu mendaratkan kepalanya pada bahuku -lagi-.
Hangat. Hangat sekali. Memang matahari yang selalu memberikan kehangatan untuk seluruh insani. Aku tak tahu apa yang ku rasakan, tapi energi yang dia salurkan mulai menjalar ke seluruh tubuhku lewat pembuluh darah. Dan kini hampir mencapai tempat dimana darah di pompa. Ya, jantung. Jantungku mulai berdetak, lebih cepat, semakin cepat, bahkan lebih cepat dari ketukan sepatu kuda. Apa yang ku rasakan?
Tuk. tuk. tuk. Bukan. Itu bukan suara jantunku. Suara jantungku kan teredam. Hanya aku, Tuhan, dan si jantung itulah yang mampu mendengarnya. Yang barusan itu suara tetesan hujan yang mengetuk kaca jendela. Keliahatannya kau marah karena ada dia di antara kita. Aku menggapai jendela dengan hati-hati agar tak membangunkannya yang tengah terlelap. Tenang hujan, bagiku kau tetap yang terbaik. Jangan berisik ya! Pangeran matahari sedang mendengkur.
Hujan, dia tegarkan
dia kuatkan
dia hapuskan
*
"Aku pulang" Kataku lemah sambil menyusuri satu persatu anak tangga.
"Non, kok ga pulang sama Mang Ujang? Tadi dia jemput non." Ujar bi Surti.
Aduh, bibiku yang satu ini, cerewet deh. Sudahlah. Tak perlu urusi semua ini. Aku tak mempedulikan celotehan wanita paruh baya itu. Aku melengos pergi.
*
Ku raih kenop pintu kamar lalu membukanya, membuka jalan masuk menuju dunia kesendirianku. Aku melangkah lalu berniat mendaratkan badanku di pulau kapuk. Tunggu, ruangan itu menggodaku. Ruangan yang terdapat di kamarku di samping kamar mandi. Ruangan yang dulu selalu ramai dengan rengekan, canda, tawa, dan semuanya. Ruangan yang bisa dibilang 'ruangan bermain'.
Dengan gontai aku masuk ke ruangan ini. Bersih, rapi, mungkin bi Surti selalu membersihkan ruangan ini. Ya ampun, sudah berapa lama aku tak memasuki ruangan ini? Aku kira lama sekali.
Di sudut ruangan terdapat rak yang berisi banyak sekali boneka doraemon. Ya, aku suka sekali doraemon.
Di pinggir rak tersebut terdapat sebuah meja yang penuh sekali dengan foto-fotoku dan salah satu diantara banyak foto itu terselip sebuah foto, dengan pigura kayu berwarna coklat, menghiasi gambar diri dalam foto itu. Foto seorang anak perempuan menghadapi lilin angka 12 dan di apit oleh kedua orang tuanya. Anak itu tersenyum. Memperlihatkan gigi gingsulnya. Kebahagiaan sangat terpancar dari wajah imut anak itu. Dan tepat sekali, itu aku. Dua tahun yang lalu. Hey, kenapa aku tumbuh jadi itik buruk rupa? Lihat aku, dulu aku cantik dan bahagia. Tapi kenapa aku jadi begini? Apa aku dikutuk oleh penyihir seperti di dongeng-dongeng? Tidak. Ini bukan dongeng. Ini hidupku.
Aku tangkupkan pigura itu. Tak tega aku melihatnya tersenyum disana. Seperti mencibirku saja.
Huh, apa-apaan aku ini, kenapa aku masuk ke ruangan jelek ini? Aku bergidik, lalu meninggalkan ruangan ini, ruangan yang menyimpan banyak kenangan, kenangan yang perlahan melapuk, terkikis, lalu teronggok mati.
*
0 Komentar :
Posting Komentar
Komentari