Tidak Butuh Judul [10]
Ify
diculik. Setidaknya begitulah yang dirasakan Ify ketika pagi tadi Rio tiba-tiba
menggertaknya untuk ikut bersamanya. Ify tidak diberikan kesempatan untuk mandi
terlebih dahulu. Rio meminta Ify untuk segera berkemas, membawa beberapa baju
serta peralatan menginap lain. Alhasil, masih dengan piama bunga-bunganya, Ify
tertidur pulas dalam mobil, sementara Rio menyetir seraya berbusa-busa
menjelaskan rencana kejutannya untuk sang mama.
Deru
mesin mobil itu berhenti setelah melewati gerbang sebuah bangunan yang hampir
delapan puluh persennya terdiri dari kaca. Rio menoleh. Mendapati Ify yang
masih belum bangun juga. Pemuda itu menggerakkan tangannya, hendak membangunkan
Ify. Namun sedetik kemudian ia urungkan niatnya. Merasa tidak sampai hati untuk
mengganggu gadis yang dengan sukarela bersedia untuk diculiknya itu. Ia lantas
hanya memandangi wajah itu, yang baru ia sadari ternyata begitu cantik. Cantik
yang tenang. Diam-diam, Rio tersenyum dan terus memandangi wajah itu.
Hingga
tiba-tiba Ify membuka kedua matanya. Sukses membuat Rio terkesiap dan terburu
mengalihkan pandangannya. “Susah banget sih Fy dibangunin? Sampe nyerah gue!”
tukas Rio. Berbohong entah untuk alasan apa.
Ify
mengerenyit. Merasa bahwa tidak ada yang membangunkannya barusan. Ia bangun
karena ingin saja. Tidak mendengar suara apa pun, tidak merasakan guncangan apa
pun. Tapi mungkin Rio benar. Dirinya tidur terlalu pulas. Ya siapa suruh
menculiknya pagi buta. “Abis ngantuk banget, Kak! Hehe,” ujar Ify lalu terkekeh
pelan.
Rio
melirik Ify sekilas. ‘Polos banget sih ini bocah. Dari tadi kan gue ga ada
bangunin dia sama sekali.’ ucap Rio dalam hati. Pemuda itu kemudian keluar dari
mobil. “Turun, Fy!”
Ify
segera mengikuti perintah Rio. Dengan menggendong ransel berisi peralatan
menginap, ia berjalan di belakang Rio. Turut mengekorinya masuk ke dalam rumah
kaca itu.
“Eh,
ini sebenarnya di mana sih, Kak?” tanya Ify, baru sadar bahwa sedari tadi Rio
belum memberitahukan di mana tempat mereka berada sekarang.
Rio
belum menjawab pertanyaan Ify ketika tiba-tiba seorang lelaki paruh baya muncul
dan membungkuk hormat pada Rio. “Mas Rio! Pesanan Mas Rio sudah ada di dapur.”
ujar lelaki itu.
“Oh
iya.” gumam Rio pelan kemudian berjalan menuju sebuah ruangan yang ternyata
adalah dapur.
Ify
mengulum bibirnya. Kenapa sih Rio tidak menjawab pertanyaannya yang sangat
mudah itu? Dan apa susahnya bilang terimakasih pada bapak-bapak yang tadi
menyambutnya dengan senyum lebar itu? Sekarang Ify yang merasa bertanggung
jawab untuk mengucapkan terimakasih. Gadis itu mengangguk kemudian berlari
menyusul Rio ke dapur.
Ify
disambut oleh banyak sekali bahan-bahan untuk membuat kue di atas meja. Ia
menatap Rio curiga. Jangan-jangan Rio akan menyuruhnya membuat kue? Tanya Ify
dalam hati. Dasar penjajah! Gerutunya sebal.
“Lo kan
udah janji mau bantuin gue, nah jangan tanggung-tanggung, Fy!” ucap Rio
diakhiri dengan senyum penuh arti.
“Maksudnya
apa nih, Kak?” Ify melipat tangannya di depan dada.
“Kita
bikin kue ulangtahun buat nyokap gue!” ujar Rio dengan sangat antusias.
Ify
menautkan kedua alisnya. “Kita?”
Rio
mengangguk semangat. “Ya, lo sama gue.” Pemuda itu menaik-turunkan alisnya.
Ify
berdecak pelan. “Aku sih bisa bikin kue. Tapi emangnya Kak Rio bisa?” tanya Ify
sarkatis dengan tatapan meragukan. Ify tahu betul bahwa kontribusi Rio di dapur
ini hanya sebagai tim hore yang akan sangat bersemangat ketika disuruh
mencicipi. Gadis itu menggeleng samar.
“Gue
orangnya mau belajar kok, Fy!” ujar Rio seraya mengangkat tangannya yang
terkepal, entah tujuannya apa. Pemuda itu kemudian mengambil dua celemek dari
dalam lemari yang kemudian ia berikan satu untuk Ify dan satu lagi ia kenakan
untuk dirinya sendiri. “Mulai dari mana nih?” tanya Rio.
Setelah
Ify mengenakan celemek, ia mengambil sebuah telur. Ia pecahkan telur itu dengan
menggunakan sendok, lalu ia masukkan ke dalam sebuah wadah. Ia lakukan pula
untuk tiga telur lainnya. Lalu ia menuangkan gula ke sana dan mulai
mengocoknya.
Rio
terlihat takjub melihat Ify. Tanpa sadar ia terus memandangi gadis itu seraya
tersenyum. Niat untuk membuat kue bersama pun menguap ketika Rio ternyata
terhipnotis dan hanya bisa diam seraya menikmati setiap gesture Ify yang di
matanya begitu indah.
Semua
bahan sudah tercampur rata. Ify menuangkannya ke dalam loyang yang kemudian ia
simpan di dalam oven. Gadis itu merengut seraya melemparkan tubuhnya ke atas
kursi. Ia menghembuskan napas berat. “Katanya kita, tapi aku aja yang kerja.
Huft!” gadis itu berkata sarkatis.
Rio
terkekeh pelan. Tanpa berkata sepatah kata pun, pemuda itu melengos pergi.
Membuat Ify semakin kesal dan agak menyesal ikut ke tempat yang sampai sekarang
ia tak tahu apa namanya.
Rio
kembali dengan segelas air putih di tangannya. “Nih!”
Ify
mengambil gelas itu dari tangan Rio, lantas meneguk isinya hingga habis.
“Makasih, Kak!”
“Lo ga
usah bilang makasih. Lo melakukan lebih banyak hal buat gue. Makasih ya!
Makasih banyak!” ujar Rio dengan sepenuh hati.
Mendengar
ucapan tulus Rio, melihat bagaimana pemuda itu menatapnya dalam pada akhirnya
membuat hati Ify luruh dan semua rasa lelah serta kesalnya pecah bergantikan
haru. Ia lupa bahwa dua bulan yang lalu ketika pertama kali ia bertemu dengan
Rio dan pemuda itu langsung menyiksanya serta Alvin yang punya asma untuk
berlari mengelilingi lapangan, ia benci sekali padanya. Seakan belum puas, Rio
juga menghancurkan buku sketsanya. Tapi sekarang ia malah duduk berhadapan
dengan pemuda itu. Memaafkan segala yang pernah terjadi.
Begitu
pula dengan Rio yang tidak pernah menyangka bahwa gadis yang selalu ia
perlakukan dengan buruk adalah gadis yang selalu menolongnya. Pada suatu malam
ketika dirinya pulang dalam keadaan mabuk, Ifylah yang hadir untuknya. Hari
ini, ketika gadis itu dengan sukarela diculik dan dipekerjakan untuk membuat
kue, Rio pun berjanji untuk akan melakukan yang terbaik untuk Ify setelah ini.
Suara
oven yang menandakan kue yang mereka panggang telah matang pun berhasil memecah
keheningan yang entah mengapa tiba-tiba hadir di antara mereka. Seperti mereka
telah bersepakat untuk saling berbincang dalam sepi saja. Ify mengerjap
kemudian segera mengeluarkan kue dari dalam oven.
Setelah
meletakkan kue di atas piring lebar, gadis itu mengambil krim beraneka warna yang
telah ia buat sebelumnya untuk menghias kue tersebut. Krim putih yang pertama
ia oleskan pada setia inci permukaan kue
tersebut, lantas ia tambahkan dengan krim dengan warna yang lain untuk membuat
kue itu lebih cantik.
Ketika
tengah serius menghias kue, Rio kemudian bergerak memutar hingga berada di
belakang Ify. Pemuda itu mengambil rambut Ify yang lantas ia satukan dengan karet
gelang yang entah ia dapatkan dari mana. Ia tergerak untuk melakukan itu karena
beberapa kali Ify didapati menyelipkan jumputan rambutnya yang teruntai jatuh
ke depan menghalangi pandangannya.
Ify
terkesiap dan menghentikan gerakan tangannya ketika Rio mengikat rambutnya.
Gadis itu kemudian menoleh dan mendapati wajah Rio dekat sekali dengannya. Ia
melihat pemuda itu tersenyum. Manis sekali, seperti krim yang ada di tangannya.
Rio
menepuk pundak Ify dan seketika membuat gadis itu mengerjap. Ia menggeleng
samar. Hampir saja merusak hiasan kue yang telah ia buat setengah jalan. Gadis
itu tersenyum canggung, “Makasih, Kak!” ujarnya gugup, lalu kembali melanjutkan
kegiatannya.
Rio
mengangkat bahu. Kemudian mundur beberapa langkah dan menyandarkan tubuhnya
pada lemari. Ia melipat tangannya di depan dada, memandangi Ify yang meskipun
hanya punggungnya saja masih bisa membuat hatinya berbunga.
Ify
tahu Rio sedang memandanginya dari belakang. Tapi ia tidak mau terpengaruh dan
menahan tubuhnya untuk tidak berbalik. Ia tidak tahu apa yang baru saja
terjadi. Yang ia tahu ada bara api yang menyelinap masuk kemudian membakar
hatinya. Gadis itu tiba-tiba mengerjap. Sadar bahwa ada yang salah dengan
dirinya. Kini, ia berusaha fokus pada kuenya saja.
Akhirnya,
kue cantik bertuliskan ‘Happy Birthday Mama’ itu pun selesai. Ify menghembuskan
napas lega. Entah mengapa ia merasa untuk membuat satu buah kue saja rasanya
sangat melelahkan. Semua karena Rio tidak sedetik pun berhenti mengawasinya.
Ify
menanggalkan celemeknya. “Aku capek! Aku mau istirahat, boleh?” tanya Ify,
berusaha untuk tidak menatap mata Rio.
“Ada
kamar di atas sebelah kiri. Lo istirahat di sana aja. Keluarga gue datang nanti
sore. Sebelum mereka datang, gue panggil lo,” ujar Rio.
“Oke
makasih, Kak!” Ify kemudian segera pergi. Menyelamatkan dirinya yang teramat
kacau. Ify benar-benar butuh waktu sendiri.
Ify
berbaring terlentang di atas tempat tidur. Ia pandangi langit-langit kamar
dengan perasaan yang ia sendiri tak bisa jabarkan. Semuanya serba misterius.
Menyadari bahwa kini bukan hanya hatinya yang terbakar, tapi juga seluruh
tubuhnya. Terlalu membara untuk ia simpulkan bahwa itu adalah hal yang biasa.
Tiba-tiba dadanya mencelos. Ingat bahwa perasaan seperti ini pernah ia rasakan
dulu, lebih dari tiga tahun yang lalu, ketika pertama kali ia bertemu dengan
Gabriel di sebuah pameran lukis. Ify menggeleng. Berkeras hati untuk membuat
penyangkalan bahwa perasaan itu tidaklah sama.
Gadis
itu melawan suara hati kecilnya yang meraung-raung memekakkan telinga. Kini ia
tak lagi bisa mendengar apa-apa. Dan semua yang dilihatnya gelap. Ia tertidur
di sana.
***
Ify sudah
bangun, mandi dan berganti baju sejak satu jam yang lalu. Tapi ia baru keluar
dari tempat persembunyiannya ketika Rio memanggilnya. Gadis itu bersiap.
Berharap bahwa guyuran air ketika mandi
tadi telah mematikan bara dalam tubuhnya.
Sialnya,
baru mencium wangi tubuh Rio saja, telah berhasil membuat Ify mati langkah dan
ingin kembali bersembunyi. Namun urung ia lakukan karena Rio terlanjur
memergokinya.
“Hai!”
sapa Rio seraya menata piring di atas meja.
Ify
hanya tersenyum sekilas seraya menyisir pandangan ke setiap penjuru ruangan.
Dekorasi khas ulangtahun ditampilkan di sana. Balon berwarna-warni serta hiasan
bertuliskan Happy birthday menggantung pada dinding kaca. Belum hilang
keterpanaannya, Ify dibuat melongo dengan makanan-makanan yang ada di sana.
Bukan hanya kue buatannya, tapi ada berbagai makanan yang entah berasal dari
mana karena ia sangat yakin Rio tidak mungkin memasak semuanya.
“Deket
sini, ada restoran favorit nyokap. Gue tadi beliin menu favoritnya.” Ujar Rio
seakan-akan ia bisa mendengar pertanyaan Ify yang ia simpan hanya dalam hati.
Ify
mengangguk samar. “Keluarga Kakak kapan datang?”
Belum
sempat Rio menjawab, deru mobil terdengar memasuki gerbang. Pemuda itu
membeliak riang. “Itu mereka!” ia bergegas keluar, menyambut kedatangan keluarganya.
“Ma!”
seru Rio kemudian memeluk sang mama. “Mama sehat?” tanya Rio, agak canggung
ketika ia bertanya karena sebelumnya ia tidak pernah seperhatian itu.
“Sehat.
Mama kangen banget sama kamu!” ujar mama.
“Rio
juga kangen sama Mama. Hehe.” Rio terkekeh pelan, kemudian mengalihkan
pandangannya pada dua orang yang mengapit mamanya. Ia peluk mereka satu persatu
seraya berkata, “Hai, Pa! Hai, Nadine!”
“Kak
Rio gemukan sekarang!” ujar Nadine, adik perempuan Rio yang masih duduk di
kelas satu SMA.
“Masa
sih?” tanya Rio. Ia sebenarnya merasakan perubahan pada dirinya. Ia merasa
lebih sehat karena semenjak ia berteman dengan Ify, ia selalu makan makanan
yang bergizi dan tepat waktu. Selain itu, ia juga tidak pernah tidur larut
lagi. Rio tersenyum samar.
“Eh ayo
masuk!” ujar Rio kemudian menuntun mama masuk.
Baru
satu langkah mama masuk, wanita paruh baya itu dikejutkan dengan penampakan
seorang perempuan yang berdiri dengan kue berlilin di tangannya. Mama pun baru
menyadari bahwa ruangan itu sangat meriah dengan balon dan hiasan lainnya. Ia
mendapati tulisan happy birthday di ujung sana. Mama mengerjap dan menoleh pada
Rio.
“KEJUTAANNN!!!
Selamat ulang tahun, Ma!” pekik Rio seraya merentangkan tangannya. Pemuda itu
kemudian mencium pipi sang mama.
Kedua mata
Mama berbinar bahagia. Ia lalu melirik papa dan Nadine. Mereka berdua tersenyum
lebar. Memberi ucapan selamat ulang tahun dan bergantian memeluk serta mencium
Mama.
Ify,
perempuan yang membawa kue dengan lilin angka 47 itu pun bergerak mendekat. Ia
mendekatkan kue itu pada Mama “Selamat ulang tahun, tante!” ucapnya.
Mama
memegangi dadanya, terharu dengan kejutan yang telah disiapkan untuknya. Ia
kemudian mencondongkan tubuhnya, meniup lilin angka 47 yang ada di atas kue.
Kebahagiaan
itu pun berlanjut dengan memanjatkan doa-doa terbaik untuk mama, menyantap kue serta makanan yang ada di atas meja.
Makan malam yang begitu hangat, yang sudah lama tidak Rio rasakan. Dan untuk
makan malam kali ini terasa lebih hangat karena ada Ify bersamanya. Turut
bergabung bersama keluarganya tanpa sedikit pun kecanggungan yang ia tunjukkan.
Tak butuh waktu lama bagi gadis itu untuk beradaptasi dengan keluarganya.
Bahkan ia bisa langsung cocok dengan adiknya yang super bawel, Nadine.
Dan
bagi Ify yang hanya punya Papa dalam hidupnya merasa makan malam kali ini sangat
ramai dan menyenangkan. Mungkin ia hanya bisa merasakan suasana seperti ini
ketika hari raya tiba. Ia begitu menikmati detik-detik bersama keluarga Rio.
Mendengar lelucon-lelucon Papa, melihat aksi Nadine yang ajaib, dan mengagumi
kecantikan mamanya Rio yang meskipun sudah berumur empat puluh tujuh tahun
namun masih terlihat cantik. Kini ia tahu berasal dari mana wajah tampan Rio
dan paras cantik Nadine.
Semua
perasaan yang tadi sempat mengganggu hatinya pun telah ia singkirkan. Ia
berbisik dalam kepalanya, cukup kali ini saja di tempat ini. Pertama dan
terakhir kalinya.
***
Ify
masih tidak tahu ia dimana. Makanya ketika Gabriel menanyakan keberadaannya, ia hanya menjawab
bahwa ia sedang ada urusan. Gadis itu mengurut dahinya. Tiga tahun ia
berhubungan dengan Gabriel, baru kali ini ia merasa begitu jahat pada
kekasihnya itu. Ia kemudian mengingat semua yang terjadi hari ini. Perasaan
itu.
Ify
memandang langit bertabur bintang di atasnya. Kemudian ia teringat ucapan
Gabriel pada suatu malam. “Bintang itu jumlahnya banyak, Fy! Ga terhitung.
Cinta aku ke kamu ga sebanyak itu. Cinta aku cuma satu, tapi besar dan bikin
hati aku penuh. Jangan pernah pergi, Fy! Nanti hati aku kosong, dan kosong
artinya mati. Aku mau terus hidup.”
Gadis
itu mengeluh tertahan. Ia memejamkan mata, berbisik pelan. “Aku kangen sama
kamu, Gab!”
“Fy…”
Demi
jumlah bintang yang entah seberapa banyak, Ify berharap bahwa yang menyapanya
adalah Gabriel, meskipun ia tahu itu tak mungkin. Gadis itu meringis dan harus
menerima kenyataan bahwa yang tengah berjalan menghampirinya adalah Rio.
“Lagi
ngapain?” tanya Rio sedetik setelah ia berada di samping Ify.
Ify
terkesiap. “Eh, kita sebenarnya ada dimana sih, Kak?” gadis itu balik bertanya.
Rio
mengerutkan kening. “Emang gue belum bilang ya?” tanya pemuda itu dengan wajah
super pilon yang dijawab Ify dengan gelengan kepala. “Ini di puncak.”
Ify
mengucap Oh pelan. Paling tidak sekarang ia tahu jawaban untuk pertanyaan
Gabriel. Gadis itu memalingkan wajah.
“Gue
ga percaya gue bisa lihatin bintang di puncak sama lo.” Celetuk Rio setelah
lima menit berlalu tanpa suara apa pun. “Dan gue ga tahu kalau lihatin bintang
ternyata bisa seseru ini. Pantesan di film-film drama suka ada adegan begini.”
Ify
hanya menanggapi ucapan Rio dengan dehaman pelan. Ia tidak tahu harus berbuat
apa sementara hatinya kembali memanas padahal malam ini angin berhembus sangat
dingin.
“Makasih
ya udah mau gue ajak ke sini. Makasih udah menyukseskan acara hari ini. Makasih
karena hari ini gue bahagia. Banget!” Rio menyentuh bahu Ify, lalu memutar
tubuh gadis itu agar menghadap padanya.
Ify
akhirnya tak lagi bisa mengelak. Kini ia dapati wajah Rio yang tampan bersinar.
Seperti bintang namun dalam bentuk yang lebih nyata.
“Gue
senang lihat banyak bintang, tapi melihat lo, di sini, sama gue, ternyata lebih
dari apa pun.” ucap Rio setengah berbisik. Pemuda itu kemudian mendekatkan
tubuhnya pada Ify.
Ify
meneguk ludah. Ia ingin melarikan diri tapi kakinya seperti terkunci. Ia hanya
bisa menjerit dalam hatinya yang semakin panas. “Gabriel, aku takut!”
Dan
sedetik kemudian Rio telah berhasil merengkuh tubuh Ify masuk ke dalam
dekapannya. Memberikan kehangatan di tengah malam Puncak yang teramat dingin.
Mengutarakan perasaannya yang belum mampu ia ucapkan dengan rangkaian kata.
Ify
merasa seluruh tubuhnya panas. Namun ketika Rio memeluknya, panas itu tiba-tiba
menjadi hangat yang membuatnya nyaman. Sulit baginya untuk memungkiri
segalanya. Gadis itu kemudian balas memeluk Rio, melingkarkan tangannya pada
tubuh pemuda itu. Ia mendaratkan kepala pada bidang dada sang pemuda. Menikmati
wangi yang takkan ia baui lagi. Ini yang pertama sekaligus terakhir kali. Sebab
ia telah berjanji pada Gabriel dan dirinya sendiri.
“Maafin
aku, Gab! Aku janji ga akan ada lagi setelah ini.” ucap Ify dalam hati.
***
0 Komentar :
Posting Komentar
Komentari