Tidak Butuh Judul [10]

Selasa, 06 Desember 2016

Tidak Butuh Judul [10]


Ify diculik. Setidaknya begitulah yang dirasakan Ify ketika pagi tadi Rio tiba-tiba menggertaknya untuk ikut bersamanya. Ify tidak diberikan kesempatan untuk mandi terlebih dahulu. Rio meminta Ify untuk segera berkemas, membawa beberapa baju serta peralatan menginap lain. Alhasil, masih dengan piama bunga-bunganya, Ify tertidur pulas dalam mobil, sementara Rio menyetir seraya berbusa-busa menjelaskan rencana kejutannya untuk sang mama.


Deru mesin mobil itu berhenti setelah melewati gerbang sebuah bangunan yang hampir delapan puluh persennya terdiri dari kaca. Rio menoleh. Mendapati Ify yang masih belum bangun juga. Pemuda itu menggerakkan tangannya, hendak membangunkan Ify. Namun sedetik kemudian ia urungkan niatnya. Merasa tidak sampai hati untuk mengganggu gadis yang dengan sukarela bersedia untuk diculiknya itu. Ia lantas hanya memandangi wajah itu, yang baru ia sadari ternyata begitu cantik. Cantik yang tenang. Diam-diam, Rio tersenyum dan terus memandangi wajah itu.

Hingga tiba-tiba Ify membuka kedua matanya. Sukses membuat Rio terkesiap dan terburu mengalihkan pandangannya. “Susah banget sih Fy dibangunin? Sampe nyerah gue!” tukas Rio. Berbohong entah untuk alasan apa.

Ify mengerenyit. Merasa bahwa tidak ada yang membangunkannya barusan. Ia bangun karena ingin saja. Tidak mendengar suara apa pun, tidak merasakan guncangan apa pun. Tapi mungkin Rio benar. Dirinya tidur terlalu pulas. Ya siapa suruh menculiknya pagi buta. “Abis ngantuk banget, Kak! Hehe,” ujar Ify lalu terkekeh pelan.

Rio melirik Ify sekilas. ‘Polos banget sih ini bocah. Dari tadi kan gue ga ada bangunin dia sama sekali.’ ucap Rio dalam hati. Pemuda itu kemudian keluar dari mobil. “Turun, Fy!”

Ify segera mengikuti perintah Rio. Dengan menggendong ransel berisi peralatan menginap, ia berjalan di belakang Rio. Turut mengekorinya masuk ke dalam rumah kaca itu.

“Eh, ini sebenarnya di mana sih, Kak?” tanya Ify, baru sadar bahwa sedari tadi Rio belum memberitahukan di mana tempat mereka berada sekarang.

Rio belum menjawab pertanyaan Ify ketika tiba-tiba seorang lelaki paruh baya muncul dan membungkuk hormat pada Rio. “Mas Rio! Pesanan Mas Rio sudah ada di dapur.” ujar lelaki itu.

“Oh iya.” gumam Rio pelan kemudian berjalan menuju sebuah ruangan yang ternyata adalah dapur.

Ify mengulum bibirnya. Kenapa sih Rio tidak menjawab pertanyaannya yang sangat mudah itu? Dan apa susahnya bilang terimakasih pada bapak-bapak yang tadi menyambutnya dengan senyum lebar itu? Sekarang Ify yang merasa bertanggung jawab untuk mengucapkan terimakasih. Gadis itu mengangguk kemudian berlari menyusul Rio ke dapur.

Ify disambut oleh banyak sekali bahan-bahan untuk membuat kue di atas meja. Ia menatap Rio curiga. Jangan-jangan Rio akan menyuruhnya membuat kue? Tanya Ify dalam hati. Dasar penjajah! Gerutunya sebal.

“Lo kan udah janji mau bantuin gue, nah jangan tanggung-tanggung, Fy!” ucap Rio diakhiri dengan senyum penuh arti.

“Maksudnya apa nih, Kak?” Ify melipat tangannya di depan dada.

“Kita bikin kue ulangtahun buat nyokap gue!” ujar Rio dengan sangat antusias.

Ify menautkan kedua alisnya. “Kita?”

Rio mengangguk semangat. “Ya, lo sama gue.” Pemuda itu menaik-turunkan alisnya.

Ify berdecak pelan. “Aku sih bisa bikin kue. Tapi emangnya Kak Rio bisa?” tanya Ify sarkatis dengan tatapan meragukan. Ify tahu betul bahwa kontribusi Rio di dapur ini hanya sebagai tim hore yang akan sangat bersemangat ketika disuruh mencicipi. Gadis itu menggeleng samar.

“Gue orangnya mau belajar kok, Fy!” ujar Rio seraya mengangkat tangannya yang terkepal, entah tujuannya apa. Pemuda itu kemudian mengambil dua celemek dari dalam lemari yang kemudian ia berikan satu untuk Ify dan satu lagi ia kenakan untuk dirinya sendiri. “Mulai dari mana nih?” tanya Rio.

Setelah Ify mengenakan celemek, ia mengambil sebuah telur. Ia pecahkan telur itu dengan menggunakan sendok, lalu ia masukkan ke dalam sebuah wadah. Ia lakukan pula untuk tiga telur lainnya. Lalu ia menuangkan gula ke sana dan mulai mengocoknya.

Rio terlihat takjub melihat Ify. Tanpa sadar ia terus memandangi gadis itu seraya tersenyum. Niat untuk membuat kue bersama pun menguap ketika Rio ternyata terhipnotis dan hanya bisa diam seraya menikmati setiap gesture Ify yang di matanya begitu indah.

Semua bahan sudah tercampur rata. Ify menuangkannya ke dalam loyang yang kemudian ia simpan di dalam oven. Gadis itu merengut seraya melemparkan tubuhnya ke atas kursi. Ia menghembuskan napas berat. “Katanya kita, tapi aku aja yang kerja. Huft!” gadis itu berkata sarkatis.

Rio terkekeh pelan. Tanpa berkata sepatah kata pun, pemuda itu melengos pergi. Membuat Ify semakin kesal dan agak menyesal ikut ke tempat yang sampai sekarang ia tak tahu apa namanya.

Rio kembali dengan segelas air putih di tangannya. “Nih!”

Ify mengambil gelas itu dari tangan Rio, lantas meneguk isinya hingga habis. “Makasih, Kak!”

“Lo ga usah bilang makasih. Lo melakukan lebih banyak hal buat gue. Makasih ya! Makasih banyak!” ujar Rio dengan sepenuh hati.

Mendengar ucapan tulus Rio, melihat bagaimana pemuda itu menatapnya dalam pada akhirnya membuat hati Ify luruh dan semua rasa lelah serta kesalnya pecah bergantikan haru. Ia lupa bahwa dua bulan yang lalu ketika pertama kali ia bertemu dengan Rio dan pemuda itu langsung menyiksanya serta Alvin yang punya asma untuk berlari mengelilingi lapangan, ia benci sekali padanya. Seakan belum puas, Rio juga menghancurkan buku sketsanya. Tapi sekarang ia malah duduk berhadapan dengan pemuda itu. Memaafkan segala yang pernah terjadi.

Begitu pula dengan Rio yang tidak pernah menyangka bahwa gadis yang selalu ia perlakukan dengan buruk adalah gadis yang selalu menolongnya. Pada suatu malam ketika dirinya pulang dalam keadaan mabuk, Ifylah yang hadir untuknya. Hari ini, ketika gadis itu dengan sukarela diculik dan dipekerjakan untuk membuat kue, Rio pun berjanji untuk akan melakukan yang terbaik untuk Ify setelah ini.

Suara oven yang menandakan kue yang mereka panggang telah matang pun berhasil memecah keheningan yang entah mengapa tiba-tiba hadir di antara mereka. Seperti mereka telah bersepakat untuk saling berbincang dalam sepi saja. Ify mengerjap kemudian segera mengeluarkan kue dari dalam oven.

Setelah meletakkan kue di atas piring lebar, gadis itu mengambil krim beraneka warna yang telah ia buat sebelumnya untuk menghias kue tersebut. Krim putih yang pertama ia  oleskan pada setia inci permukaan kue tersebut, lantas ia tambahkan dengan krim dengan warna yang lain untuk membuat kue itu lebih cantik.

Ketika tengah serius menghias kue, Rio kemudian bergerak memutar hingga berada di belakang Ify. Pemuda itu mengambil rambut Ify yang lantas ia satukan dengan karet gelang yang entah ia dapatkan dari mana. Ia tergerak untuk melakukan itu karena beberapa kali Ify didapati menyelipkan jumputan rambutnya yang teruntai jatuh ke depan menghalangi pandangannya.

Ify terkesiap dan menghentikan gerakan tangannya ketika Rio mengikat rambutnya. Gadis itu kemudian menoleh dan mendapati wajah Rio dekat sekali dengannya. Ia melihat pemuda itu tersenyum. Manis sekali, seperti krim yang ada di tangannya.

Rio menepuk pundak Ify dan seketika membuat gadis itu mengerjap. Ia menggeleng samar. Hampir saja merusak hiasan kue yang telah ia buat setengah jalan. Gadis itu tersenyum canggung, “Makasih, Kak!” ujarnya gugup, lalu kembali melanjutkan kegiatannya.

Rio mengangkat bahu. Kemudian mundur beberapa langkah dan menyandarkan tubuhnya pada lemari. Ia melipat tangannya di depan dada, memandangi Ify yang meskipun hanya punggungnya saja masih bisa membuat hatinya berbunga.

Ify tahu Rio sedang memandanginya dari belakang. Tapi ia tidak mau terpengaruh dan menahan tubuhnya untuk tidak berbalik. Ia tidak tahu apa yang baru saja terjadi. Yang ia tahu ada bara api yang menyelinap masuk kemudian membakar hatinya. Gadis itu tiba-tiba mengerjap. Sadar bahwa ada yang salah dengan dirinya. Kini, ia berusaha fokus pada kuenya saja.

Akhirnya, kue cantik bertuliskan ‘Happy Birthday Mama’ itu pun selesai. Ify menghembuskan napas lega. Entah mengapa ia merasa untuk membuat satu buah kue saja rasanya sangat melelahkan. Semua karena Rio tidak sedetik pun berhenti mengawasinya.

Ify menanggalkan celemeknya. “Aku capek! Aku mau istirahat, boleh?” tanya Ify, berusaha untuk tidak menatap mata Rio.

“Ada kamar di atas sebelah kiri. Lo istirahat di sana aja. Keluarga gue datang nanti sore. Sebelum mereka datang, gue panggil lo,” ujar Rio.

“Oke makasih, Kak!” Ify kemudian segera pergi. Menyelamatkan dirinya yang teramat kacau. Ify benar-benar butuh waktu sendiri.

Ify berbaring terlentang di atas tempat tidur. Ia pandangi langit-langit kamar dengan perasaan yang ia sendiri tak bisa jabarkan. Semuanya serba misterius. Menyadari bahwa kini bukan hanya hatinya yang terbakar, tapi juga seluruh tubuhnya. Terlalu membara untuk ia simpulkan bahwa itu adalah hal yang biasa. Tiba-tiba dadanya mencelos. Ingat bahwa perasaan seperti ini pernah ia rasakan dulu, lebih dari tiga tahun yang lalu, ketika pertama kali ia bertemu dengan Gabriel di sebuah pameran lukis. Ify menggeleng. Berkeras hati untuk membuat penyangkalan bahwa perasaan itu tidaklah sama.

Gadis itu melawan suara hati kecilnya yang meraung-raung memekakkan telinga. Kini ia tak lagi bisa mendengar apa-apa. Dan semua yang dilihatnya gelap. Ia tertidur di sana.

***

Ify sudah bangun, mandi dan berganti baju sejak satu jam yang lalu. Tapi ia baru keluar dari tempat persembunyiannya ketika Rio memanggilnya. Gadis itu bersiap. Berharap  bahwa guyuran air ketika mandi tadi telah mematikan bara dalam tubuhnya.

Sialnya, baru mencium wangi tubuh Rio saja, telah berhasil membuat Ify mati langkah dan ingin kembali bersembunyi. Namun urung ia lakukan karena Rio terlanjur memergokinya.

“Hai!” sapa Rio seraya menata piring di atas meja.

Ify hanya tersenyum sekilas seraya menyisir pandangan ke setiap penjuru ruangan. Dekorasi khas ulangtahun ditampilkan di sana. Balon berwarna-warni serta hiasan bertuliskan Happy birthday menggantung pada dinding kaca. Belum hilang keterpanaannya, Ify dibuat melongo dengan makanan-makanan yang ada di sana. Bukan hanya kue buatannya, tapi ada berbagai makanan yang entah berasal dari mana karena ia sangat yakin Rio tidak mungkin memasak semuanya.

“Deket sini, ada restoran favorit nyokap. Gue tadi beliin menu favoritnya.” Ujar Rio seakan-akan ia bisa mendengar pertanyaan Ify yang ia simpan hanya dalam hati.

Ify mengangguk samar. “Keluarga Kakak kapan datang?”

Belum sempat Rio menjawab, deru mobil terdengar memasuki gerbang. Pemuda itu membeliak riang. “Itu mereka!” ia bergegas keluar, menyambut kedatangan keluarganya.

“Ma!” seru Rio kemudian memeluk sang mama. “Mama sehat?” tanya Rio, agak canggung ketika ia bertanya karena sebelumnya ia tidak pernah seperhatian itu.

“Sehat. Mama kangen banget sama kamu!” ujar mama.

“Rio juga kangen sama Mama. Hehe.” Rio terkekeh pelan, kemudian mengalihkan pandangannya pada dua orang yang mengapit mamanya. Ia peluk mereka satu persatu seraya berkata, “Hai, Pa! Hai, Nadine!”

“Kak Rio gemukan sekarang!” ujar Nadine, adik perempuan Rio yang masih duduk di kelas satu SMA.

“Masa sih?” tanya Rio. Ia sebenarnya merasakan perubahan pada dirinya. Ia merasa lebih sehat karena semenjak ia berteman dengan Ify, ia selalu makan makanan yang bergizi dan tepat waktu. Selain itu, ia juga tidak pernah tidur larut lagi. Rio tersenyum samar.

“Eh ayo masuk!” ujar Rio kemudian menuntun mama masuk.

Baru satu langkah mama masuk, wanita paruh baya itu dikejutkan dengan penampakan seorang perempuan yang berdiri dengan kue berlilin di tangannya. Mama pun baru menyadari bahwa ruangan itu sangat meriah dengan balon dan hiasan lainnya. Ia mendapati tulisan happy birthday di ujung sana. Mama mengerjap dan menoleh pada Rio.

“KEJUTAANNN!!! Selamat ulang tahun, Ma!” pekik Rio seraya merentangkan tangannya. Pemuda itu kemudian mencium pipi sang mama.

Kedua mata Mama berbinar bahagia. Ia lalu melirik papa dan Nadine. Mereka berdua tersenyum lebar. Memberi ucapan selamat ulang tahun dan bergantian memeluk serta mencium Mama.

Ify, perempuan yang membawa kue dengan lilin angka 47 itu pun bergerak mendekat. Ia mendekatkan kue itu pada Mama “Selamat ulang tahun, tante!” ucapnya.

Mama memegangi dadanya, terharu dengan kejutan yang telah disiapkan untuknya. Ia kemudian mencondongkan tubuhnya, meniup lilin angka 47 yang ada di atas kue.

Kebahagiaan itu pun berlanjut dengan memanjatkan doa-doa terbaik untuk mama, menyantap kue serta makanan yang ada di atas meja. Makan malam yang begitu hangat, yang sudah lama tidak Rio rasakan. Dan untuk makan malam kali ini terasa lebih hangat karena ada Ify bersamanya. Turut bergabung bersama keluarganya tanpa sedikit pun kecanggungan yang ia tunjukkan. Tak butuh waktu lama bagi gadis itu untuk beradaptasi dengan keluarganya. Bahkan ia bisa langsung cocok dengan adiknya yang super bawel, Nadine.

Dan bagi Ify yang hanya punya Papa dalam hidupnya merasa makan malam kali ini sangat ramai dan menyenangkan. Mungkin ia hanya bisa merasakan suasana seperti ini ketika hari raya tiba. Ia begitu menikmati detik-detik bersama keluarga Rio. Mendengar lelucon-lelucon Papa, melihat aksi Nadine yang ajaib, dan mengagumi kecantikan mamanya Rio yang meskipun sudah berumur empat puluh tujuh tahun namun masih terlihat cantik. Kini ia tahu berasal dari mana wajah tampan Rio dan paras cantik Nadine.

Semua perasaan yang tadi sempat mengganggu hatinya pun telah ia singkirkan. Ia berbisik dalam kepalanya, cukup kali ini saja di tempat ini. Pertama dan terakhir kalinya.

***
          
            Ify masih tidak tahu ia dimana. Makanya ketika Gabriel  menanyakan keberadaannya, ia hanya menjawab bahwa ia sedang ada urusan. Gadis itu mengurut dahinya. Tiga tahun ia berhubungan dengan Gabriel, baru kali ini ia merasa begitu jahat pada kekasihnya itu. Ia kemudian mengingat semua yang terjadi hari ini. Perasaan itu.
           
                Ify memandang langit bertabur bintang di atasnya. Kemudian ia teringat ucapan Gabriel pada suatu malam. “Bintang itu jumlahnya banyak, Fy! Ga terhitung. Cinta aku ke kamu ga sebanyak itu. Cinta aku cuma satu, tapi besar dan bikin hati aku penuh. Jangan pernah pergi, Fy! Nanti hati aku kosong, dan kosong artinya mati. Aku mau terus hidup.”

            Gadis itu mengeluh tertahan. Ia memejamkan mata, berbisik pelan. “Aku kangen sama kamu, Gab!”

            “Fy…”

            Demi jumlah bintang yang entah seberapa banyak, Ify berharap bahwa yang menyapanya adalah Gabriel, meskipun ia tahu itu tak mungkin. Gadis itu meringis dan harus menerima kenyataan bahwa yang tengah berjalan menghampirinya adalah Rio.

            “Lagi ngapain?” tanya Rio sedetik setelah ia berada di samping Ify.

            Ify terkesiap. “Eh, kita sebenarnya ada dimana sih, Kak?” gadis itu balik bertanya.

            Rio mengerutkan kening. “Emang gue belum bilang ya?” tanya pemuda itu dengan wajah super pilon yang dijawab Ify dengan gelengan kepala. “Ini di puncak.”

            Ify mengucap Oh pelan. Paling tidak sekarang ia tahu jawaban untuk pertanyaan Gabriel. Gadis itu memalingkan wajah.

            “Gue ga percaya gue bisa lihatin bintang di puncak sama lo.” Celetuk Rio setelah lima menit berlalu tanpa suara apa pun. “Dan gue ga tahu kalau lihatin bintang ternyata bisa seseru ini. Pantesan di film-film drama suka ada adegan begini.”

            Ify hanya menanggapi ucapan Rio dengan dehaman pelan. Ia tidak tahu harus berbuat apa sementara hatinya kembali memanas padahal malam ini angin berhembus sangat dingin.

            “Makasih ya udah mau gue ajak ke sini. Makasih udah menyukseskan acara hari ini. Makasih karena hari ini gue bahagia. Banget!” Rio menyentuh bahu Ify, lalu memutar tubuh gadis itu agar menghadap padanya.

            Ify akhirnya tak lagi bisa mengelak. Kini ia dapati wajah Rio yang tampan bersinar. Seperti bintang namun dalam bentuk yang lebih nyata.

            “Gue senang lihat banyak bintang, tapi melihat lo, di sini, sama gue, ternyata lebih dari apa pun.” ucap Rio setengah berbisik. Pemuda itu kemudian mendekatkan tubuhnya pada Ify.

            Ify meneguk ludah. Ia ingin melarikan diri tapi kakinya seperti terkunci. Ia hanya bisa menjerit dalam hatinya yang semakin panas. “Gabriel, aku takut!”

            Dan sedetik kemudian Rio telah berhasil merengkuh tubuh Ify masuk ke dalam dekapannya. Memberikan kehangatan di tengah malam Puncak yang teramat dingin. Mengutarakan perasaannya yang belum mampu ia ucapkan dengan rangkaian kata.

            Ify merasa seluruh tubuhnya panas. Namun ketika Rio memeluknya, panas itu tiba-tiba menjadi hangat yang membuatnya nyaman. Sulit baginya untuk memungkiri segalanya. Gadis itu kemudian balas memeluk Rio, melingkarkan tangannya pada tubuh pemuda itu. Ia mendaratkan kepala pada bidang dada sang pemuda. Menikmati wangi yang takkan ia baui lagi. Ini yang pertama sekaligus terakhir kali. Sebab ia telah berjanji pada Gabriel dan dirinya sendiri.

            “Maafin aku, Gab! Aku janji ga akan ada lagi setelah ini.” ucap Ify dalam hati.

***

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari