Lebih Dari Plester part 10A

Jumat, 01 Juni 2012

Lebih Dari Plester part 10A


"Gabrieeeel!" Ify berteriak sekeras mungkin. Suara cemprengnya memekikan setiap telinga yang mendengarnya. Gadis itu kemudian berlari. Seraya memegangi kacamata berplester dinosaurusnya. Buku jumbo ada dalam dekapannya.

Pemuda yang dipanggil Ify segera berbalik. Menanti Ify yang berlari menyongsongnya. Rambut Ify berkibar seiring hentakan kakinya.

"Hehe..." Ify nyengir. Menunjukan deretan giginya yang sebenarnya agak berantakan. Gabriel memandanginya bingung. Bergidik geli melihat ekspresi Ify ketika menghilangkan nafas terengah-engahnya.

"Apa? Mau nebeng pulang? Jangan!" ujar Gabriel ketus.

"Ish! Bukan! Aku mau minta sesuatu. Hehe..." kata Ify. Diakhiri dengan cengiran yang lebih menggemaskan.

Gabriel memutar kedua bola
matanya. "Apa?" Gabriel mendesah.

"Besok aku bakalan khatam buku jumbo ini." Ify menunjuk buku jumbo. "Jadi, besok aku mau kamu nurutin semua yang aku mau." Ify mengangguk beberapa kali.

Gabriel menghela nafas. "Iya bawel!" Pemuda itu menjawil caping hidung mancung Ify hingga berwarna merah. "Sekarang, lo pulang ya! Hati-hati!" Setelah mewanti-wanti, Gabriel memutar kembali tubuhnya. Melanjutkan langkahnya yang tertunda oleh pekikan gadis mungil itu.

Dan selepas Gabriel pergi, Ify memegangi hidung yang menjadi korban jawilan nakal Gabriel. Tersenyum sendiri.

Langkah yang Gabriel buat belum terlalu banyak, ketika ia memutuskan untuk berhenti. Entah mengapa, ia tertarik melihat bagaimana keadaan Ify. Walau lima detik yang lalu, ia baru saja melihat wajah manis sang gadis. Gabriel menoleh ke belakang. Didapatinya, Ify tengah tersenyum sendiri. Macam orang gila. Gabriel berdecak.

"Heh! Elo lucu pakai kacamata itu!" teriak Gabriel. Spontan membuat gadis itu melompat kegirangan. Lantas berputar-putar meniru gerakan ballet.

Gabriel

Gabriel hanya bisa berdecak.

***

Gadis itu mengembangkan seulas senyum ceria, saat pertama kali ia menginjakan kakinya kembali di kota tersayangnya. Ia langsung berlari keluar bandara seraya menggeret kopernya.

Dua lelaki berbeda usia, berlari mengekori sang gadis. Nampak kewalahan, dengan barang-barang bawaannya.

"Siviaaa! Ayo Nak!" lelaki yang berumur lebih tua memanggil nama sang gadis, sembari memasukan koper serta barang yang lain ke dalam mobil yang telah menanti mereka. Lelaki yang lain, turut membantu.

"Papa, nanti aku boleh jalan-jalan sama Cakka ya!" pinta Sivia sesaat setelah ia berada di depan lelaki yang memanggilnya, sang Papa.

Papa tersenyum. "Iya sayang! Masuk dulu. Kita pulang. Kamu pasti kangen rumah, kan?"

Sivia mengangguk. Dengan segera, membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya. Ia duduk di kursi penumpang bagian belakang. Sang Papa duduk di depan. Sementara Cakka -lelaki yang lain- duduk di samping Sivia. Selalu sedia menemani gadis itu kapan saja.

Jam masih menunjukkan pukul sembilan pagi. Jalanan kotanya cukup lengang. Mereka diuntungkan dengan kelolosan dari macet yang nampaknya sudah menjadi agenda rutin untuk kotanya setiap hari. Keadaan ini membuat mereka bisa mencapai rumah dalam waktu yang tidak lama.

Ada berjuta rasa yang bersarang di hati Sivia. Bahagia sudah pasti ada. Karena setelah sekian lama, akhirnya ia dapat kembali dari perantauannya. Dapat melanjutkan kehidupan yang sama seperti remaja lainnya. Haru juga ada. Bagaimana tidak. Kini, ia mendapati banyak sekali bangunan-bangunan yang tidak dilihatnya dulu. Perubahan tatanan kota di sana-sini. Mengindikasikan, betapa lamanya ia pergi. Dan ia juga bingung dengan dirinya sendiri. Ia merasa telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupnya. Namun entah apa.

Sivia mendesah. Mengamati keadaan di luar jendela. Masih takjub dengan pemandangan berbeda yang disuguhkan kota tersayangnya.

Sementara pemuda di samping Sivia, sedari tadi tak banyak bersuara. Berbicara seperlunya, hanya ketika ditanya. Selebihnya, ia diam saja.

Cakka masih terjebak dalam rasa yang sama. Galau yang menyiksa batinnya. Kalau saja, bukan Sivia yang meminta ia untuk kembali ke kotanya, ia tak akan pernah bersedia. Ia terlalu takut semua kisah masa lalu yang telah ia kubur dalam-dalam, menyembul ke permukaan. Karena hal itu akan membuat ia takut. Takut jatuh cinta. Walau sebenarnya, ketakutannya tak berarti apa-apa. Karena pada hati gadis di sebelahnya, ia telah terjatuh.

Dan deru mesin mobil, menghantarkan doa yang ia rapal lamat-lamat. Semoga tak akan ada yang mengganggu dirinya dan Sivia. Entah itu masa lalunya, atau masa lalu Sivia yang suatu saat nanti akan bisa gadis itu ingat kembali.

Mobil mewah itu melaju. Menerabas cuaca panas kota itu.

***

Brukk!

Ify menjatuhkan buku jumbonya ke atas meja. Membuat pemuda yang duduk di belakang meja tersentak seketika. Pemuda itu menatap Ify tajam.

"Aku udah selesai baca bukunya." ujar Ify dengan suara lantang.

"Terus?" Gabriel bertanya dengan ekspresi datar.

"Pulang sekolah ikut aku ya!" Ify mengangkat alisnya secara bergantian. Tersenyum menyeringai.

"K-k..."

Ify langsung membekap mulut Gabriel. Sampai membuat pemuda itu megap-megap dan sesak nafas. Ify tidak peduli. Gabriel tidak boleh berbicara apa-apa. Karena Ify tahu, kalau Gabriel bicara, maka yang keluar dari mulut Gabriel adalah penolakan dan seluruh tetek bengeknya.

"Pokoknya, jangan banyak tanya! Kamu ikut aja. Jangan kabur! Awas!" Ify berpura-pura mengancam. Wajahnya sok serius.

Gabriel kemudian mendorong telapak tangan Ify agar menjauh dari mulut dan hidungnya. Sehingga ia dapat bernafas dengan leluasa. Pemuda itu memukul meja dengan kasar. Mempelototi Ify.

"Heh! Lo mau bunuh gue apa? Kalau gue mati gimana? Mau tanggung jawab lo?" ucap Gabriel. Tak pernah ia berbicara secepat itu.

"Bodo!" Ify berkata tak acuh. Mencubit pipi Gabriel. Lantas segera melarikan diri. Balas dendam. Selama ini kan yang suka menjawil hidungnya seenaknya adalah Gabriel. Jadi sekarang, impas. Gabriel pikir, Ify tidak bisa membalasnya. Enak saja.

Gabriel menghentakan kakinya ke atas lantai. Tak sengaja menendang kaki meja. Akhirnya, ia meringis kesakitan.

"Awas ya!" Gabriel merutuk sendirian.

***

bersambung

***

dikit ya? sengaja! jelek ya? bakatnya. Ngawur ya? kelebihannya. aneh ya? hobbynya. Sumpah, nulisnya lagi malas. Ini aja maksa. *eh

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari