HUJAN, Kita Dan Mimpi part 20B

Kamis, 22 Maret 2012

HUJAN, Kita Dan Mimpi part 20B


Hujan tahu apa yang tengah ku rasakan. Detik ini, hatiku buncah oleh ribuan macam perasaain yang sulit untuk teruraikan. Bahagia. Bingung. Bertanya-tanya. Ragu. Takut. Dan dari kesemuanya itu, rasa takutlah yang paling mengembang tak terkendali. Takut bila akan sama jadinya dengan potongan kisah yang telah terlampaui. Kembali menyedihkan.

Tapi Hujan tahu segalanya. Maka dia bergegas dan tak lantas datang dengan rinainya yang kebas. Dan kalau nanti pun berujung perih, ia akan segera hadir. Menyamarkan parit kesedihan yang mungkin terbentuk di sela-sela kenelangsaan. Dia hadir. Dan itu takdir.

Mereka tengah duduk di gazebo yang terdapat di taman belakang rumah. Berbincang ringan. Mereka menghadapi sebuah piring dan tiga cangkir beserta sebuah poci. Dari sanalah menyembul gumpalan asap-asap. Aku menghela nafas. Berjalan pelan mendekati mereka.

“Aww…” aku mengaduh. Hampir saja jatuh tersungkur. Meringis kesakitan. Menunduk. Menatapi ujung jempol kakiku. Berdarah. Tersandung kerikil tajam yang tergeletak pasrah. Aku mendesah. Kerikil tak berdaya itu saja, tega melukai seseorang sampai berdarah-darah. Aku tak jauh berbeda dengannya. Terabaikan. Luput dari sentuhan. Dan masalah luka-melukai, aku jauh lenih hebat dari sang kerikil. Tadi pagi, tadi malam, kemarin-kemarin, aku talah melakukannya. Berhasil. Tak ada bagian dari fisik mereka yang baret lantas mengeluarkan darah. Namun bukankah aku tahu pasti, ada luka yang jauh lebih mengenaskan dari sekedar baret-baret. Hati dan perasaannya tersayat-sayat. Berdarah. Bahkan lebih parah, bernanah.

Mama dan Papa menoleh. Terseok berlari menghampiriku.

“Ify…” Mama berjongkok. Memegangi area sekitar luka di kakiku.

Aku menunduk. Mama mendongak. Kami saling bertatapan sejenak. Sementara Papa bergegas ke dalam mengambil obat.

“Berdarah, sayang!” Mama menatap nanar. Berdiri. Merangkul tubuhku. Menuntunku dengan awas menuju gazebo.

Robot. Itulah aku kini. Menatap kosong. Melakukan apa yang Mama perintah. Duduk. Segeralah aku duduk. Tahan rasa sakit. Aku bertahan. Luka kecil itu tak seberapa disbanding luka yang ditorehkan olehnya dan oleh diriku sendiri. Aku tak meringis. Tak megeluh. Apalagi menangis. Aku hanya menatapinya. Tiap gerak-gerik tingkahnya. Saat ia mengusap-usap lembut kakiku. Meniupi lukanya. Sejenak, terpana.


Dan tak lama kemudian, Papa datang. Membawa kotak putih dengan tanda plus berwarna merah di satu bidang sisinya. Cekatan mengobati luka kecil di kakiku. Papa membersihkan percikan darah. Dengan seksama menteskan betadine antibiotic ke area baret luka. Menutupnya dengan selembar plester. Selesai.

“Makasih Pa, Ma!” gumamku pelan.

“Noprob cantik!” ujar Mama. Tersenyum bersahaja.

Maka setelah itu, kami terdiam. Tak ada yang bersuara. Bahkan tak ada yang berani hanya untuk sekedar mendesah. Hanya diam. Itu saja.

Seharusnya, bukan seperti ini. Bukan suasana semencekam ini yang mengepul bersama asap kecanggungan. Harusnya, tak ada sekat pembatas untuk kami saling terbuka. Harusnya, kami bisa menganggap ini semua biasa saja. Hal yang sederhana. Seperti keluarga lainnya. Harusnya, harusnya, harusnya dan tak seharusnya kami menciptakan atmosfer ketegangan ini.

Aku merutuki dirinya sendiri. Mengapa hatiku selalu menolak kasih putih yang dikucurkan mereka? Tidak. Aku bukanlah gadis yang pongah, sehingga aku terkesan tak memerlukan kasih itu. Aku justru teramat merindukan mereka. Lalu memangnya, kalau Aku membiarkan hatiku menadah kucuran kasih itu, akan ada jaminan untuk hatiku? Agar terjaga? Tak tersentuh luka? Aku hanya menjaga hatiku saja. Alasan yang sederhana.

“Ekhem…” pecahlah keheningan dengan sebuah deheman dari Papa. Mama menoleh pada lelaki berkacamata itu. Lalu beralih memandangiku yang tengah menatap lurus ke depan. Entah tengah memandangi apa.

Mama menghela nafas panjang. “Kenapa?” suaranya tertahan.

Aku terkesiap. Memandang Mama tak mengerti. Apanya yang kenapa? Membuat kerutan pada kening.

“Kenapa kita jadi seperti ini? Kenapa kita seperti tak saling mengenal satu sama lain? Kenapa kita tak bisa seperti dulu lagi? Kenapa, sayang?” rentetan pertanyaan itu meluncur menohok hati semua yang mendengarnya.

Aku menatap Mama. Kenapa? Aku juga tak tahu kenapa. Jangan tanyakan semua itu padaku. Aku tak menyimpan kunci jawabannya. Aku hanyalah gadis sederhana. Aku tak tahu. Dan aku juga tak pernah memimpikan semua ini. Semuanya sudah diatur oleh si pembuat jalan cerita. Jauh sebelum kisah sederhana ini bermula. Dan aku hanya menjalani peran. Mengalir tak dapat terbendung bagai lajunya rinai hujan yang hendak menghujam bumi.

“Aku…”  memegangi dada. Rasa sesak kini mencuat hebat dari sana. Aku tak kuasa melanjutkan ucapanku.

“Mama sama Papa kangen sama kamu. Kami ingin seperti dulu lagi. Bisakah?” Mama bertanya retoris. Nadanya lirih. Tatapannya sayu menyayat hati. Nanar berekspresi.

Aku menyentuh sudut mata. Buliran bening baru saja mengalir dari pelupuk mata. Ada perasaan ngilu berpendar menyelimuti hati saat kini relung dijejali sebuah kenyataan pahit. Melihat mereka memelas. Memohon-mohon agar aku tak lagi menolak kasih sayang mereka. Ah, aku bukan gadis yang angkuh. Walaupun aku terkesan menampik suguhan kasih itu. Menghamburnya hingga terlempar jatuh berserak di lantai. Tapi ada satu hal yang mereka tak tahu. Aku, setelah mereka pergi entah ke mana, aku memunguti kembali kepingan berserak itu. Menabungnya dalam hati sebagai pemenuhan kuota atas ketidakleluasaanku untuk merasakan bagaimana setiap detik terlewat bersama-sama. Mereka tak tahu. Jadilah mereka menganggapku berubah. Tidak. Aku hanya ingin belajar dewasa. Tak terus menerus menuntut mereka. Lihat saja, selama ini pun aku tak pernah bersujud-sujud meminta mereka untuk menikmati sarapan pagi bersama. Datang ke acara sekolah. Mengantarku membeli buku baru. Tak pernah. Bukankah aku sudah dewasa?

Maka sungguh, ini hanya kesalahpahaman belaka. Mama dan Papa selalu menganggap bahwa putrinya tengah merajuk dengan cara menghindarinya. Dan aku bukan bermaksud menjauhi kedua orang tuaku. Aku hanya menjaga hatiku dari kecewa. Aku membiarkan mereka menikmati dunia kebanggaannya. Toh, aku tetap yakin bahwa mereka akan selalu menyanyangiku.

Lantas kini, semuanya harus segera disudahi. Kesalahpahaman ini hanya akan menyakiti setiap hati. Maka dengan nafas tersengal, aku menghambur memeluk Mama.

Mama terkesiap sejenak. Lalu akhirnya balas memelukku. Papa tersenyum. Mengelus lembut punggungku, peri kecilnya.

“Maafin Ify Ma, Pa! Ify jahat sama kalian!” tersedu berbicara. “Ify ga bermaksud menjauhi kalian. Ify hanya ga mau ganggu Mama dan Papa… Kalian kan punya hal lain yang lebih penting dari sekedar meladeni permintaan Ify.”

Mama tersentak. Ia mengurai pelukannya. Meletakkan kedua telapak tangan pada pipi berair putri tunggalnya. Menatap tajam. “Tidak.” Mama menggelengkan kepala. “Ga ada yang lebih penting bagi kami selain kamu…” tak terasa, mulai menitikan air mata.

Papa membelai lembut puncak kepalaku. Juga mengusap lembut tangan Mama yang masih menapaki pipi tirusku.

“Sayang, kamu jangan segan meminta apa pun dari kami. Kami akan sangat senang jika kamu masih mau meminta sesuatu pada kami. Itu akan sangat menyenangkan hati kami.” ujar Papa.

Aku melirik Papa. Mendapati lelaki itu tengah menghapus genangan air dibalik kacamatanya. Sejurus kemudian, kembali lagi menatapi Mama.

Mama mengangguk. Dan seiring anggukannya, sebulir air mata sempurna meninggalkan muasalnya.

Terisak. Aku menumpukan tangan di atas tangan Papa dan Mama yang masih enggan beranjak dari pipiku. Membawa tangan halus mereka ke dekat bibir. Menciumnya. Menghirup aromanya. Semakin terisak.

“Kita mulai lagi dari awal. Dimana segala sesuatunya baik-baik saja. Dan semoga, selamanya akan tetap baik-baik saja.” kata Mama. Mengambil tubuhku untuk direngkuhnya kembali. Sementara Papa, menjadi satu-satunya siluet yang harus selalu terlihat tegar. Dengan keras ia menahan tubuhnya untuk tidak ikut berpelukan. Lelaki berkacamata itu hanya tersenyum. Menepuk-nepuk punggung peri kecilnya. Menguatkan.

“Ify sayang Mama Papa!” ujarku dengan suara bergetar. Nafasku masih tersengal. Beradu dengan isakkannya yang masih tersedan. Aku tersenyum. Ada rasa yang tak biasa setelah mengucapkan kalimat tersebut. Hatiku lega. Sudah berapa lama aku mengelukan bibirku sendiri untuk tidak mengucap kalimat penuh kejujuran itu?

Maka masih dalam suasana mengharu biru, aku berhasil meraih satu dari jutaan mimpi sederhanaku. Aku bahagia. Bahagia yang sederhana. Lama aku mencari sesuatu yang salah dari diriku. Sesuatu yang merubah apa yang biasa mengisi detik-detik berhargaku. Renungan rutin itu. Aku fikir, setelah ini tak akan ada lagi renungan itu. Kalau pun ada, itu hanya akan tercipta tatkala aku menikmati dentuman berirama dari sang hujan. Dan aku akan tersenyum. Menunjukkan lesung pipiku. Tak ada lagi tatapan nanar, menerawang atau bahkan kosong sekalipun. Aku yakin itu. Lihat saja nanti!

Mama melepas pelukannya. Membiarkanku mengangkat wajah dan berhenti menenggelamkan wajah dalam rengkuhannya. Aku tersenyum. Menatap bergantian wajah kedua orangtuangku. Wajah-wajah itu. Wajah bersahaja dan wajah teduh nan tegas.

“Sekarang, hapus air mata kamu. Kita makan pisang goreng buatan Mama. Kamu mau, kan?” tanya Papa.

Aku mengusap pipiku. Menyapu bersih sisa-sisa rembesan air mata. Mengangguk antusias menerima tawaran Papa.

Mama mengambil piring berisikan pisang goreng. Mendekatkannya padaku. Aku cepat mengambil sepotong pisang goreng. Memasukannya ke dalam mulut. Melahapnya.

Papa dan Mama tersenyum menyeringai. Ikut menikmati tiap potong pisang goreng tersebut. 

Dan sambil terus mengunyah kudapan favoritku, aku ternyata memaku tatapanku pada lelehan minyak yang ada di sudut bibir Papa. Lelehan minyak itu. Aku teringat seseorang.

***


Bersambung


***

0 Komentar :

Posting Komentar

Komentari