Pages - Menu

Sabtu, 04 Maret 2017

Puisi Kala Itu (prolog)

Tuhan membiarkan kita saling mencintai. Tapi, Dia tak izinkan kita untuk menjadi satu. Katanya, kita terlalu jauh berbeda. Apanya? Aku menghela napas. Ternyata benar. Aku dan kamu sangat berbeda.

Lalu aku pun bertanya, mengapa kita diciptakan berbeda kalau untuk bersatu saja tidak bisa? Bukankah berbeda akan lebih baik? Bisa saling melengkapi satu sama lain. Tapi menjadi lengkap pada akhirnya akan terus menjadi angan-angan. Bersamamu, hidupku tidak akan lengkap. Berpisah denganmu, aku tidak lagi hidup.

***

Asyifa Cantika namanya. Hari ini, gadis kecil itu tengah berduka. Ia harus menerima kenyataan pahit bahwa kedua orang tuanya telah meninggal. Dengan tangis yang tak kunjung reda, ia menyaksikan Ayah dan Bundanya dikuburkan.

Syifa tidak pernah membayangkan bahwa Ayah serta Bunda akan meninggalkannya begitu cepat. Syifa masih berumur sepuluh tahun. Nanti, siapa yang akan membangunkannya setiap pagi? Membuatkan sarapan, mengantar ke sekolah, membantu mengerjakan PR, mendongeng sebelum ia tidur, dan mengimaminya shalat? Syifa kan masih belum lancar bacaan shalatnya. Nanti kalau lupa, siapa yang akan mengingatkan?

Syifa menggigiti bibirnya. Menangis tersedu di antara dua gundukan tanah merah itu. Ia tahu Ayah dan Bunda tidak pernah suka melihatnya menangis, tapi izinkan sehari itu saja dirinya menangis. Toh, ia menangis bukan karena direbut mainannya oleh Acha, teman satu kompleknya. Bukan juga karena terjatuh saat mengendarai sepeda. Dia menangis karena ada yang sakit di sana. Syifa pun tak tahu apa namanya. Tapi yang jelas, rasa sakit itu semakin menjadi ketika dirinya menahan air mata. Maka biarkanlah air mata itu jatuh merembesi pipi pualamnya. Karena bisa jadi, tangis itu adalah obat untuk rasa sakitnya.

"Syifa!" seru seorang lelaki yang sedari tadi berada di samping Syifa.

Syifa menoleh pada lelaki itu. Dengan mata berair, ia masih bisa mengenali lelaki itu. Om Tian. Dia adalah teman dekat Ayah.

"Syifa pulang sama Om ya!" ujar Om Tian.

Syifa menggeleng cepat. "Ga mau! Syifa mau di sini aja! Syifa mau sama Ayah Bunda aja," gadis itu mengulum bibir.

"Sayang, Ayah dan Bunda sudah punya rumah yang baru. Mereka sudah bersama Tuhan. Mereka tidak akan kenapa-napa kalau ditinggal. Kan ada Tuhan yang jaga. Lagian, Syifa nanti boleh ke sini kok jenguk Ayah Bunda. Sekarang, Syifa pulang ya sama Om!" tukas Om Tian. Lelaki berkacamata itu membelai rambut panjang Syifa.

"Syifa ga mau pulang! Di rumah ga ada siapa-siapa. Syifa takut." gadis kecil itu merengut. Masih terus terisak.

"Syifa pulangnya ke rumah Om Tian aja! Syifa nanti tinggal di sana. Di sana Syifa ga akan kesepian. Ada istri dan anak Om. Mau ya?" Om Tian menatap Syifa seperti ia menatap putri kandungnya sèndiri. Penuh kasih, penuh sayang.

Syifa tertegun sejenak. Memandangi wajah Om Tian dengan seksama.

"Om sudah minta izin sama Ayah dan Bunda kok." Om Tian meyakinkan.

Akhirnya, dengan gerakan pelan Syifa pun mengangguk. Ia akan pulang bersama Om Tian. Om Tian benar. Harusnya, ia tidak khawatir akan keadaan Ayah dan Bunda. Kan mereka sudah bersama Tuhan. Gadis itu tersenyum. Mengusap air mata yang masih tersisa di sana. Lalu segera ia peluk Om Tian.

"Makasih ya, Om!" bisik Syifa.

***

Syifa duduk dengan tegang. Ia mengamati setiap sudut ruang yang sedang ditempatinya. Terasa begitu asing untuknya. Banyak lukisan-lukisan yang Syifa tak mengerti itu apa. Sempat terlintas di benak Syifa bahwa ruang itu lebih terlihat seperti galeri daripada ruang tamu.

"Halo, Syifa!" Syifa terkesiap mendengar sapaan hangat itu. Ia langsung berdiri dan membungkuk memberi hormat.

"Siang Tante Viona!" ucap Syifa santun pada wanita yang ia tahu adalah istri Om Tian.

"Mulai sekarang, Syifa tinggal di sini ya!" ujar Tante Viona ramah.

Syifa hanya mengangguk pelan.

"Syifa, sekarang Om dan Tante antar ke kamar kamu yuk! Ada di lantai dua." kata Om Tian. Lelaki itu berjingkat dari sofa, kemudian berjalan terlebih dulu dari sana.

Tante Viona mengedikan kepala, mengisyaratkan agar Syifa turut mengikuti ke mana Om Tian pergi. Lalu dengan dibimbing Tante Viona, Syifa pun bergerak dari sana. Berjalan menuju tangga dan menyusuri satu-persatu anaknya.

"Ini kamar kamu, sayang!" ucap Tante Viona sesaat setelah pintu sebuah ruang terbuka.

Syifa menatap takjub pada ruangan itu. Semua berwarna biru, warna kesukaannya. Tembok, tempat tidur, tirai, serta pernak-pernik lainnya berwarna biru. Gadis kecil itu pun tahu bahwa kamar barunya ini lebih luas dari kamarnya dulu. Jadi, ia bisa bebas berlari ke sana kemari sesuka hati.

"Makasih ya Om, Tante!" tutur Syifa seraya menoleh pada Om Tian dan Tante Viona secara bergantian.

"Ciattttt, koboi Bian datang! Yiiiiha!" seorang bocah kecil tiba-tiba muncul dari balik tubuh Om Tian. Bocah laki-laki itu terlihat lucu dengan kemeja, topi, serta sepatu ala koboinya. Syifa terkikik pelan.

"Eh, ini siapa, Ma? Pa?" tanya bocah itu dengan pandangan menyelidik pada Syifa yang kini sekuat tenaga menahan untuk tidak tertawa melihat kostum bocah itu.

"Ini namanya Kak Syifa! Mulai hari ini Kak Syifa akan tinggal di sini, jadi kakaknya Bian," terang Tante Viona.

"Ayo kenalan dulu sama Kak Syifa!" ujar Om Tian.

Bian, bocah koboi itu pun lamat-lamat menjulurkan tangan. Masih menatap Syifa dengan tatapan menyelidik. "Bian," ucap bocah itu ketika tangannya dan tangan Syifa saling berjabat.

"Syifa," tukas Syifa seraya menarik ujung-ujung bibirnya ke atas.

Hari itu, Tuhan mengambil dua malaikat pelindung Syifa. Tapi masih di hari yang sama, Tuhan telah gantikan dengan tiga malaikat yang akan menemani hari-harinya nanti.

Tapi ternyata, Syifa tak cukup tahu diri. Ia justru jatuh cinta pada malaikatnya sendiri.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentari