Ify memandangi
ruang tamu apartemennya yang terasa begitu lengang. Belum sehari Papa meninggalkannya, gadis itu sudah merasa
begitu kesepian. Seumur hidup tinggal bersama Papa, selalu ikut ke mana pun
orangtua tunggalnya itu ditempatkan kerja, membuatnya tidak terbiasa harus
menjalani harinya seorang diri.
Tapi untuk
alasan yang tidak bisa dikesampingkan, akhirnya Ify harus memulai hidupnya yang
baru. Sendirian, di sebuah kota tempatnya melanjutkan pendidikan.
Ify terkesiap
ketika merasakan ponsel yang berada di atas meja bergetar, menandakan sebuah
panggilan baru saja masuk ke sana. Gadis itu meraih sang ponsel. Matanya
membelalak ceria ketika melihat sebuah nama tertera di sana.
“Gabriel! Kamu
menelepon di saat yang tepat!” ucap Ify sedetik setelah ia mengusap layar
ponselnya.
“Kamu lagi
kangen aku?” tanya seorang pemuda di sebrang telepon sana. Suara baritone
khasnya membuat Ify terkikik pelan.
“Ih centil deh!
Tapi iya juga sih! Aku lagi kangen kamu. Tapi kan itu setiap saat. Hehe. Aku
lagi kesepian nih. Papa udah balik lagi ke Jayapura. Sendirian deh!” Ify terdengar
mengeluh.
“Sekarang
waktunya kamu untuk belajar mandiri, Fy! Jangan manja terus sama Papa. Semangat
ya! Aku aja yang jauh di sini bisa kuat kok jauh dari keluarga.”
“Kamu kuat juga
jauh dari aku?” tanya Ify seraya tersenyum jahil. Seakan pemuda itu tengah
berada di hadapannya dan melihat ekspresi di wajahnya.
“Kalau itu sih
dikuat-kuatin, Fy!”
Ify tertawa
menyeringai. Euforia ketika bercakap dengan pemuda itu lewat udara masih saja
sama, selalu menyenangkan. Setahun berlalu setelah Gabriel –pemuda itu-
memutuskan untuk melanjutkan studi ke Paris dan akhirnya mereka berdua terpaksa
harus menjalin hubungan jarak jauh. Jayapura-Paris. Dan kali ini Bandung-Paris.
Tidak ada yang berbeda. Perasaan dan hatinya untuk siapa. Setahun tak saling
bertemu, bukan berarti rasa itu menguap bersama detik yang berlalu. Justru
semakin mengembang seiring perputaran waktu.
“Fy, aku cinta
kamu.”
Ify terhenyak
ketika mendengar kalimat yang sudah begitu familiar di telinga dan otaknya itu.
Kalimat yang ia tahu persis akan diucapkan dengan aksen dan nada seperti apa.
Kalimat yang selalu ingin didengarnya setiap saat sejak pertama kali pemuda itu
mengucapkannya.
“Aku pun,” ucap Ify
pelan. Lalu bunyi klik terdengar tanda sambungan telepon diputuskan. Gadis itu
kembali terdiam. Menatap ruang tamu apartemennya yang lapang hingga larut
malam.
***
Tubuh
pemuda itu bergerak seirama dengan musik yang diperdengarkan. Hentakannya
membuat dada siapa pun yang mendengarnya berdebum. Bak roket dia melejit di
lantai sebuah club malam.
Seorang
gadis dalam balutan pakaian serba ketat yang mencetak sempurna setiap lekuk
tubuhnya datang menghampiri. Seraya bergoyang, ia rangkul pemuda yang tengah
menikmati alunan musik kencang itu.
“Hai,
sayang!” ujar pemuda itu dengan sedikit berteriak. Menyadari bahwa suaranya
kalah superior oleh dentuman musik di sana.
Bibir
merah bak buah tomat itu tersenyum. Lantas bergerak mendekat ke arah wajah sang
pemuda. Mendaratkan kecupan sapa di sana.
Setelah
itu mereka terlalut dalam suasana.
Bergoyang seperti orang kesetanan. Tidak peduli pada apa pun. Termasuk waktu
yang kini sudah hampir mencapai tengah malam. Juga kenyataan bahwa besok mereka
telah ditunggu segunung kegiatan. Yang mereka tahu hanya bergoyang.
***
Sangat
tidak lucu ketika kau terlambat di hari pertama kuliah. Bagaimana itu bisa
terjadi padahal sebelumnya telah kau tunggu-tunggu hari itu. Oh sial! Tadi
malam Ify tidur pukul tiga dini hari. Tugas ospek yang tidak manusiawi itu
membuat jam tidurnya dipangkas habis-habisan. Pukul lima ia sudah harus bangun
kembali. Bersiap-siap menuju kampus. Berdandan seperti orang gila: rambut
dikucir dua, papan nama sebesar gaban terkalung di lehernya, tak lupa kaus kaki
selutut belang merah dan putih.
Perjalanan
dari apartemen hingga kampusnya memakan waktu tidak lebih dari tiga puluh
menit. Namun hari itu mungkin Ify sedang dikerjai atau apa, di perjalanan yang
ia tempuh dengan menggunakan angkot, tak sengaja ia tertidur. Bodohnya ia
memilih duduk di kursi penumpang depan. Membuatnya terlalu nyaman seakan angkot
itu diciptakan untuk mengantarnya.
Ify
baru terbangun ketika kampusnya sudah terlewat sangat jauh. Ia mengeluh
tertahan. Tak bisa menyalahkan Bapak supir angkot juga karena memang ia tidak
salah. Gadis itu akhirnya menyetop sang angkot. Memberikan beberapa lembar uang
seribuan. Terburu keluar dari angkot.
Sepuluh
menit kemudian, barulah Ify sampai di kampusnya. Terimakasih ia ucapkan yang
sebesar-besarnya pada Abang Ojek yang juara sekali ngebutnya. Ify pun tahu
kalau ia naik ojek yang lain, mungkin dua puluh menit pun tidak akan cukup
untuk mengantarkannya ke depan pintu gerbang kampus yang tinggi menjulang.
Tapi
ngebutnya Abang Ojek terasa sia-sia, karena nyatanya Ify tetap saja terlambat
untuk mengikuti prosesi pembukaan acara ospek kampusnya. Beberapa meter dari
tempatnya, ia lihat barikade kakak-kakak senior yang menatapnya dengan begitu
tajam. Andai tatapan berbentuk pedang, sudah mati berdarah-darah Ify sekarang.
Dengan
nyali yang dibesar-besarkan (sebab sesungguhnya ia teramat takut pada
senior-senior sok berkuasa itu), Ify melangkahkan kakinya. Lalu berhenti tepat
di depan seorang senior perempuan yang berdiri begitu angkuh. Seakan dialah
ratunya saat itu. Mengintimidasi siapa pun yang ada di sana, termasuk Ify.
"Maaf,
kak! Saya terlambat." ujar Ify. Berusaha menatap lawan bicaranya yang
terlihat menakutkan.
Sang
senior balas menatap Ify dengan tatapan merendahkan. "Hari pertama sudah
terlambat. Tidak disiplin!" desis perempuan itu tajam.
Ify menelan
ludahnya yang terasa begitu pahit ketika mencapai pangkal tenggorokan. Gadis
itu pun memilih menunduk. Berfirasat bahwa sebentar lagi ia akan diomeli
habis-habisan.
“Siapa nama kamu?”
tanya kakak senior itu dengan nada super ketus.
Ify mengerjap seketika.
Masih dengan kepala tertunduk, gemetar ia menjawab, “Lifyana Rossa.”
“Jurusan?”
“B-Biologi.”
“Sana masuk
barisan!” perintah sang kakak senior itu.
Eh? Ify terkesiap.
Dia tidak jadi dimarahi? Hanya ditanya nama dan jurusan saja? Padahal ia sudah
begitu siap baik fisik maupun mental untuk menerima kemarahan kakak senior
berwajah galak itu. Tapi, ya sudahlah. Bersyukur juga pagi ini ia tidak sarapan
dengan sebakul omelan.
Lamat-lamat Ify
berjalan dan turut bergabung dengan barisan para mahasiswa-mahasiswa baru dari
berbagai jurusan. Semua berkumpul di sana. Menjalani prosesi penerimaan
mahasiswa baru yang dipimpin langsung oleh rektor universitas.
Satu jam kemudian
barulah acara tersebut selesai. Ify tidak bisa membayangkan kalau ia mengikuti
acara itu dari awal. Ada untungnya juga ia datang terlambat. Jadi, ia tidak
usah berlama-lama berdiri di tempat itu bersama ribuan mahasiswa baru lainnya.
Rektor, guru besar
serta staf lainnya meninggalkan tempat. Acara diambil alih oleh panitia
pelaksana. Seorang laki-laki naik ke atas panggung. Mengedarkan pandangan pada
setiap sudut lapangan. Lalu ia raih microfon yang berada tidak jauh dari
tempatnya.
“Selamat datang
mahasiswa baru kebanggaan negeri ini. Senang rasanya bisa menyambut kalian pagi
ini,” laki-laki itu berujar dengan penuh wibawa. Tidak ada yang berani menyela.
Semua diam menyimak dengan seksama.
“Namun, pagi ini
ada dua orang mahasiswa yang membuat saya kecewa. Mahasiswa yang lalai, tidak
disiplin,” lanjut laki-laki itu.
Ify mendesah gusar.
Merasa bahwa satu dari dua mahasiswa yang dimaksud oleh lelaki tegap di atas
panggung itu adalah dirinya. Oh mungkin memang dari sekian ribu mahasiswa baru
yang ada di lapangan ini hanya ia dan satu lagi entah siapa yang tidak
disiplin. Miris sekali. Tubuh mungilnya berubah mengejang. Ia sudah dapat
mengira bahwa sebentar lagi kesialannya di hari itu masih akan terus berlanjut.
“Kepada dua nama
yang saya panggil, silakan naik ke atas panggung,” laki-laki itu terdiam
sejenak lantas melanjutkan. “Alvin Putra, jurusan fisika dan Lifyana Rossa,
jurusan biologi.”
Kedua kakinya lemas seketika. Sudah bisa Ify
duga namanya akan disebut oleh laki-laki itu. Dengan langkah yang ia yakini
tidak sepenuhnya menapak bumi, Ify mengikuti perintah laki-laki itu. Ia menaiki
panggung. Membuntuti laki-laki –yang pasti- bernama Alvin Putra yang
mendahuluinya beberapa detik saja.
“Beri tepuk tangan
yang meriah untuk pasangan pertama kita tahun ini!” lelaki itu berseru. Seakan
dia adalah rajanya dan semua yang ada di sana hanyalah rakyat jelata, semuanya
bertepuk tangan dengan begitu semangatnya. Entah karena terlalu patuh pada sang
raja, atau justru lucu saja melihat pasangan senasib sepersialan pagi itu.
Ify rasanya ingin
menciut saja hingga seukuran liliput. Malu sekali ditonton dan ditepuki oleh
ribuan orang yang tidak dikenalinya sama sekali. Prestasi yang sangat
membanggakan, Ify! Bahkan gadis itu sudah menjadi selebriti di hari pertamanya
menyandang status mahasiswa. Selebriti dengan prestasi yang luar biasa yaitu
datang terlambat hingga hampir satu jam.
Sementara Alvin,
pemuda dengan kacamata supertebal dan rambut kelimis seperti baru sedetik yang
lalu keramas itu hanya bisa menunduk dalam. Sering dibully oleh teman-temannya
sejak SMA bukan berarti membuatnya biasa saja dipermalukan seperti itu.
Setelah puas
membuat memotongi urat malu dua mahasiwa baru, lelaki itu kembali bersuara.
Membuat suasana hening dengan sendirinya.
“Sekarang, semuanya
boleh meninggalkan lapangan. Kalian diberi waktu beristirahat tiga puluh menit.
Setelah itu, kembali ke gedung fakultas kalian masing-masing.”
Ify dan Alvin baru
saja akan menghela napas lega, saat lelaki itu mendesis tajam seraya menatap
mereka dari ekor matanya. “Kecuali kalian. Kalian tetap di sini!”
Ify mengeluh dalam
hati. Apa lagi setelah ini Tuhan? Belum cukup apa tadi Kau letakkan nyawa Ify
di ujung tanduk ketika menaiki ojek superngebut, lalu dibuat layaknya badut di
hadapan orang-orang asing yang kelak akan mengingatnya sebagai Lifyana si nona
tidak disiplin. Sekarang, lawakan macam apa lagi yang akan Kau pertunjukkan
dengan menjadikan Ify sebagai salah satu pemainnya?
"Lepas
tas kalian!"
Ify
dan Alvin menurut. Mereka letakkan tas masing-masing di ujung kaki.
"Kalian
lari keliling lapangan ini. Lima kali. Mulai dari sekarang!"
Bahkan
Ify dan Alvin belum sempat memberikan respon kaget, kesal, dan kecewa mereka
diberi hukuman itu. Tapi lelaki itu dengan nada seakan ia adalah penguasa jagat
raya, seenak udelnya saja menghukum kedua mahasiswa polos itu. Tidak tahukah
dia bahwa lapangan bola sebesar apa? Dikalikan lima pula. Kakak senior atau
kompeni Belanda sih?
Tapi
karena Ify dan Alvin tidak punya daya apa-apa, bahkan untuk memprotes pun
mereka tak bisa, akhirnya mereka jalani saja hukuman itu. Keduanya mulai
berlari. Mengelilingi lapangan bola kampusnya.
Awalnya
Ify dan Alvin berlari beriringan. Meski peluh lebih banyak membanjiri wajah
Ify, tapi kecepatannya berlari kosntan. Pada putaran kedua, entah karena Ify
yang semakin cepat berlari atau malah Alvin yang melambat, gadis itu berlari
mendahului Alvin. Membuat pemuda berkacamata itu tertinggal di belakang. Jauh.
Dan semakin jauh.
Beberapa
saat kemudian, Ify akhirnya menyadari bahwa Alvin tidak lagi berlari. Gadis itu
kemudian berhenti. Lalu menoleh ke belakang. Dan terkejutnya ia ketika
mendapati Alvin jatuh berlutut di tanah seraya memegangi dada. Oh dirinya pun
saat itu tengah menyimpan telapak tangannya di dada. Tapi Alvin beda. Dia
terlihat meringia kesakitan. Mulutnya terbuka seperti tengah mencari-cari
udara. Padahal jutaan partikel udara begiu dekat dengannya, dengan kita semua.
Ada
yang tidak beres dengan Alvin. Ify membatin. Lalu segera kembali menghampiri
Alvin.
"Kamu
kenapa?" tanya Ify. Berlutut di hadapan Alvin.
Alvin
tidak menjawab. Pemuda itu bahkan sudah tidak bisa mengeluarkan sepatah kata
pun. Tangannya semakin kuat mencengkram dada. Ia sudah seperti ikan yang
berenang di daratan.
Ify
menggeleng pelan. "Kamu asma? Bawa inhaler, kan?
Alvin
tidak merespon apa-apa. Pemuda itu sibuk berkutat dengan kekuatan tak kasat
mata yang menghalangi aliran udara untuk masuk ke paru-parunya. Sekarang, ia
merasa dadanya menyempit hingga tak memiliki ruang lagi untuk ribuan kantung
paru-paru yang memaksa untuk diisi oksigen secepatnya
Ah,
sudah tidak ada waktu lagi. Alvin berlari ke atas panggung. Meraih tas Alvin
dan menggeledahi isinya. Pasti ada inhaler di sana. Tentu saja. Pengidap asma
mana yang dengan bodohnya tidak membawa inhaler untuk keadaan tak terduga
seperti saat ini?
Tepat.
Ify menemukannya. Tak perlu berlama-lama, Ify berlari kembali ke lapangan.
Membawakan alat di mana separuh nyawa pemuda itu tertambat di sana.
Dan
satu menit kemudian, Ify baru bisa bernapas lega. Bersama Alvin yang kini sudah
bisa bernapas dengan normal, ia terduduk lemas di atas rumput. Memandangi Alvin
yang sepertinya masih shock dengan kejadian barusan. Jangankan Alvin, dirinya
saja sudah seketar-ketir itu. Bagaimana bisa nyawa seseorang yang belum
dikenalnya lebih dari satu jam itu dipertaruhkan pada kegesitannya mengambil
setiap keputusan.
"Makasih,
ya emm Li... Li..." ujar Alvin, berusaha untuk mengingat nama Ify.
"Panggil
Ify aja." tukas Ify. Tersenyum lebar. Seakan memastikan bahwa ia dan Alvin
baik-baik saja.
"Kalau
ga ada kamu, aku ga tahu nasib aku kayak gimana." Alvin membenarkan kacamatanya yang agak
miring.
"Kalau
ga ada aku, ya Tuhan bakalan tetap nolong kamu." Ify mengusap wajahnya
yang basah. Mungkin, ini kali pertama ia berkeringat sebanyak itu. Poninya pun
basah. Seperti baru saja disiram seember air.
"Eh,
emang mereka ga tahu apa kalau kamu
punya asma?" tanya Ify. Kata mereka ia tujukan untuk senior-senior tidak
punya hati itu.
"Mereka
tahu pun kayaknya ga ngaruh deh! Yang mereka tahu kan mereka selalu benar.
Termasuk mempermalukan kita kayak tadi." Alvin terkekeh pelan.
"Tapi
itu tuh keterlaluan! Asma loh!" ujar Ify. Gemas sendiri pada tingkah
senior-senior itu.
Alvin
diam. Memilih membiarkan Ify merutuki senior-senior jahat itu. Terkekeh ketika
mendengar gadis itu menyumpahi mereka agar terkena azab berupa kutukan menjadi
kodok.
Dan
setelah hari itu, Ify dan Alvin bersahabat dengan begitu baik. Persamaan nasib
karena sama-sama selalu menjadi bahan bully -baik oleh teman seangkatan maupun
oleh kakak tingkat- menjadikan mereka begitu kompak. Setiap hari selalu ada
saja cerita tentang bagaimana mereka dikerjai, dipermalukan, dibuat kesal.
Kalau dulu, Ify yang mengomel panjang lebar, sekarang Alvin dan Ify kadar
mengomelnya sudah sama. Meskipun di hadapan para pembully itu, mereka tidak
bisa berbuat apa-apa.
Ify
dan Alvin. Pasangan terbully tahun ini.
***
bersambung