Pages - Menu

Selasa, 19 April 2016

Tidak Butuh Judul [1]

Ify memandangi ruang tamu apartemennya yang terasa begitu lengang. Belum sehari  Papa meninggalkannya, gadis itu sudah merasa begitu kesepian. Seumur hidup tinggal bersama Papa, selalu ikut ke mana pun orangtua tunggalnya itu ditempatkan kerja, membuatnya tidak terbiasa harus menjalani harinya seorang diri.


Tapi untuk alasan yang tidak bisa dikesampingkan, akhirnya Ify harus memulai hidupnya yang baru. Sendirian, di sebuah kota tempatnya melanjutkan pendidikan.

Ify terkesiap ketika merasakan ponsel yang berada di atas meja bergetar, menandakan sebuah panggilan baru saja masuk ke sana. Gadis itu meraih sang ponsel. Matanya membelalak ceria ketika melihat sebuah nama tertera di sana.

“Gabriel! Kamu menelepon di saat yang tepat!” ucap Ify sedetik setelah ia mengusap layar ponselnya.

“Kamu lagi kangen aku?” tanya seorang pemuda di sebrang telepon sana. Suara baritone khasnya membuat Ify terkikik pelan.

“Ih centil deh! Tapi iya juga sih! Aku lagi kangen kamu. Tapi kan itu setiap saat. Hehe. Aku lagi kesepian nih. Papa udah balik lagi ke Jayapura. Sendirian deh!” Ify terdengar mengeluh.

“Sekarang waktunya kamu untuk belajar mandiri, Fy! Jangan manja terus sama Papa. Semangat ya! Aku aja yang jauh di sini bisa kuat kok jauh dari keluarga.”

“Kamu kuat juga jauh dari aku?” tanya Ify seraya tersenyum jahil. Seakan pemuda itu tengah berada di hadapannya dan melihat ekspresi di wajahnya.

“Kalau itu sih dikuat-kuatin, Fy!”

Ify tertawa menyeringai. Euforia ketika bercakap dengan pemuda itu lewat udara masih saja sama, selalu menyenangkan. Setahun berlalu setelah Gabriel –pemuda itu- memutuskan untuk melanjutkan studi ke Paris dan akhirnya mereka berdua terpaksa harus menjalin hubungan jarak jauh. Jayapura-Paris. Dan kali ini Bandung-Paris. Tidak ada yang berbeda. Perasaan dan hatinya untuk siapa. Setahun tak saling bertemu, bukan berarti rasa itu menguap bersama detik yang berlalu. Justru semakin mengembang seiring perputaran waktu.

“Fy, aku cinta kamu.”

Ify terhenyak ketika mendengar kalimat yang sudah begitu familiar di telinga dan otaknya itu. Kalimat yang ia tahu persis akan diucapkan dengan aksen dan nada seperti apa. Kalimat yang selalu ingin didengarnya setiap saat sejak pertama kali pemuda itu mengucapkannya.

“Aku pun,” ucap Ify pelan. Lalu bunyi klik terdengar tanda sambungan telepon diputuskan. Gadis itu kembali terdiam. Menatap ruang tamu apartemennya yang lapang hingga larut malam.

***
           
Tubuh pemuda itu bergerak seirama dengan musik yang diperdengarkan. Hentakannya membuat dada siapa pun yang mendengarnya berdebum. Bak roket dia melejit di lantai sebuah club malam.
            
Seorang gadis dalam balutan pakaian serba ketat yang mencetak sempurna setiap lekuk tubuhnya datang menghampiri. Seraya bergoyang, ia rangkul pemuda yang tengah menikmati alunan musik kencang itu.
    
“Hai, sayang!” ujar pemuda itu dengan sedikit berteriak. Menyadari bahwa suaranya kalah superior oleh dentuman musik di sana.
            
Bibir merah bak buah tomat itu tersenyum. Lantas bergerak mendekat ke arah wajah sang pemuda. Mendaratkan kecupan sapa di sana.
            
Setelah itu mereka terlalut  dalam suasana. Bergoyang seperti orang kesetanan. Tidak peduli pada apa pun. Termasuk waktu yang kini sudah hampir mencapai tengah malam. Juga kenyataan bahwa besok mereka telah ditunggu segunung kegiatan. Yang mereka tahu hanya bergoyang.

***

Sangat tidak lucu ketika kau terlambat di hari pertama kuliah. Bagaimana itu bisa terjadi padahal sebelumnya telah kau tunggu-tunggu hari itu. Oh sial! Tadi malam Ify tidur pukul tiga dini hari. Tugas ospek yang tidak manusiawi itu membuat jam tidurnya dipangkas habis-habisan. Pukul lima ia sudah harus bangun kembali. Bersiap-siap menuju kampus. Berdandan seperti orang gila: rambut dikucir dua, papan nama sebesar gaban terkalung di lehernya, tak lupa kaus kaki selutut belang merah dan putih.

Perjalanan dari apartemen hingga kampusnya memakan waktu tidak lebih dari tiga puluh menit. Namun hari itu mungkin Ify sedang dikerjai atau apa, di perjalanan yang ia tempuh dengan menggunakan angkot, tak sengaja ia tertidur. Bodohnya ia memilih duduk di kursi penumpang depan. Membuatnya terlalu nyaman seakan angkot itu diciptakan untuk mengantarnya.

Ify baru terbangun ketika kampusnya sudah terlewat sangat jauh. Ia mengeluh tertahan. Tak bisa menyalahkan Bapak supir angkot juga karena memang ia tidak salah. Gadis itu akhirnya menyetop sang angkot. Memberikan beberapa lembar uang seribuan. Terburu keluar dari angkot.

Sepuluh menit kemudian, barulah Ify sampai di kampusnya. Terimakasih ia ucapkan yang sebesar-besarnya pada Abang Ojek yang juara sekali ngebutnya. Ify pun tahu kalau ia naik ojek yang lain, mungkin dua puluh menit pun tidak akan cukup untuk mengantarkannya ke depan pintu gerbang kampus yang tinggi menjulang.

Tapi ngebutnya Abang Ojek terasa sia-sia, karena nyatanya Ify tetap saja terlambat untuk mengikuti prosesi pembukaan acara ospek kampusnya. Beberapa meter dari tempatnya, ia lihat barikade kakak-kakak senior yang menatapnya dengan begitu tajam. Andai tatapan berbentuk pedang, sudah mati berdarah-darah Ify sekarang.

Dengan nyali yang dibesar-besarkan (sebab sesungguhnya ia teramat takut pada senior-senior sok berkuasa itu), Ify melangkahkan kakinya. Lalu berhenti tepat di depan seorang senior perempuan yang berdiri begitu angkuh. Seakan dialah ratunya saat itu. Mengintimidasi siapa pun yang ada di sana, termasuk Ify.

"Maaf, kak! Saya terlambat." ujar Ify. Berusaha menatap lawan bicaranya yang terlihat menakutkan.

Sang senior balas menatap Ify dengan tatapan merendahkan. "Hari pertama sudah terlambat. Tidak disiplin!" desis perempuan itu tajam.

Ify menelan ludahnya yang terasa begitu pahit ketika mencapai pangkal tenggorokan. Gadis itu pun memilih menunduk. Berfirasat bahwa sebentar lagi ia akan diomeli habis-habisan.

“Siapa nama kamu?” tanya kakak senior itu dengan nada super ketus.

Ify mengerjap seketika. Masih dengan kepala tertunduk, gemetar ia menjawab, “Lifyana Rossa.”

“Jurusan?”

“B-Biologi.”

“Sana masuk barisan!” perintah sang kakak senior itu.

Eh? Ify terkesiap. Dia tidak jadi dimarahi? Hanya ditanya nama dan jurusan saja? Padahal ia sudah begitu siap baik fisik maupun mental untuk menerima kemarahan kakak senior berwajah galak itu. Tapi, ya sudahlah. Bersyukur juga pagi ini ia tidak sarapan dengan sebakul omelan.

Lamat-lamat Ify berjalan dan turut bergabung dengan barisan para mahasiswa-mahasiswa baru dari berbagai jurusan. Semua berkumpul di sana. Menjalani prosesi penerimaan mahasiswa baru yang dipimpin langsung oleh rektor universitas.

Satu jam kemudian barulah acara tersebut selesai. Ify tidak bisa membayangkan kalau ia mengikuti acara itu dari awal. Ada untungnya juga ia datang terlambat. Jadi, ia tidak usah berlama-lama berdiri di tempat itu bersama ribuan mahasiswa baru lainnya.

Rektor, guru besar serta staf lainnya meninggalkan tempat. Acara diambil alih oleh panitia pelaksana. Seorang laki-laki naik ke atas panggung. Mengedarkan pandangan pada setiap sudut lapangan. Lalu ia raih microfon yang berada tidak jauh dari tempatnya.

“Selamat datang mahasiswa baru kebanggaan negeri ini. Senang rasanya bisa menyambut kalian pagi ini,” laki-laki itu berujar dengan penuh wibawa. Tidak ada yang berani menyela. Semua diam menyimak dengan seksama.

“Namun, pagi ini ada dua orang mahasiswa yang membuat saya kecewa. Mahasiswa yang lalai, tidak disiplin,” lanjut laki-laki itu.

Ify mendesah gusar. Merasa bahwa satu dari dua mahasiswa yang dimaksud oleh lelaki tegap di atas panggung itu adalah dirinya. Oh mungkin memang dari sekian ribu mahasiswa baru yang ada di lapangan ini hanya ia dan satu lagi entah siapa yang tidak disiplin. Miris sekali. Tubuh mungilnya berubah mengejang. Ia sudah dapat mengira bahwa sebentar lagi kesialannya di hari itu masih akan terus berlanjut.

“Kepada dua nama yang saya panggil, silakan naik ke atas panggung,” laki-laki itu terdiam sejenak lantas melanjutkan. “Alvin Putra, jurusan fisika dan Lifyana Rossa, jurusan biologi.”

Kedua kakinya lemas seketika. Sudah bisa Ify duga namanya akan disebut oleh laki-laki itu. Dengan langkah yang ia yakini tidak sepenuhnya menapak bumi, Ify mengikuti perintah laki-laki itu. Ia menaiki panggung. Membuntuti laki-laki –yang pasti- bernama Alvin Putra yang mendahuluinya beberapa detik saja.

“Beri tepuk tangan yang meriah untuk pasangan pertama kita tahun ini!” lelaki itu berseru. Seakan dia adalah rajanya dan semua yang ada di sana hanyalah rakyat jelata, semuanya bertepuk tangan dengan begitu semangatnya. Entah karena terlalu patuh pada sang raja, atau justru lucu saja melihat pasangan senasib sepersialan pagi itu.

Ify rasanya ingin menciut saja hingga seukuran liliput. Malu sekali ditonton dan ditepuki oleh ribuan orang yang tidak dikenalinya sama sekali. Prestasi yang sangat membanggakan, Ify! Bahkan gadis itu sudah menjadi selebriti di hari pertamanya menyandang status mahasiswa. Selebriti dengan prestasi yang luar biasa yaitu datang terlambat hingga hampir satu jam.

Sementara Alvin, pemuda dengan kacamata supertebal dan rambut kelimis seperti baru sedetik yang lalu keramas itu hanya bisa menunduk dalam. Sering dibully oleh teman-temannya sejak SMA bukan berarti membuatnya biasa saja dipermalukan seperti itu.

Setelah puas membuat memotongi urat malu dua mahasiwa baru, lelaki itu kembali bersuara. Membuat suasana hening dengan sendirinya.

“Sekarang, semuanya boleh meninggalkan lapangan. Kalian diberi waktu beristirahat tiga puluh menit. Setelah itu, kembali ke gedung fakultas kalian masing-masing.”

Ify dan Alvin baru saja akan menghela napas lega, saat lelaki itu mendesis tajam seraya menatap mereka dari ekor matanya. “Kecuali kalian. Kalian tetap di sini!”


Ify mengeluh dalam hati. Apa lagi setelah ini Tuhan? Belum cukup apa tadi Kau letakkan nyawa Ify di ujung tanduk ketika menaiki ojek superngebut, lalu dibuat layaknya badut di hadapan orang-orang asing yang kelak akan mengingatnya sebagai Lifyana si nona tidak disiplin. Sekarang, lawakan macam apa lagi yang akan Kau pertunjukkan dengan menjadikan Ify sebagai salah satu pemainnya?     

"Lepas tas kalian!"

Ify dan Alvin menurut. Mereka letakkan tas masing-masing di ujung kaki.

"Kalian lari keliling lapangan ini. Lima kali. Mulai dari sekarang!"

Bahkan Ify dan Alvin belum sempat memberikan respon kaget, kesal, dan kecewa mereka diberi hukuman itu. Tapi lelaki itu dengan nada seakan ia adalah penguasa jagat raya, seenak udelnya saja menghukum kedua mahasiswa polos itu. Tidak tahukah dia bahwa lapangan bola sebesar apa? Dikalikan lima pula. Kakak senior atau kompeni Belanda sih?

Tapi karena Ify dan Alvin tidak punya daya apa-apa, bahkan untuk memprotes pun mereka tak bisa, akhirnya mereka jalani saja hukuman itu. Keduanya mulai berlari. Mengelilingi lapangan bola kampusnya.

Awalnya Ify dan Alvin berlari beriringan. Meski peluh lebih banyak membanjiri wajah Ify, tapi kecepatannya berlari kosntan. Pada putaran kedua, entah karena Ify yang semakin cepat berlari atau malah Alvin yang melambat, gadis itu berlari mendahului Alvin. Membuat pemuda berkacamata itu tertinggal di belakang. Jauh. Dan semakin jauh.

Beberapa saat kemudian, Ify akhirnya menyadari bahwa Alvin tidak lagi berlari. Gadis itu kemudian berhenti. Lalu menoleh ke belakang. Dan terkejutnya ia ketika mendapati Alvin jatuh berlutut di tanah seraya memegangi dada. Oh dirinya pun saat itu tengah menyimpan telapak tangannya di dada. Tapi Alvin beda. Dia terlihat meringia kesakitan. Mulutnya terbuka seperti tengah mencari-cari udara. Padahal jutaan partikel udara begiu dekat dengannya, dengan kita semua.

Ada yang tidak beres dengan Alvin. Ify membatin. Lalu segera kembali menghampiri Alvin.

"Kamu kenapa?" tanya Ify. Berlutut di hadapan Alvin.

Alvin tidak menjawab. Pemuda itu bahkan sudah tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Tangannya semakin kuat mencengkram dada. Ia sudah seperti ikan yang berenang di daratan.

Ify menggeleng pelan. "Kamu asma? Bawa inhaler, kan?

Alvin tidak merespon apa-apa. Pemuda itu sibuk berkutat dengan kekuatan tak kasat mata yang menghalangi aliran udara untuk masuk ke paru-parunya. Sekarang, ia merasa dadanya menyempit hingga tak memiliki ruang lagi untuk ribuan kantung paru-paru yang memaksa untuk diisi oksigen secepatnya

Ah, sudah tidak ada waktu lagi. Alvin berlari ke atas panggung. Meraih tas Alvin dan menggeledahi isinya. Pasti ada inhaler di sana. Tentu saja. Pengidap asma mana yang dengan bodohnya tidak membawa inhaler untuk keadaan tak terduga seperti saat ini?

Tepat. Ify menemukannya. Tak perlu berlama-lama, Ify berlari kembali ke lapangan. Membawakan alat di mana separuh nyawa pemuda itu tertambat di sana.

Dan satu menit kemudian, Ify baru bisa bernapas lega. Bersama Alvin yang kini sudah bisa bernapas dengan normal, ia terduduk lemas di atas rumput. Memandangi Alvin yang sepertinya masih shock dengan kejadian barusan. Jangankan Alvin, dirinya saja sudah seketar-ketir itu. Bagaimana bisa nyawa seseorang yang belum dikenalnya lebih dari satu jam itu dipertaruhkan pada kegesitannya mengambil setiap keputusan.

"Makasih, ya emm Li... Li..." ujar Alvin, berusaha untuk mengingat nama Ify.

"Panggil Ify aja." tukas Ify. Tersenyum lebar. Seakan memastikan bahwa ia dan Alvin baik-baik saja.

"Kalau ga ada kamu, aku ga tahu nasib aku kayak gimana."  Alvin membenarkan kacamatanya yang agak miring.

"Kalau ga ada aku, ya Tuhan bakalan tetap nolong kamu." Ify mengusap wajahnya yang basah. Mungkin, ini kali pertama ia berkeringat sebanyak itu. Poninya pun basah. Seperti baru saja disiram seember air.

"Eh, emang  mereka ga tahu apa kalau kamu punya asma?" tanya Ify. Kata mereka ia tujukan untuk senior-senior tidak punya hati itu.

"Mereka tahu pun kayaknya ga ngaruh deh! Yang mereka tahu kan mereka selalu benar. Termasuk mempermalukan kita kayak tadi." Alvin terkekeh pelan.

"Tapi itu tuh keterlaluan! Asma loh!" ujar Ify. Gemas sendiri pada tingkah senior-senior itu.
Alvin diam. Memilih membiarkan Ify merutuki senior-senior jahat itu. Terkekeh ketika mendengar gadis itu menyumpahi mereka agar terkena azab berupa kutukan menjadi kodok.

Dan setelah hari itu, Ify dan Alvin bersahabat dengan begitu baik. Persamaan nasib karena sama-sama selalu menjadi bahan bully -baik oleh teman seangkatan maupun oleh kakak tingkat- menjadikan mereka begitu kompak. Setiap hari selalu ada saja cerita tentang bagaimana mereka dikerjai, dipermalukan, dibuat kesal. Kalau dulu, Ify yang mengomel panjang lebar, sekarang Alvin dan Ify kadar mengomelnya sudah sama. Meskipun di hadapan para pembully itu, mereka tidak bisa berbuat apa-apa.
Ify dan Alvin. Pasangan terbully tahun ini.
***
bersambung