Pages - Menu

Sabtu, 20 September 2014

Sejatiku Kamu 2



Papa adalah orang paling murah tawa. Lucu sedikit tertawa. Lucunya banyak apalagi. Misal ada yang melawak dan tidak lucu sama sekali pun, ia pasti akan tertawa. Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang. Begitu kata Papa. Setelah aku sudah cukup besar, barulah aku tahu bahwa kalimat itu ia contek dari grup lawak favoritnya: Warkop DKI. 

Papa sangat menyukai seni komedi. Bahkan kalau bisa, dia pasti sudah jadi pelawak saat ini. Sepanggung dengan Srimulat dan bermain film bersama warkop DKI. Sayangnya Papa hanya diciptakan sebagai penonton. Ya, dia adalah penonton setia apa pun yang berbau komedi. Film-film Warkop DKI, serial TV Mr Bean hingga pertunjukan ketoprak Srimulat. 


Aku pernah ikut menonton Mr Bean bersama Papa. Tapi yang aku tonton bukan tingkah bodoh dan konyolnya Mr Bean. Tapi justru Papa yang kuperhatikan begitu seksama. Aku heran melihat Papa begitu lepas tertawa. Terpingkal-pingkal hingga memegangi perutnya. Apanya yang lucu sih dari Mr Bean? Yang kerjaannya hanya bergumam tidak jelas sambil melakukan hal bodoh? Dan Papa sudah menonton serial itu berulang kali. Tapi mengapa ia masih bisa tertawa seakan hal itu adalah hal baru untuknya? 

"Pa, kenapa Papa suka banget ketawa?" tanyaku polos. Habis aku bingung. Papa terlalu sering tertawa. Kata Aldo, teman sekelasku yang paling nakal, terlalu sering tertawa adalah gejala-gejala orang gila. Aku tahu Aldo hanya mengerjaiku. Tapi aku takut kalau ternyata hal itu benar. Papaku calon orang gila? Eh? 

Papa terkesiap sejenak. Namun beberapa detik kemudian tawanya pecah. Hei! Apa yang lucu dari pertanyaanku? Aku mengulum bibir sebal. 

“Karena hidup ini terlalu indah untuk dilewatkan tanpa tertawa.” ujar Papa pada akhirnya, setelah ia melihatku dengan wajah yang ditekuk sedemikian rupa. 

"Tapi ucapan papa belum menjawab pertanyaanku. Aku belum puas!!!

***
             
Suatu pagi ketika aku hendak berangkat ke sekolah, rumahku dihebohkan oleh jeritan Mama. Aku dan Papa yang sedang sarapan nasi goreng langsung melesat ke tempat Mama. Kami berdua medapati Mama dengan wajah yang begitu panik. Membuat kepanikan itu juga menular padaku.
             
“Kenapa, Ma?” tanya Papa. Pagi itu, nampaknya Papalah yang paling tenang di antara kami bertiga.
            
 “TV kita hilang, Pa!” tukas Mama lemas. Ia menunjuk meja TV yang sudah tidak patut lagi dipanggil seperti itu. Ya karena Tvnya sudah tidak ada. Jadi, panggil meja saja.
           
 Aku tersentak kaget. Ingin rasanya aku menjerit saat itu. Tapi tidak jadi karena dipotong ucapan Papa yang terdengar begitu santai.
           
 “Mungkin ada yang ngumpetin.”
           
 Kalau tidak ingat dia berstatus Papaku, sudah kujitak kepalanya. Enteng sekali dia bilang bahwa TV yang sekarang entah di mana itu disembunyikan. Disembunyikan di mana? Kalau pun ia, iseng sekali orang itu. Dan pasti disembunyikannya di rumah orang iseng itu sendiri.
           
 “Pa, TV kita hilang! Papa masih bisa bercanda?” tanya Mama dengan nada yang meninggi. Papa memang paling susah kalau diajak serius. Tapi ini situasinya berbeda. TV kami hilang. Perlu diulang? Hilang? Bukan disembunyikan!
             
“Ya kalau sudah hilang mau diapakan lagi?” Papa mengangkat bahu. Lalu melengos dari sana. Tidak ingin lagi mendengar luapan emosi Mama.
             
Aku juga sebenarnya sedih Tvku hilang. Itu berarti aku tidak bisa lagi menonton kartun doraemon favoritku setiap minggu pagi. Aku akan tertinggal petualangan-petualangan Nobita dan kawan-kawan. Dan sungguh aku kesal setengah mati pada Papa yang bersikap seolah tidak ada apa-apa. Tapi aku lebih tidak tahan lagi mendengar cerocosan Mama. Sudah seperti mercon tahun baru.
            
 Akhirnya aku menyusul Papa kembali ke ruang makan. Aku tidak mau terlambat pergi ke sekolah karena insiden menghilangnya TV yang sangat diributkan Mama, sementara Papa menyikapinya dengan begitu santai.
           
 Ketika aku masuk ke ruang makan, aku mendapati Papa tengah tertawa dengan begitu lepasnya. Aku mengerutkan kening. Sedikit curiga pada Papa yang tertawa segirang itu. Jangan-jangan yang menyembunyikan TV adalah Papa. Awas saja kalau benar. Aku paksa dia buat membelikanku eskrim yang banyak.
           
 “Papa kenapa ketawa sih? TV hilang itu lucu ya?” aku bertanya dengan nada kesal.
           
 Papa menatapku sejenak. Kemudian ia mengacungkan sebuah dompet hitam yang terbuat dari kulit. Lalu ia serahkan padaku.
           
 Aku menyelidiki dompet itu. Kubuka dan kudapati beberapa lembar uang seratus ribuan di sana. Selain itu ada KTP dan SIM di sana. Atas nama Suherman. Siapa tuh? Dan apa maksud Papa menunjukan dompet Suherman itu padaku? Ada hubungan apa antara dompet Suherman dan kasus TV yang hilang?
           
 “Tadi, pagi-pagi sekali Papa menemukan dompet itu di ruang tamu. Papa kira itu milik orang yang bertamu ke rumah kita. Eh ternyata memang benar. Dia bertamu, tapi kita tidak tahu.” ujar Papa. Ia kemudian menyendok nasi goreng yang masih tersisa di piringnya.
            
 Aku menggaruk kepala. Emm maksudnya apa ya? Aduh maaf ya! Aku kalau tidak dijelaskan dengan sejelas-jelasnya suka bingung sendiri.
            
 “TV kita memang ada yang ngumpetin. Tuh, Pak Suherman. Hahaha.” Papa memegangi perutnya. Dengan tangan yang lain, ia membekap mulut. Takut kalau nasi goreng dalam mulutnya akan menghambur ke mana-mana.
            
 “Jadi maksud Papa TV kita dicuri Pak Suherman?” aku mulai mengerti maksud dari ucapan Papa.
             
“Bukan dicuri, diumpetin!” Papa mengoreksi. Seperti kata diumpetin lebih tepat daripada dicuri. Padahal sudah jelas TV kami dicuri, oleh seorang bapak yang begitu bodohnya meninggalkan identitas. Pencuri memang tidak pernah ada yang bilang-bilang. Tapi sekarang aku percaya bahwa pencuri bisa meninggalkan pesan perkenalan.
             
“Athena tahu ga, Tuhan itu maha segalanya. Termasuk juga mahahumoris. Bahkan dalam keadaan tertimpa musibah begini aja, Tuhan masih berbaik hati buat ngajak kita bercanda. Kita kehilangan TV, tapi kita dikasih hiburan dengan tertinggalnya dompet si pencuri. Lucu banget, kan?” Papa menatapku lembut. Sekarang aku tahu mengapa aku diberi nama seorang dewi. Karena papaku seperti dewa. Tatapannya seperti dewa. Meskipun aku tidak pernah ditatap oleh dewa sungguhan. Tapi aku yakin papa menyerupai dewa. Setidaknya untukku, di hadapanku.
            
 “Terus, kenapa kita harus bersedih kalau Tuhan aja masih mau kita tertawa? Untuk semua yang terjadi dalam hidup kita, senang atau sedih, ketawa aja kita. Mungkin Tuhan lagi mau bercanda.” tandasnya. Lalu menyendok nasi goreng terakhirnya di piring.
            
 Aku terpana pada apa yang dikatakan Papa. Dari insiden TV menghilang dan dompet suherman itulah aku pun belajar untuk menertawakan banyak hal yang terjadi padaku. Termasuk soal namaku. Ketika teman-temanku tertawa karena menganggap namaku lucu, aku pun ikut tertawa bersama mereka. Ah ternyata memang nama itu benar-benar lucu. Aku bersyukur diberi nama selucu itu. Jadi kan aku bisa tertawa terus.
            
 Karena bagi Papa, hidup adalah potongan-potongan kejadian lucu. Hasil dari kemahahuorisan Tuhan. Jadi, mari tertawa bersama!
***