Papa adalah orang paling murah tawa. Lucu sedikit tertawa. Lucunya banyak apalagi. Misal ada yang melawak dan tidak lucu sama sekali pun, ia pasti akan tertawa. Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang. Begitu kata Papa. Setelah aku sudah cukup besar, barulah aku tahu bahwa kalimat itu ia contek dari grup lawak favoritnya: Warkop DKI.
Papa sangat menyukai seni komedi. Bahkan kalau bisa, dia pasti sudah jadi pelawak saat ini. Sepanggung dengan Srimulat dan bermain film bersama warkop DKI. Sayangnya Papa hanya diciptakan sebagai penonton. Ya, dia adalah penonton setia apa pun yang berbau komedi. Film-film Warkop DKI, serial TV Mr Bean hingga pertunjukan ketoprak Srimulat.
Aku pernah ikut menonton Mr Bean bersama Papa. Tapi yang aku tonton bukan tingkah bodoh dan konyolnya Mr Bean. Tapi justru Papa yang kuperhatikan begitu seksama. Aku heran melihat Papa begitu lepas tertawa. Terpingkal-pingkal hingga memegangi perutnya. Apanya yang lucu sih dari Mr Bean? Yang kerjaannya hanya bergumam tidak jelas sambil melakukan hal bodoh? Dan Papa sudah menonton serial itu berulang kali. Tapi mengapa ia masih bisa tertawa seakan hal itu adalah hal baru untuknya?
"Pa, kenapa Papa suka banget ketawa?" tanyaku polos. Habis aku bingung. Papa terlalu sering tertawa. Kata Aldo, teman sekelasku yang paling nakal, terlalu sering tertawa adalah gejala-gejala orang gila. Aku tahu Aldo hanya mengerjaiku. Tapi aku takut kalau ternyata hal itu benar. Papaku calon orang gila? Eh?
Papa terkesiap sejenak. Namun beberapa detik kemudian tawanya pecah. Hei! Apa yang lucu dari pertanyaanku? Aku mengulum bibir sebal.
“Karena hidup ini terlalu indah untuk dilewatkan tanpa tertawa.” ujar Papa pada akhirnya, setelah ia melihatku dengan wajah yang ditekuk sedemikian rupa.
"Tapi ucapan papa belum menjawab pertanyaanku. Aku belum
puas!!!
***
Suatu
pagi ketika aku hendak berangkat ke sekolah, rumahku dihebohkan oleh jeritan
Mama. Aku dan Papa yang sedang sarapan nasi goreng langsung melesat ke tempat
Mama. Kami berdua medapati Mama dengan wajah yang begitu panik. Membuat
kepanikan itu juga menular padaku.
“Kenapa,
Ma?” tanya Papa. Pagi itu, nampaknya Papalah yang paling tenang di antara kami
bertiga.
“TV kita
hilang, Pa!” tukas Mama lemas. Ia menunjuk meja TV yang sudah tidak patut lagi
dipanggil seperti itu. Ya karena Tvnya sudah tidak ada. Jadi, panggil meja
saja.
Aku tersentak
kaget. Ingin rasanya aku menjerit saat itu. Tapi tidak jadi karena dipotong
ucapan Papa yang terdengar begitu santai.
“Mungkin
ada yang ngumpetin.”
Kalau
tidak ingat dia berstatus Papaku, sudah kujitak kepalanya. Enteng sekali dia
bilang bahwa TV yang sekarang entah di mana itu disembunyikan. Disembunyikan di
mana? Kalau pun ia, iseng sekali orang itu. Dan pasti disembunyikannya di rumah
orang iseng itu sendiri.
“Pa, TV
kita hilang! Papa masih bisa bercanda?” tanya Mama dengan nada yang meninggi.
Papa memang paling susah kalau diajak serius. Tapi ini situasinya berbeda. TV
kami hilang. Perlu diulang? Hilang? Bukan disembunyikan!
“Ya
kalau sudah hilang mau diapakan lagi?” Papa mengangkat bahu. Lalu melengos dari
sana. Tidak ingin lagi mendengar luapan emosi Mama.
Aku juga
sebenarnya sedih Tvku hilang. Itu berarti aku tidak bisa lagi menonton kartun
doraemon favoritku setiap minggu pagi. Aku akan tertinggal
petualangan-petualangan Nobita dan kawan-kawan. Dan sungguh aku kesal setengah
mati pada Papa yang bersikap seolah tidak ada apa-apa. Tapi aku lebih tidak
tahan lagi mendengar cerocosan Mama. Sudah seperti mercon tahun baru.
Akhirnya
aku menyusul Papa kembali ke ruang makan. Aku tidak mau terlambat pergi ke sekolah karena insiden menghilangnya TV yang sangat diributkan Mama, sementara
Papa menyikapinya dengan begitu santai.
Ketika
aku masuk ke ruang makan, aku mendapati Papa tengah tertawa dengan begitu
lepasnya. Aku mengerutkan kening. Sedikit curiga pada Papa yang tertawa
segirang itu. Jangan-jangan yang menyembunyikan TV adalah Papa. Awas saja kalau
benar. Aku paksa dia buat membelikanku eskrim yang banyak.
“Papa
kenapa ketawa sih? TV hilang itu lucu ya?” aku bertanya dengan nada kesal.
Papa menatapku
sejenak. Kemudian ia mengacungkan sebuah dompet hitam yang terbuat dari kulit.
Lalu ia serahkan padaku.
Aku
menyelidiki dompet itu. Kubuka dan kudapati beberapa lembar uang seratus ribuan
di sana. Selain itu ada KTP dan SIM di sana. Atas nama Suherman. Siapa tuh? Dan apa maksud Papa menunjukan
dompet Suherman itu padaku? Ada hubungan apa antara dompet Suherman dan kasus
TV yang hilang?
“Tadi,
pagi-pagi sekali Papa menemukan dompet itu di ruang tamu. Papa kira itu milik
orang yang bertamu ke rumah kita. Eh ternyata memang benar. Dia bertamu, tapi
kita tidak tahu.” ujar Papa. Ia kemudian menyendok nasi goreng yang masih
tersisa di piringnya.
Aku
menggaruk kepala. Emm maksudnya apa ya? Aduh maaf ya! Aku kalau tidak
dijelaskan dengan sejelas-jelasnya suka bingung sendiri.
“TV kita
memang ada yang ngumpetin. Tuh, Pak Suherman. Hahaha.” Papa memegangi perutnya.
Dengan tangan yang lain, ia membekap mulut. Takut kalau nasi goreng dalam
mulutnya akan menghambur ke mana-mana.
“Jadi
maksud Papa TV kita dicuri Pak Suherman?” aku mulai mengerti maksud dari ucapan
Papa.
“Bukan
dicuri, diumpetin!” Papa mengoreksi. Seperti kata diumpetin lebih tepat
daripada dicuri. Padahal sudah jelas TV kami dicuri, oleh seorang bapak yang
begitu bodohnya meninggalkan identitas. Pencuri memang tidak pernah ada yang
bilang-bilang. Tapi sekarang aku percaya bahwa pencuri bisa meninggalkan pesan
perkenalan.
“Athena
tahu ga, Tuhan itu maha segalanya. Termasuk juga mahahumoris. Bahkan dalam
keadaan tertimpa musibah begini aja, Tuhan masih berbaik hati buat ngajak kita
bercanda. Kita kehilangan TV, tapi kita dikasih hiburan dengan tertinggalnya
dompet si pencuri. Lucu banget, kan?” Papa menatapku lembut. Sekarang aku tahu
mengapa aku diberi nama seorang dewi. Karena papaku seperti dewa. Tatapannya
seperti dewa. Meskipun aku tidak pernah ditatap oleh dewa sungguhan. Tapi aku
yakin papa menyerupai dewa. Setidaknya untukku, di hadapanku.
“Terus,
kenapa kita harus bersedih kalau Tuhan aja masih mau kita tertawa? Untuk semua
yang terjadi dalam hidup kita, senang atau sedih, ketawa aja kita. Mungkin
Tuhan lagi mau bercanda.” tandasnya. Lalu menyendok nasi goreng terakhirnya di
piring.
Aku
terpana pada apa yang dikatakan Papa. Dari insiden TV menghilang dan dompet
suherman itulah aku pun belajar untuk menertawakan banyak hal yang terjadi
padaku. Termasuk soal namaku. Ketika teman-temanku tertawa karena menganggap
namaku lucu, aku pun ikut tertawa bersama mereka. Ah ternyata memang nama itu
benar-benar lucu. Aku bersyukur diberi nama selucu itu. Jadi kan aku bisa
tertawa terus.
Karena
bagi Papa, hidup adalah potongan-potongan kejadian lucu. Hasil dari
kemahahuorisan Tuhan. Jadi, mari tertawa bersama!
***