Kalau begini jadinya, aku tidak ingin diberitahu akan seperti apa aku nanti. Tuhan, lindungi aku dari keadaan tahu ini!
***
Ify
melihat refleksi seorang gadis dalam cermin. Nampak sempurna dengan
balutan seragam sekolahnya. Lengkap dengan bletzer biru kotak-kotak
berenda. Rambutnya dibiarkan terurai. Kalung perak menjuntai menghiasi
lehernya. Apa yang kurang?
Coba perhatikan dari ujung
sepatu
katsnya. Bergerak menuju kaus kaki setengah betis dengan hiasan
pita. Lalu rok yang ujungnya sedikit di atas lutut. Kemeja putih yang
masuk ke dalam rok. Lantas dasi yang dipasang rapi di balik kerah
kemeja. Tapi...
Mari lihat wajah polos namun pucat itu.
Pucat? Bagaimana urusannya? Mengapa bisa pucat seperti itu? Seakan
separuh kehidupan telah meninggalkan raga ringkih itu. Bibirnya putih
dan pecah-pecah. Persis seperti seseorang yang sedang sariawan. Ah tentu
saja urusan ini lebih dari sekedar sariawan. Sepasang mata itu berkedip
sayu. Kadang mengerjap lemas. Satu darinya yang tak pernah berubah.
Caping hidung mancung itu tetap saja sama. Bangir dan menggemaskan.
Gadis
itu mendengar detak jarum pada jam dinding yang menempel pada tembok
bercat biru muda kamarnya. Menyentak lamunannya. Terburu ia menyambar
ransel merah mudanya. Lalu berjalan agak tersaruk keluar kamar.
Satu
persatu anak tangga dilalui dua kaki mungil itu secara perlahan. Kadang
terseok. Mengingat tubuh itu entah mengapa terasa begitu lemas. Hampa
seperti kapas.
Sebenarnya, penurunan kondisi tubuh Ify
berlangsung sejak kemarin ia pulang dari bermain di lapangan pinggir
kota bersama Gabriel. Bahkan sesaat setelah Gabriel mengantarkan Ify
sampai rumah, gadis itu langsung jatuh pingsan. Mama panik menelpon
Dokter Keke. Dokter yang setia menemani perkembangan Ify sejak tiga
tahun yang lalu. Sejak Ify masih tinggal di Bandung. Dulu, satu bulan
sekali Ify harus menyambangi rumah sakit tempat Dokter Keke bekerja yang
ada di luar kota. Itulah sebabnya mengapa Ify pindah. Supaya Ify mudah
memeriksa perkembangan penyakit aneh yang diidapnya. Entah apalah
namanya. Ify tidak tahu. Dan sungguh, Ify tidak ingin pernah tahu. Kota
tempat tinggal Ify sekarang, adalah kota tempat Dokter Keke bekerja.
Juga
Papa. Mama menyuruh Papa segera pulang. Lupakan meeting-meeting itu.
Tinggalkan segala berkas yang 'katanya' penting itu. Pulang. Pulang dan
lihat betapa gadis kecilnya sungguh menyedihkan. Pulang dan rengkuh
tubuh mungil yang memikul semilyar beban itu. Pulang dan kecup dahi
berkeringat dingin itu. Pulang dan... Dan doakan keselamatan untuk putri
sematawayang mereka. Minta agar Tuhan senantiasa melindunginya.
Berharap pada-Nya untuk selalu memberikan kekuatan yang lebih dari apa
yang tak pernah terkira.
Mama dan Papa ketar-ketir bertanya setelah Dokter Keke selesai memeriksa.
"Bagaimana dengan Ify, Dok? Ify tidak apa-apa? Matanya? Semuanya?"
"Apakah
Ify meminum obatnya secara teratur? Tepat waktu? Karena dari analisa
saya, penurunan kondisi Ify disebabkan karena ia tidak meminum obatnya.
Ibu dan Bapak sudah tahu bukan khasiat obat itu? Ify memang tidak akan
sembuh. Tapi paling tidak, ia masih bisa beraktifitas seperti biasa."
panjang lebar Dokter Keke menjelaskan.
Mama menangis
histeris. Menciumi wajah putrinya yang terkulai tak berdaya di atas
tempat tidurnya. Menutup mata. Sementara Papa masih mendengarkan seksama
petuah-petuah dari Dokter cantik itu.
"Bapak harus ketat
mengawasi Ify! Jangan sampai ia melewatkan satu kaplet pun dari jadwal
rutinnya. Ify bisa melakukan apa saja. Pekerjaan seberat apa pun. Asal
Ify minum obat itu. Dan satu lagi. Untuk seminggu ini, Ify harus
beristirahat total."
Papa mengangguk mengerti. Mengusap punggung Mama. Menguatkan.
"Baiklah Pak Ozy, Bu Zahra. Saya permisi dulu." Dokter Keke berpamitan. Hendak pulang.
"Ify Pa! Ify! Bagaimana kalau Ify kenapa-napa?" Mama mulai meracau. Tersedu menangis dalam dekapan Papa.
"Sttt!
Tidak Ma! Ify anak yang kuat!" begitu Papa bersugesti. Meyakinkan.
Keyakinan adalah satu-satunya usaha yang masih tersisa di antara mereka.
Papa
dan Mama mengusap wajah pucat namun tetap terlihat polos itu. Ada kilau
memancar dari sana. Entah apa. Namun ketika kilauan itu kian bersinar,
sungguh siapa pun yang melihatnya akan berdecak terpana. Mengagumkan.
Mereka
setia menunggui Ify. Tak sekali pun meninggalkan Ify sendiri. Selalu
harus ada salah satu dari mereka yang berjaga. Karena mereka ingin,
ketika Ify membuka matanya kembali, ia tidak sedang sendiri. Sungguh, ia
tidak akan pernah sendiri.
Maka saat malam hampir
mencapai larut, ketika Ify menunjukkan tanda-tanda kehidupan dengan
menggerakan jemari tangannya, tepat Mama dan Papa berjaga bersama. Lalu
kedua mata itu pun terbuka. Buram pada awalnya. Tapi pada akhirnya,
wajah-wajah bersahaja itu jelas dilihatnya. Syukurlah! Ify masih bisa
melihat wajah kedua orang tuanya. Karena dari sanalah, keteduhan dan
ketenangan didapatnya.
Mama langsung memeluk Ify. Pun
dengan Papa. Erat mendekap gadis mungilnya. Berbahagia. Berterimakasih
sebesar-besarnya pada Tuhan untuk masih memberikan kekuatan pada Ify
agar tetap bertahan.
Sejak saat itu, Mama dan Papa
berjanji bahwa mereka tak akan lalai menjaga Ify. Tentu saja. Kalau
mereka tidak lalai, mana mungkin Ify terlewat meminum obat.
Karena mereka telah diberi tahu, mereka tak akan menyia-nyiakan satu kedipan mata pun dari waktu.
"Ma..."
suara serak itu mengecil di ujungnya. Masuk ke dalam lubang telinga
seorang wanita yang tengah duduk bersandar di sofa. Sisa rasa lelah
akibat begadang semalam masih menggelayutinya. Wanita itu berada di
batas sadar dan tidak. Wanita itu kontan berdiri. Menengok muasal suara.
Di sana. Di ujung tangga, putrinya berdiri dengan pakaian rapi. Mau
kemana? Sekolah?
"IFY? " Mama memekik. Berlari menghampiri putrinya. Kesadaran sudah benar-benar diraihnya.
"Ify mau kemana?" tanya Mama retoris.
"Ify
mau sekolah Ma. Hari ini pelajaran matematika. Pelajaran kesukaan Ify."
gadis itu menjawab dengan gaya khasnya. Riang. Walau kali ini terkesan
dipaksakan.
Mama menggeleng. "Jangan sekolah dulu ya sayang!"
"Tapi Ma, hari ini banyak PR. Kalau Ify ga ngumpulin PR, nanti Ify dihukum. Sama kaya Rio. Bu gurunya galak."
Blasss...
Hati
itu sempurna mencelos. Duhai langit, apakah kau dengar ucapan gadis
itu? Bagaimana mungkin dalam keadaannya yang seperti ini, ia masih
memikirkan hal kecil sekali ber-PR? Apakah ia tak mempedulikan kondisi
tubuhnya? Bahkan ketika dibawa berjalan pun, rasanya seperti melayang.
Sekali
lagi Mama menggeleng. "Tidak. Kata Dokter Keke, Ify harus istirahat!
Ify tidak boleh sekolah!" ujar Mama dengan suara bergetar. Indikasi
bahwa wanita itu tengah menahan tanggul air mata itu untuk tidak pecah.
"Pokoknya
Ify ingin sekolah!" nada suaranya perlahan meninggi. "Di rumah tidak
seru. Tidak ada Gabriel, Oik, Rio dan teman-teman yang lain. Di rumah
tidak seru. Ify sendirian."
Sendirian? Mengapa cepat
sekali perasaan itu datang? Bukankah belum waktunya? Mengapa ia harus
diberitahu? Sungguh! Ia tidak ingin mengetahuinya.
"Lagian,
siapa sih Dokter Keke? Berani benar menyuruh Ify. Dokter Keke tidak
berhak." Ify mengusap matanya yang basah. Juga pipi pualamnya yang sedia
menjadi tadahan air mata yang pertama. "Ify capek disuruh-suruh Dokter
Keke. Sebulan sekali ke rumah sakit lah. Ify ngeri melihat jarum suntik.
Ify juga bosan harus minum obat. Saking seringnya Ify minum obat, semua
yang dimakan Ify rasanya sama kaya obat!"
Ify memuntabkan
keluh kesahnya pagi ini. Dari sana, tersirat bahwa Ify tengah bertanya
pada Tuhan. Mempertanyakan kasih-Nya. Mengapa harus ia yang terpilih
dari milyaran mahluk bumi untuk mengidap penyakit itu. Karena tiga tahun
hidup beriringan dengan penyakit itu, sudah sangat menyiksa.
Mama
melompat memeluk Ify. Apa yang didengarnya sudahlah cukup. Ia bisa
menebak bahwa putrinya telah berada selangkah lagi menuju keputusasaan.
Sebelum akhirnya menyerah. Dan kalah. Tidak boleh! Kalau seperti itu,
apalah artinya tiga tahun penuh tantangan itu? Tiga tahun yang
melelahkan. Bahkan vonis Dokter Keke yang mengatakan bahwa Ify tidak
mampu bertahan lebih dari dua tahun, mampu terpatahkan. Gadis itu
berhasil menembus tahun ketiga bersama penyakit itu. Jadi sekarang, Ify
hanya perlu bersabar. Sabar sampai waktu yang tak ada ujungnya. Karena
sungguh, kesabaran tak memiliki batasan.
"Ify jangan dulu
sekolah! Kalau Ify tidak mau melakukannya untuk Ify, lakukanlah demi
Mama! Mama mohon!" Mama memelas seraya terus menangis. Nafasnya beberapa
kali tersengal.
Maka keegoisan itu luruh seketika.
Jangan! Jerit Ify dalam hati. Jangan sampai memelas seperti itu! Karena
sudah sepatutnyalah ia melakukan segala apa pun yang diminta Mama.
Sungguh! Ify tidak akan menolak. Ify tidak ingin menjadi anak durhaka.
"Iya Ma! Ify tidak akan sekolah. Tapi..." Ify tersengal. "Tapi PR Ify bagaimana?"
"Biar.
Biar Mama yang ke sekolah buat kasih PR Ify ke Ibu guru galak itu."
ujar Mama. Mencoba tersenyum di antara derai air mata.
Ify
ikut tersenyum. Mengeluarkan buku PRnya. Menyerahkannya pada Mama. Lalu
mengikuti perintah sang Mama untuk kembali beristirahat di kamar.
Tenang saja! Ify tidak akan sendirian di sana. Ada boneka dinosaurus
kesayangannya yang selalu setia bertengger di samping bantalnya. Juga
pastilah Ify tahu, bahwa si pemberi boneka itu pun tak akan pernah
meninggalkannya. Di mana pun sekarang ia berada, hati beserta isinya ada
dalam tiap nafas yang terhela. Walau si empunya hati, kini tengah
kesulitan menjaga. Semua mudah. Semua mudah karenanya. Selalu itu yang
menjadi pedoman langkahnya.
***
Rio
menghapus buliran keringat di pelipisnya. Ratusan kali sudah ia memanjat
gerbang yang menjulang itu, tapi masih saja berhasil menguras
tenaganya. Sial! Nanti-nanti kalau ia terlambat lagi, ia akan membawa
tangga. Supaya gampang melewati gerbangnya.
Rio menoleh ke
kanan-kirinya. Yes! Tak ada satpam gendut itu. Bagi Rio, satpam gendut
itu lebih menyeramkan dari guru yang mengajar di jam pertama. Gurunya
paling memberikan hukuman membersihkan toilet. Atau hanya sekedar
menegur bahkan. Berbeda dengan satpam gendut itu. Dia tak segan menyuruh
siapa saja yang ketahuan terlambat push up lima puluh kali, lari
keliling lapangan upacara sepuluh kali, dan memijit kakinya. Ha? Hukuman
macam apa itu? Memijit? Apa Rio terlihat seperti tukang pijit? Ck.
Sepanjang
sejarah terlambatnya, baru sekali Rio tertangkap basah oleh satpam
gendut itu. Dan Rio bertekad, cukup satu kali saja. Tidak pernah
terulang lagi sepanjang hidupnya. Rio tidak mau memijit kaki satpam
gendut itu. Jarinya bau terasi.
Rio sampai pada rintangan
berikutnya. Ruang guru. Seribu kali sial. Kenapa coba kelasnya harus
berada di ujung? Kan kalau kesiangan seperti ini jadi susah. Rio
merutuk. Bertekad, kalau suatu hari nanti ia menjadi arsitek, ia akan
membangun ruang guru di ujung. Agar ketika anak-cucunya terlambat
datang, tak akan serepot dirinya.
Rio berjalan
mengendap-endap. Meminimalisir derap kakinya. Langkahnya agak dipercepat
ketika melintasi ruang guru yang pintunya setengah terbuka. Lantas
semakin cepat ketika melangkah menuju kelasnya.
Pemuda itu
benar-benar raja telat. Segalanya benar-benar telah dirancang sempurna.
Kakinya gesit berlari. Lalu akan berhenti seketika jika dilihatnya
siapa saja yang membahayakannya. Seperti sekarang. Rio mengerem
langkahnya, saat didapatinya Bu Winda -guru yang mengajar pada jam
pertama di kelasnya- tengah berbincang bersama seorang wanita yang
seumuran dengan Maminya di depan kelas. Wajah wanita itu seperti tak
asing di matanya. Seperti pernah dijumpainya di tempat lain. Tapi siapa?
Rio mengerenyit, penasaran. Tanpa sadar melangkah menghampiri mereka.
Hendak mencuri dengar. Lupa bahwa seharusnya ia menyelinap masuk kelas.
Bukan malah bergabung untuk mengetahui obrolan Bu Winda dan wanita itu.
Ah, Rio terlalu penasaran.
"Sekali lagi terimakasih ya Bu!
Saya permisi dulu!" wanita itu agak membungkuk, memberi hormat. Lantas
melengos meninggalkan Bu Winda. Sekilas nampak tersenyum ketika
berpapasan dengan Rio.
"Dia siapa Bu?" tanya Rio.
"Mamanya Ify." jawab Bu Winda.
Rio berkata Oh pelan. Mengangguk. "Mau apa kesini?"
"Nganterin buku PR Ify." Bu Winda menunjukkan beberapa buku yang ada di tangannya. "Ify sakit. Seminggu ke depan, dia ga masuk."
Rio terperanjat. Sakit? Ify sakit? Tapi bukankah kemarin gadis itu baik-baik saja? Malah riang bermain bola dengannya.
Ada
rasa sakit yang menggerogoti hatinya. Menguliti tiap jengkal permukaan
organ vital itu. Ketika mengetahui bahwa Ify cantik-nya sakit. Gadis
polos itu. Gadis yang tiba-tiba datang dan mencuri sekeping hatinya.
Hingga ia merasa perlu merebut kembali kepingan itu. Karena kalau tidak,
kepingan hati yang masih bertahan pada tempatnya akan lekas membusuk.
Pincang tanpa keping pelengkap.
Sekarang, gadis pencuri
kepingan itu sedang sakit. Demam hingga butuh dikompres semalaman. Flu
hingga tidak boleh makan eskrim. Bagaimanalah hatinya tidak turut sakit?
Karena mencintai adalah tentang kepedulian. Satu sakit, sakitlah semua.
"Rio."
Bu Winda menyentak lamunan Rio. "Kamu terlambat lagi?" tanya Bu Winda
yang sebenarnya tidak membutuhkan jawaban. Toh, Bu Winda sudah tahu apa
nanti jawabannya. Beliau sudah terlalu hafal. Hampir bosan memarahi Rio.
Hampir buntu akalnya berfikir tentang bagaimana agar kebiasaan super
jelek Rio itu enyah.
"Hehe..." Rio nyengir. Rio kira, Bu Winda lupa. Menggaruk tengkuknya.
Bu
Winda berdecak. Poin kesekian untuk tebakan yang tak pernah sedikit pun
melenceng. "Sudahlah!" Melambaikan tangan. "Hukuman untuk kamu hanya
duduk di tempat Ify selama Ify tidak masuk. Jadi, berdoalah semoga Ify
lekas sembuh. Kamu tidak suka duduk di depan, bukan?" Bu Winda melengos
masuk ke dalam kelas.
Sementara Rio masih belum bergerak
dari tempatnya. Tertegun. Bukan karena memikirkan hukuman dari Bu Winda.
Masa bodoh ia mau duduk dimana. Duduk lebih depan dari meja guru pun ia
siap. Tapi ini tentang Ify. Berdoalah semoga Ify lekas sembuh. Kalimat
itu terdengar menyayat. Tapi mengapa? Tentu saja ia akan berdoa untuk
segala kebaikan Ify cantik-nya. Bukan karena Rio tak ingin duduk di
garda depan. Tapi memang itu sudah menjadi kewajibannya. Ia menciptakan
fatwa untuk dirinya sendiri. Dan dari seutas kalimat itulah, Rio
diberitahu bahwa Ify bukan sakit biasa. Bukan demam atau flu seperti
tebakannya. Seperti sebuah teka-teki silang. Beruntun semua jawaban
diketahui. Ya, Rio akan segera diberitahu.
Rio melangkah
masuk ke dalam kelas. Tak ada satu pun yang menyorakinya. Coba saja
bukan Rio yang terlambat, sudah habis diberondong sorakan. Ah, mereka
bosan menyoraki orang yang sama setiap pagi. Rio, raja telat seantero
sekolah mereka.
Rio lantas duduk di kursi kosong yang ada
di samping Gabriel. Biasanya di kursi itu duduk Ify cantik-nya. Selalu
menyapa hangat kedatangannya. Ceria melambaikan tangan. Tapi sekarang,
gadis itu tak ada. Sakit. Rio mendesah berat. Melepas ranselnya.
"Eh..."
Gabriel terkesiap. Mengalihkan perhatian dari buku paket matematikanya.
Mendapati siapa yang baru saja lancang duduk di sampingnya. Rio.
"Ini
tempat duduk Ify. Ngapain lo duduk disini?" sengit Gabriel bertanya.
Rahangnya tiba-tiba mengeras. Semuanya sensitif kalau sudah menyangkut
Ify. Bahkan hal sesepele tempat duduk pun, tak akan malas untuk
dipermasalahkan.
Rio memutar bola mata. Tolong jangan
berlebihan seperti itu! Ini hanya soal tempat duduk. Lagipula, dulu
tempat itu adalah tempatnya. Gabriel sendiri yang memaksanya untuk duduk
di sana. Meski berulang kali ia berkata, bahwa ia tidak suka duduk di
baris paling depan. Tidak bisa tidur ketika guru menerangkan. Tidak bisa
mencontek saat ulangan. Ia memberikan ultimatum lewat decakan
samarnya. Walau ia pun sadar, ia akan melakukan hal yang lebih dari
kategori berlebihan untuk Ify cantik-nya. Rio mengeluarkan perkakas
belajarnya.
"Yo!" Gabriel berkata agak keras. Gerah juga dengan sikap Rio yang terkesan mengacuhkannya.
Rio mengerjap. Memandang Gabriel sebal. Tak usah bicara terlalu keras kenapa? Dia tidak tuli. "Ify sakit. Gue telat lagi."
Gabriel
mengerenyit mendengar jawaban Rio. Ify sakit? Apa mungkin karena
kemarin Ify bermain terlalu semangat? Tapi, bukankah setiap hari gadis
itu selalu bersemangat. Gabriel terkesiap. Mengesampingkan sejenak
kekhawatirannya akan kondisi Ify. Ia bertanya kembali. Jawaban Rio
kurang jelas. Memangnya, apa hubungannya Ify sakit dan Rio telat? Rio
kan memang raja telat. Jauh sebelum Ify datang merubah tiap kedip mata
mereka yang terasa sangat berharga.
"Apa?"
Rio
lagi-lagi berdecak samar. Ia menghela nafas panjang. Menghembusnya
perlahan. "Ify sakit, dan dia ga bisa masuk. Terus, gue telat.
Hukumannya gue disuruh duduk di sini sama lo. Please ya Yel! Udah
ngerti? Lo kan jenius. Lo juara kelas tiap semester. Semester lalu
bahkan lo jadi juara umum. Terus lo juga pernah ikut olimpiade. Jadi
juara ke berapa waktu itu? Dua ya? Ah, lumayan! Lo juga..."
Gabriel
memejamkan mata. Membiarkan celotehan Rio menguap di udara. Sana bicara
sampai berbusa! Ia tidak peduli. Kalimat di awal celotehan yang entah
kapan ujungnya itu sudah cukup membuat keningnya tak lagi terlipat.
Tentu saja. Otak Gabriel terlalu encer. Dia pemuda yang jenius. Tapi
kini, apa gunanya kejeniusan itu, kalau menjaga gadis yang dicintainya
saja ia tidak bisa. Ify sakit karena bermain dengannya. Ya, pasti karena
itu. Padahal kemarin, ia sendiri yang mendeklamasikan ikrar itu. Akan
selalu menjaga Ify. Bagaimana ini? Ify bahkan menyanggah ikrar itu.
Berkata bahwa akan lebih baik menjaga hatinya terlebih dulu! Lihat! Ify
ternyata sudah tahu bahwa Gabriel tidak akan mampu menunaikan ikrar itu.
Karena menjaga hatinya sendiri saja, Gabriel tidak bisa. Lantas
bagaimana ia akan menjaga Ify? Maaf! Ia tidak bermaksud mengingkarinya.
Langit, beri ia kesempatan yang lain!
"...Lomba murid
berprestasi. Ah, elo emang pintar Yel! Elo kayaknya cicitnya Eyang
Albert Einstein." Rio masih berceloteh. Mumpung Bu Winda belum mulai
memberikan materi. Berkutat dengan kertas-kertas entah apalah di
mejanya. Lalu baru berhenti ketika ekor matanya tak sengaja menangkap
kursi kosong di belakang Gabriel. Kemana penghuninya? Tapi tas selempang
merah mudanya masih ada. Rio menyikut Gabriel. Hendak bertanya.
Gabriel
tak menggubris sikutan Rio. Sibuk dengan rutukan atas dirinya yang
sangat pengecut itu. Kedua matanya terpejam. Seperti sedang melakukan
semedi.
Dasar curang! Saat Gabriel bertanya, Rio wajib
menjawab. Giliran Rio yang bertanya, terserah Gabriel mau menjawab atau
tidak. Orang jenius itu ternyata menyebalkan.
Maka Rio memutuskan untuk bertanya pada Angel, gadis yang duduk di samping Oik.
Rio
langsung diam. Tergugu. Mematung menatap papan tulis. Mencelos
mendengar keterangan dari Angel. Oik pingsan. Gadis yang pernah
menguasai seluruh hatinya itu tengah terbaring lemah di UKS. Padahal,
tadi dia baik-baik saja. Masih sempat menempelkan kertas pengumuman di
papan mading bersama Patton, sepupunya. Rio menggigit bibir bagian
bawahnya. Dua gadis penting dalam hidupnya tengah menderita. Ify dan
Oik. Tuhan, kalau diizinkan ia untuk meminta, bolehkah penderitaan kedua
gadis itu dialih bebankan saja padanya. Sungguh, ia ikhlas.
Karena
cinta, adalah tentang keikhlasan. Rio telah terlebih dahulu diberitahu
tentang hal itu. Sedang Gabriel, ia masih menapaki jalan untuk mencari
tahu.
***
Rio meninggalkan teman-temannya
yang sedang berlatih sepakbola di lapangan. Persiapan untuk pertandingan
persahabatan yang akan digelar minggu depan. Rio bilang, ia tak akan
lama. Hanya ke toilet saja.
Tapi langkah kakinya tidak
seiring dengan ucapannya. Alibi itu hanya untuk menghindari pertanyaan
teman-temannya yang selalu ingin tahu urusan orang lain. Kalau sampai
tidak tahu, ujung-ujungnya pasti sok tahu. Menyebalkan. Rio berjalan
menuju UKS. Hendak menemui mantan gadisnya. Semoga ia sudah tidak
apa-apa. Baik-baik saja.
Pintu yang dicat putih itu
menjeblak terbuka. Rio mendorong kenopnya persis bersamaan dengan
tarikan seseorang dari dalam. Rio agak terhenyak ketika melihat siluet
yang menyembul dari balik pintu. Lalu tersenyum kala siluet itu menyapa
hangat dirinya. Patton. Ah, dia memang pemuda paling hangat seluruh
dunia.
"Oik ada di dalam, belum siuman." ujar Patton.
Seakan tahu apa tujuan Rio menyambangi ruangan itu. "Gue lapar, mau cari
makan. Daaa." Patton melengos melewati Rio. Melambaikan tangan dan
menghilang di ujung lorong.
Rio lalu melanjutkan
langkahnya yang sempat terhenti akibat pertemuan singkat tapi hangatnya
dengan Patton. Aroma obat-obatan langsung menyeruak masuk ke dalam
lubang hidungnya. Membuat kepalanya agak sedikit pening. Sumpah! Rio
benci tempat ini. Rio benci UKS. Rio benci rumah sakit. Rio benci tempat
kerja Maminya. Intinya, Rio benci semua tempat yang menyambutnya dengan
aroma menyengat obat-obat.
Kalau bukan karena
kekhawatirannya pada Oik, ia tabu untuk datang ke tempat itu sekarang.
Rio merutuk dalam hati. Demi gadis imut itu, Rio rela bertahan dengan
kepala seperti dihantam godam raksasa. Pusing.
Pening,
pusing serta kawan-kawannya itu tiba-tiba hilang dari kepala Rio,
tatkala ia mendapati seorang gadis imut terkulai di atas ranjang yang
sekarang hanya sepelemparan batu saja darinya. Gadis itu tenggelam dalam
hela nafas teratur. Berbalut selimut putih garis-garis hitam.
Lamat-lamat, Rio semakin mendekat. Lalu ketika telah mampu, tangannya
terulur untuk menyentuh wajah manis itu. Wajah yang sangat cantik ketika
kesadaran tak merajai raganya. Karena seseorang akan terlihat sangat
cantik, ketika ia tertidur. Karena pada saat itu, tidak ada kepalsuan
yang berpendar. Semua yang terlihat adalah bentuk kejujuran. Tiada
secuil pun kemunafikan.
Dalam senyap, Rio mengagumi
kecantikan itu. Masih sama seperti dulu. Tak banyak berubah. Andai saja,
rasa untuk gadis itu juga tak berubah. Tetap semagis dulu. Sayang.
Walaupun hati itu berada dalam tubuhnya, semuanya di luar kuasanya.
Bukan ia yang meminta hatinya untuk merubah perasaan itu. Karena jika ia
bisa, ia ingin mencintai gadis itu sampai waktu yang tak ada ujungnya.
Rio
menggunakan telunjuknya untuk menyusuri tiap permukaan wajah gadis itu.
Dari kening, hidung, hingga bibir mungil itu. Rio berhenti di sana, di
antara kedua bibir sang gadis. Pernah ketika dulu gadis itu masih berhak
untuknya, ia hendak merasakan bagaimana manisnya bibir mungil itu. Tapi
segera ia musnahkan keinginan itu. Ia belum sepenuhnya berhak atas
gadis itu. Dan mungkin, ia takkan pernah lagi berhak. Maka, tak bolehlah
Rio berangan-angan merasakan bibir mungil itu. Tidak boleh untuk
selamanya. Bahkan berkhayal pun, tetap tidak boleh.
Telunjuk
itu kemudian tergesa diangkat oleh pemiliknya, kala bibir mungil yang
sebelumnya ditapaki tiba-tiba bergerak. Tanda bahwa kesadaran telah
kembali usai jauh berkelana. Sejurus kemudian, sepasang mata itu
menyusul. Awalnya mengerjap. Cahaya berpilin menyilaukan. Namun
lamat-lamat sempurna membelalak.
"Oik? Lo udah sadar? Syukurlah!" Rio mengusap lembut rambut gadis bernama Oik itu. Senyum mengembang dari bibirnya.
Oik
mengerjap. Baru menyadari, ada siluet lain yang menghuni ruangan itu
selain dirinya. Lebih tepatnya menunggu kesadarannya. Oik meringis.
Bercicit pelan. "Rio... Kenapa lo ada di sini?"
"Gue akan selalu ada buat lo, sebelum lo dapat orang lain yang juga akan selalu ada buat lo."
Apa?
Oik mengepal tangannya kuat-kuat. Satu fakta mengejutkan baru saja ia
dapatkan. Bahwa selama ia belum menemukan tambatan hati yang baru, Rio
tak kan angkat tangan. Selalu merasa bahwa dirinya masih berada dalam
tanggung jawab pemuda itu. Sungguh. Bukan ini yang ia mau. Ia tak mau
menjadi beban untuk orang lain. Apalagi untuk Rio, pemuda yang pernah
dicintai dan mencintainya. Kalau boleh ia meminta, ia ingin dicintai dan
mencintai Rio lagi. Lagi. Lagi. Dan lagi.
Tapi kali ini
sungguh berbeda. Rio sendiri yang mengatakan pada Oik, bahwa ia telah
menemukan gadis yang akan ia limpahi kasih sayang. Lalu kenapa Rio masih
begitu peduli padanya? Kalau begitu, bolehkah gadis itu meminta agar ia
segera dipertemukan dengan pemuda yang akan ia kucuri sejuta perhatian?
Karena dengan itu Rio akan fokus pada gadisnya saja. Tidak ada
embel-embel dirinya. Karena Oik takkan pernah tega menjadi benalu di
antara mereka. Apalagi setelah ia tahu siapa gadis itu. Ify. Oik sadar,
kalau selama ini ia sering menganiaya batin Ify. Walau gadis polos itu
tak pernah sedikit pun menyadari. Ia selalu berprasangka baik pada semua
orang.
Dan oleh sebab itu, untuk menebus segala
kekhilafannya, Oik akan melakukan apa saja demi agar Ify bahagia.
Bersama siapa pun gadis itu nantinya. Masa bodoh dengan Sivia. Oik kini
tidak peduli pada gadis plester tak tahu balas budi itu. Tak tahukah
pengorbanan Oik selama tiga tahun yang dilakukan hanya teruntuk dirinya?
Orang yang Oik anggap sebagai sahabatnya. Mana seonggok kata
terimakasih yang sepantasnya Oik terima? Tidak ada. Bahkan mengenalinya
saja, gadis itu tidak.
Pamrih bukan sifatnya. Hanya saja,
Oik tidak terima. Bukan seperti ini yang ia harapkan. Harusnya, Sivia
sembuh, lantas pulang, lalu kembali pada Gabriel. Dan semuanya selesai.
Maka semuanya terhenti pada kata seharusnya. Sivia memang sembuh. Ia
juga telah pulang. Tapi entah ia harus kembali pada siapa. Ia pun tak
tahu.
Lalu apakah Gabriel sudah tahu tentang keberadaan
Sivia di sekolah mereka? Ah, cepat atau lambat, Gabriel pasti akan tahu.
Mereka berada di lingkungan yang sama. Tapi sebelum semua itu terjadi,
Oik harus bergerak cepat. Menjadi orang pertama yang memberikan
informasi penting itu pada Gabriel. Jangan sampai ia tahu lebih dulu.
Atau lebih parah lagi, ia sampai bertemu. Jangan! Akan terlalu
mengejutkan. Pemuda itu harus mempersiapkan segalanya. Fisik, mental
serta yang paling penting adalah hatinya. Karena sekali ia lengah
menjaga hatinya, maka dipastikan ada seseorang yang sangat amat terluka.
Ify orangnya. Dan Oik tidak mau itu terjadi. Sejak hari ini, ia
berjanji bahwa ia berada di pihak Ify. Orang pertama yang akan membela
mati-matian apa yang menjadi hak gadis itu. Semata-mata, untuk melunasi
segala kesalahannya.
"Gabriel dimana Yo?"
"Eh... Hah? Di lapangan. Lagi latihan sepakbola." ujar Rio sedikit terbata.
Oik
menendang selimut yang sebelumnya menghangatkan tubuhnya. Membuat sang
selimut bergulung di ujung ranjang. Lantas, gadis berambut sebahu itu
melompat dari ranjang. Hampir saja terjatuh karena topangan kakinya
tidak terlalu kuat. Namun bisa terelakan dengan gerakan tangan Rio yang
sigap menahan tubuh Oik yang oleng.
"Lo mau kemana Ik? Lo masih lemes. Nanti kalau pingsan lagi gimana?" Rio cemas bertanya.
"Gue harus ketemu Gabriel." Oik menepis tangan Rio dari pinggangnya. Mencoba melangkah, tanpa bantuan siapa pun.
Gagal.
Lagi-lagi, Oik hampir terjengkang. Tulang-tulang kakinya seperti
berubah menjadi tahu. Lembek. Tak kuasa menopang tubuhnya. Dan
lagi-lagi, Rio berhasil menahan tubuh Oik dari belakang. Lalu pada
posisi itulah, masing-masing pelihat mereka bertemu. Jaraknya hanya
sehembusan angin. Sangat dekat. Hingga Rio jelas mendapati bibir mungil
itu menggodanya. Minta dilumat.
Oik merasakan pipinya
memanas, kala hela nafas Rio menyapu lembut setiap inci permukaan
wajahnya. Bibirnya gemetar berkata. "R-Rio..." pelan. Terkesan seperti
sebuah keluhan. Ya, Oik tidak suka dipandangi dengan tatapan setajam
itu. Oik risih ketika wajah tampan Rio terlalu dekat dengan wajahnya.
Pemuda
itu akhirnya terkesiap. Mengucapkan kata maaf dengan suara tak kalah
pelan. Maaf karena ia hampir saja berniat menodai gadis itu. Dan maaf
kalau sampai itu terjadi, akan ada gadis lain yang ia kecewakan. Walau
ternyata, gadis itu tak seberapa peduli terhadapnya. Dia hanya
menganggap dirinya Rio kece. Harusnya, Rio tahu akan hal itu.
"Gue
bantu ya!" Rio mengangkat tubuh Oik. Membawa gadis itu ke lapangan
untuk bertemu Gabriel. Seperti apa yang diinginkannya. Rio tidak mau di
tengah jalan tiba-tiba Oik jatuh tersungkur. Atau kembali pingsan
mungkin. Oik belum cukup kuat berjalan sendirian.
Tak ada
penolakan dari Oik. Sempat beberapa saat terhenyak, namun tidak
membuatnya lantas berontak. Malah sejurus berikutnya, gadis itu
melingkarkan kedua tangannya pada leher Rio. Berpegangan. Sekali lagi,
kalau ia boleh meminta, ia ingin mencintai dan dicintai Rio selamanya.
***
Kalau
saja ia lebih cepat sedikit, mungkin apa yang ditakutkannya takkan
terjadi. Tapi, mau bilang apa? Kalau sudah ditakdirkan seperti itu,
siapa yang bisa mencegah? Bahkan menunda satu kedipan mata pun, tak akan
pernah bisa. Maka yang terjadi, biarkanlah!
Gabriel
menendang bola terlalu keras. Melenceng jauh ke luar lapangan. Sejak
latihan dimulai, ia memang kurang fokus. Teringat selalu pada Ify yang
sakit. Cemas. Pulang sekolah nanti, ia berniat hendak menengok Ify.
Sekalian mengembalikan buku PR Ify yang Bu Winda titipkan padanya. Juga,
meminjamkan catatan-catatannya agar bisa disalin Ify. Ia memang begitu
peduli pada Ify. Bahkan hal sesepele PR sekali pun.
“Maaf
maaf! Gue ambil dulu ya bolanya!” ia menyeringai. Untuk kesekian kali
memohon maaf atas ketidakfokusannya pada rekan satu timnya. Coba saja
kalau ia bukan kapten tim, ia pasti akan alfa dari latihan. Pemuda itu
berlari ke depan gedung aula. Entah mengapa, bolanya jauh bergulir ke
sana.
Dan disanalah Gabriel diberitahu, bahwa sepotong
masa lalunya telah benar-benar melupakannya –meskipun kenyataannya
tidak-. Karena itu bisa jadi pertanda, bahwa ia diminta untuk melepaskan
masa lalu yang selama ini digenggamnya begitu saja. Biarkan tertinggal
di belakang, untuk suatu saat dikenang. Karena pada hakikatnya, masa
lalu memang hanya untuk diingat, bukan digenggam erat-erat.
Bola
itu tepat berhenti bergulir di ujung sepatu pantopel hitam seorang
gadis yang telah dirancang untuk berdiri di sana. Gadis itu menunduk.
Memandangi si kulit bundar itu dengan tatapan aneh. Sama rasanya seperti
ketika ia melihat benda berbau dinosaurus, ia seakan akrab mengenali
benda itu. Karena ternyata, jauh sebelum hari ini, ia pernah begitu
menggilai permainan yang menggunakan bola semagai medianya. Tapi ia
tidak ingat. Sungguh!
Mata Gabriel hanya terfokus pada
satu titik; bola. Karena pada saat bola itu tak lagi bergulir dan
berhenti di ujung sepatu pantopel, pemuda itu belum melihat wajah manis
pemilik sepatu. Ia bahkan sempat berkata, “itu bola gue.”
Gadis
itu mengerjap ketika mendengar seseorang memvonis bahwa bola itu
miliknya. Tanpa melihat wajah tampan si empunya bola, gadis itu senang
hati membungkuk. Meraih sang bola. Rambut panjangnya bergerai menutupi
sebagian wajahnya.
Maka ketika gadis itu kembali berdiri
tegap, menyingkirkan beberapa jumput rambutnya ke belakang, sempurna
menampilkan wajahnya yang manis berbingkai poni menggemaskan, ketika itu
pula Gabriel sempurna mendapati wajah manis itu. Bola coklat yang
disukainya. Caping hidung yang mungil. Bibir berah nan basah. Wajah itu.
Wajah yang dilihatnya kemarin dulu. Gabriel menggeleng samar. Giginya
bergemelut tertahan. Mengapa? Mengapa doanya tidak dikabulkan? Bukankah
ia telah memanjatkan doa semalaman agar tak pernah lagi ia melihat wajah
cantik itu. Bahkan sekarang, wajah itu terlihat tenang dan dewasa kini.
Gurat wajah polos khas anak-anak yang dulu berpendar di sana kini
hampir hilang sepenuhnya. Gabriel merasakan ruang pada paru-parunya
menyempit seketika. Menyulitkannya untuk menghirup udara yang diperlukan
kuota.
Dan gadis itu pun sama. Tubuhnya mengejang
seketika. Pegangannya pada bola melonggar, membuat bola itu dengan mudah
meloloskan diri. Terjatuh ke lantai. Lantas menggelinding entah kemana.
Tenggorokannya seakan tercekik. Menenggelamkan sepenggal kata yang
ingin ia lontarkan. Mengapa? Mengapa jantungnya berdegup amat kencang
saat melihat wajah tampan pemuda yang sama seperti yang ia jumpai dua
hari yang lalu? Codetan bekas luka yang samar terlihat pada kening. Dua
pelihat tajam macam elang. Kulit gelap yang menyurukkan kesan bersahaja.
Rahang kokoh yang kini terlihat seperti membeku. Ia ingat betul wajah
itu. Sudah pernah dilihatnya tempo lalu. Tapi mengapa hatinya berkata
bahwa ia sudah lama mengenal sosok itu? Bukankah ia hanya bertemu sekali
saja? Itu pun tanpa perbincangan apa-apa. Hanya pertemuan sepinta,
karena pemuda itu kabur setelah beberapa menit memandangi wajahnya.
Seperti selepas melihat wajah menyeramkan sang iblis. Padahal
jelas-jelas wajah itu sangat cantik. Secantik bidadari. Apakah sekarang
pemuda itu akan melakukan hal yang persis sama? Karena sampai sejauh
ini, tak ada yang berbeda. Mereka saling menumbuk pandangan di dalam
diam.
Maka gadis itu maju selangkah. Mendekati pemuda itu.
Berharap agar pemuda itu tidak kabur lagi. Jangan takut! Karena gadis
itu sama sekali tak berniat menggigit. Walau sejatinya, hati itu telah
lama merasakan sakit yang lebih menyakitkan dari sekedar digigit.
Tak
pernah ada dua peristiwa yang terjadi persis sama; identik. Maka untuk
pertemuan kedua mereka setelah tiga tahun yang menyiksa itu pun terjadi
secara berbeda. Awalnya memang sama, saling berpandangan beberapa lama.
Namun untuk kali ini, ada kekuatan yang menahan salah satu pelakon untuk
tidak menghindari masa lalu yang dulu malah begitu erat digenggamnya.
Gabriel. Pemuda itu telah mendapatkan kembali suaranya yang sempat
menghilang. Meski ternyata, tak setegas biasanya.
Gabriel
menjulurkan tangannya. Gemetar menggapai wajah bidadari itu. Menyentuh
kelopak matanya. Beralih menjawil pipinya. Gesture itu sungguh
benar-benar sama.
“S-Sivia? Plester di…dinaosaurus?”
patah-patah Gabriel berkata. Ingin rasanya pemuda itu menarik tubuh
gadis plesternya masuk ke dalam rengkuhannya. Bukti, bahwa sekali lagi
ia gagal menjaga hatinya.
Lalu entah dapat bisikan dari
mana, gadis itu bercicit pelan. Terlalu pelan untuk dapat didengar oleh
siapa saja terkecuali ia sendiri. “C-ceroboh....”
Maka
masih pada posisi se’intim’ itu, dua pasang mata memergoki mereka. Oik
dan Rio. Hampir mencelat melihat adegan pada radius beberapa meter dari
mereka berpijak. Oik menepuk pundak Rio. Meminta pemuda itu menurunkan
tubuhnya -Pada saat itu, Oik memang masih digendong Rio-. Mereka berdua
memicingkan mata. Memastikan sekali lagi, bahwa apa yang mereka lihat
adalah keliru. Sayang, sejuta kali mereka memicing, tak ada yang
berubah. Itu mereka. Sepasang anak manusia yang dipertemukan sejak masih
belia, beberapa tahun berpisah, lantas dipertemukan kembali ketika
mereka telah cukup dewasa. Pemuda ceroboh yang tampan, gadis plester
yang cantik. Gabriel dan Sivia. Dua sahabat kental mereka.
Oik
menenggelamkan wajah imutnya dibalik kedua telapak tangan. Mendesah
kentara. Ia terlambat menyelamatkan Gabriel dari keterkejutan yang luar
biasa. Semua salahnya. Ia jatuh tak sadarkan diri lagi.
Darrr!!!
Gabriel
mengerjap. Cepat menarik tangannya kembali. Menggelengkan kepala
beberapa kali. Tidak. Harusnya, ia tidak melakukan itu. Untuk apa?
Karena toh gadis itu pun sepertinya tetap mengenalinya. Gadis itu tak
merespon sentuhan terlembut yang pernah diberikannya pada seorang
wanita. Jadi, apa gunanya? Lebih baik sekarang, ia jaga benar-benar
hatinya. Teguhkan pada satu cinta saja. Jangan tamak akan cinta.
Maka
Gabriel melengos pergi. Tak peduli pada gadis yang kini menatap nanar
punggungnya. Sungguh! Secantik apa pun gadis itu sekarang, takkan pernah
mampu melunasi semua kesakitan dalam rentang tiga tahun yang
menyesakan. Gabriel benci gadis itu. Benci gadis plesternya!
Tertinggal
gadis itu disana. Bergumul dengan segunung pertanyaan yang memenuhi
ruang otaknya. Apa. Apa yang baru saja terjadi? Apa yang diucapkannya
tentang pemuda itu? Ceroboh? Apa maksudnya? Lalu, apa yang dikatakan
pemuda itu? Plester dinosaurus? Apa hubungannya dengan dirinya? Siapa.
Siapa sebenarnya pemuda itu? Lancang sekali menyentuh mata dan menjawil
pipinya. Lalu mengapa. Mengapa tadi ia diam saja ketika diperlakukan
seperti itu? Seakan-akan menikmatinya. Bukan! Karena iai mengetahuinya.
Seperti telah sangat terbiasa dengan sentuhan dan jawilan itu. Menjadi
konsumsi setiap hari-harinya dulu. Hanya saja, ia lupa.
Oleh karenanya, segeralah beritahu mereka!
***
Bersambung