Mulai berhitung. Satu. Dua. Tiga. Hingga tak berhingga.
Satu, untuk sepenggal masa lalu. Dua, untuk penggalan yang lainnya.
Tiga, masih tetap sama. Tak berhingga, masa lalu itu sempurna terbaca.
Akibatnya sudah dapat terkira. Tak berhingga, untuk pemahaman dari apa
itu masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang.
***
Ify melipat kedua tangannya di depan dada. Celingak-celinguk mencari
Rio yang tiba-tiba saja menghilang. Tadi, Ify kalah cepat oleh Rio
ketika
bermain kejar-kejaran. Aduh! Ify sih. Rio dilawan. Dia kan pemain
sepakbola. Jadi larinya pasti kencang. Sedangkan ia sendiri? Baru
berlari sedikit saja nafasnya sudah terengah-engah.
"Rio kece mana sih? Kalau gini, kecenya dianulir ah." ujar Ify
tersengal. Memegangi dadanya. Lantas berlari menyusuri koridor
perpustakaan.
Di ujung koridor, ketika Ify hendak berbelok ke arah kanan, ia tak
sengaja menabrak seorang gadis. Tubuh Ify yang lebih kecil dari gadis
itu tak memungkinkan dirinya untuk menjaga keseimbangan. Ify jatuh
terjengkang ke lantai. Mengaduh memegangi pantatnya yang keras
menghantam lantai.
Gadis itu terhenyak. Refleks hendak menahan Ify -walau terlambat. Ia
menunduk untuk menawarkan bantuan; sebuah uluran tangan. Rambut panjang
gadis itu tergerai indah melewati bahunya.
Ify tanpa segan meraih tangan dengan gestur halus itu. Lalu mulai
berdiri kembali. Walau sakit di pantatnya masih terasa. Berdenyut perih.
"Maaf!" ujar gadis itu dengan rasa bersalah. Menyingkirkan rambut indahnya ke belakang.
Ify tersenyum. "Ga pa-pa kok. Aku yang salah." Ify melambaikan tangannya. "Eh aku permisi ya! Ada hal penting."
Gadis berbando merah muda itu mengangguk. Menyingkir memberi jalan
untuk Ify. Sebelum akhirnya, dengan takzim Ify melintas. Melanjutkan
pencariannya akan Rio.
Gadis itu bergerak selangkah. Tak melanjutkan langkah berikutnya kala
melihat benda berkilau tergeletak di atas ubin berwarna putih. Sang
gadis membungkuk. Mengambil benda itu. Mengangkatnya ke udara.
Mengamatinya dengan saksama.
Itu adalah kalung cantik berwarna perak. Akan berkilau jika terkena
cahaya. Ada sebuah bandul yang memperindah sang kalung. Bandul yang
dibentuk dari huruf yang dicetak bersambung. Menghasilkan sebuah nama.
Sivia.
Gadis itu mengerenyit bingung. Lalu tiba-tiba, bagian kepalanya
terasa sakit. Seperti sedang dipukul martil raksasa. Gadis itu menjambak
rambutnya sendiri. Kenapa? Kenapa kalung itu bertuliskan namanya?
Sivia?
Namun selang beberapa saat, gadis itu terkesiap. Mengesampingkan
sejenak sakit di kepalanya. Ia harus segera mengembalikan kalung itu
pada pemiliknya. Gadis itu berbalik. Mendapati siluet Ify tak berada
jauh darinya. Pasti kalung itu miliknya. Terjatuh ketika tak sengaja
mereka bertabrakan. Gadis itu menghampiri Ify.
"This is yours?" tanya gadis bermata coklat itu seraya menjuntaikan kalung yang dipungutnya.
Sejenak Ify tertegun. Mengamati setiap detail kalung perak itu. Tanpa
mengalihkan tumbukan matanya, ia meraba-raba lehernya. Tak ada apa-apa.
Ify langsung menggapai kalung itu secepat kilat. Menciuminya.
"Tadi aku nemu." terang gadis itu. Merasa perlu memberi penjelasan yang tak pernah diminta Ify.
Ify berulang kali mengucapkan terimakasih. Sungguh, ia harus
membalasnya. Ah tentu saja. Gadis itu telah berbaik hati mengembalikan
kalung berharganya. Jauh nilainya melebihi kalung berlian semilyar
karat.
Kalung itu Ify -tak sengaja temukan terjatuh dari boneka dinosaurus
yang dihadiahkan Gabriel teruntuk dirinya. Kalung perak dengan bandul
bertuliskan nama Sivia. Nama yang juga dijumpainya pada pembatas buku
yang terselip di antara lembaran salah satu buku jumbo milik Gabriel.
Ify berasumsi bahwa Sivia adalah merk dari dua benda tersebut. Walau ia
juga pernah berpikir, bahwa Sivia lebih cocok menjadi nama seorang
gadis. Gadis cantik pastinya.
Belum sempat Ify mengetahui balasan dari segunung ucapan
terimakasihnya, Ify terpaksa pergi. Kala Rio menarik lengannya. Membuat
ia menyingkir dari tempat itu. Menyisakan gadis berbando merah muda itu
sendirian. Kecewa karena semua pertanyaan yang tumpah ruah di benaknya
harus ia telan bulat-bulat. Tentang kalung berbandul. Namanya. Itu pasti
bukan sebuah kesengajaan. Atau...
"Nama dia Sivia juga ya?"
***
Buku serta alat tulis lainnya Gabriel masukkan ke dalam tas.
Melakukannya seraya melirik gadis yang juga melakukan hal yang sama.
Dengan ceria dan kerjapan mata khasnya. Gabriel mendengus tak kentara.
Kenapa Ify nampak begitu bahagia? Seperti ia tak pernah menyakitinya.
Ah, apakah rasa sakit itu telah sembuh? Oleh penawar paling ampuh?
Pemuda itu? Yang bermain bola bersama Ify pada jam istirahat tadi?
Gabriel mungkin salah. Tadinya, ia berpikir bahwa ketika ia tak
menghiraukan kehadiran Ify di sekelilingnya, akan membuat gadis itu
serta merta merasa kecewa. Duduk bertopang dagu. Meratap menyedihkan.
Namun kalau begini jadinya, yang mana Ify malah bersikap sebagaimana ia
setiap harinya, tentulah Gabriel keliru. Dan ini sungguh sangat
sensitif. Keliru sedikit, kacaulah segalanya. Tapi bukankah cinta, dapat
memperbaiki kekeliruan? Seperti ia benar-benar cinta. Terkecuali memang
ternyata tidak. Hanya tempatnya melarikan diri dari cegatan masa lalu.
Namun lagi-lagi, bukankah sesungguhnya cinta tempat mereka kembali?
Berkeluh kesah setelah bergelut dengan ketidakmengertian hidup.
Oleh karenanya, Gabriel bersegera merubah taktiknya. Ia akan
sebenar-benarnya menjaga gadis itu agar tetap berada dalam gapaiannya.
Karena ia tak mau masa kelamnya itu terulang kembali. Semuanya hanya
boleh terjadi satu kali. Tidak lagi.
"Pulang bareng gue!" ujar Gabriel dengan suara yang berat. Sekilas terkesan seperti sebuah perintah yang dibumbui paksaan.
Ify mengerenyit. Menatap Gabriel yang kini bergerak mengitari
mejanya. Berjalan tak acuh menuju pintu keluar. Gabriel itu bagaimana?
Jadi tidak mereka pulang bersama? Kenapa ia malah ditinggal? Sekarang,
siapa yang aneh coba? Gabriel atau dirinya? Ify menggapai udara dengan
kedua tangannya. Menggenggamnya hingga remuk.
Ternyata, apa yang dilakukan Ify disaksikan semuanya oleh Gabriel.
Pemuda itu belum benar-benar keluar kelas. Ia di sana. Berdiri mengamati
Ify, tepat di ambang pintu.
"Lo ga suka pulang sama gue?" tanya Gabriel. Sedikit mengasihani
ekspresi aneh yang ditampakan Ify. "Ah tapi terserah. Pokoknya, suka
atau ga, lo harus pulang sama gue." Gabriel menebalkan rasa egoisnya.
Berjanji, hanya untuk kali ini. Walau janji itu akan selalu ia ingkari,
setiap ia terancam tak bisa mengasihi dalam sepi. "Gue milik lo. Dan
seharusnya, elo milik gue juga." Gabriel melengos melewati pintu.
Ada perasaan haru ketika Ify mendengar kalimat terakhir yang
diucapkan Gabriel dengan nada berharap. Walau sesungguhnya, pemuda itu
ternyata setengah mati menyembunyikannya. Tak mau terlihat sebagai
pengemis rasa. Dhuafa akan balasan cinta. Ify tak lagi peduli dengan
sikap bunglon Gabriel yang memusingkan. Ada sesuatu yang tersimpan di
balik kebunglonan pemuda itu. Mungkin akan berdaya mengindahkan. Atau
malah berpotensi menghancurkan. Entah apa.
"Gabrieeeeel." Ify menjerit dan mencelat dari kursinya. Cepat
mengejar Gabriel yang telah cukup jauh meninggalkan Ify. Lalu berjalan
mengekorinya. Ify berjalan seraya menundukkan kepala. Hanya lantai dan
ujung sepatunya yang terlihat. Satu-satunya metode yang ia gunakan agar
tidak kehilangan jejak Gabriel adalah dengan mendengar tapak kaki selain
miliknya. Ify seperti tengah membiasakan diri. Mungkin nanti,
seterusnya ia akan seperti itu. Hanya mendengar dan merasakan. Ya,
karena penyakit itu sama sekali tidak mengganggu fungsi telinga dan
hatinya.
Di tengah lorong laboratorium, dengan gerakan tak terbaca, Gabriel
menghentikan langkahnya secara tiba-tiba, membuat Ify yang tak fokus
pada objek di depannya menabrak punggung kokoh Gabriel. Hidung
mancungnya tertekan. Langsung menimbulkan semburat merah pada capingnya.
"Gabriel labil. Tadi jalannya cepat. Sekarang tiba-tiba berhenti.
Mana ga izin dulu pula. Harusnya, kasih kode gitu. Biar gaul." Ify
mengomel. Telunjuknya melayang di udara. Persis ibu-ibu yang tengah
memarahi putranya karena jajan sembarangan. Ify terus merutuk. Walau
objek rutukannya berposisi memunggunginya.
Maka ketika si pemilik punggung berbalik, nyalang menatap Ify, gadis
itu berhenti mengoceh. Membungkam segala rentetan celotehan polosnya.
Ify mengkerut. Ngeri melihat alis tebal Gabriel yang hampir sempurna
membentuk garis horizontal.
Samar Gabriel berdecak. Lagi-lagi ia menakut-nakuti Ify. Tak bisakah
ia bersikap manis seperti seekor kucing. Dan lucu seperti seekor
kelinci. Mengapa ia selalu menyeramkan seperti dinosaurus?
Rio. Lagi-lagi ia mengingat nama pemuda dengan bakat menyenangkan
itu. Rio. Mana pernah Ify berkicau panjang lebar karena dibuat kesal
oleh Rio? Bahkan ketika Rio malas mengerjakan PR, mencontek saat
ulangan, dan selalu datang kesiangan. Ify hanya menggelengkan kepala dan
tersenyum. Seperti semua yang dilakukan Rio adalah sebuah lawakan.
Lelucon yang menyenangkan. Rio selalu berhasil melukis seberkas senyum
pada wajah manis Ify. Perkenalan mereka berlalu dengan mengesankan. Ify
cantik. Rio kece. Mereka punya panggilan khusus satu sama lain.
Romantis. Tak hanya itu. Gelak tawa pun, Rio bisa ciptakan untuk Ify.
Hanya dengan gocekan bola seadanya. Ah, pemuda itu memang hebat.
Sifatnya yang hangat dan menyenangkan yang ditujukannya pada semua
orang. Termasuk Ify yang juga berkepribadian menyenangkan. Tidak seperti
dirinya. Bunglon. Jadi, sekarang siapa yang aneh?
Harusnya, Gabriel pun bisa seperti Rio. Melakukan apa pun demi agar
Ify bahagia. Bukankah ia tak sekedar dapat membuat Ify tersenyum dan
tertawa? Beragam respon disuguhkan Ify karenanya. Celotehan. Rutukan.
Kuluman bibir. Sampai kepada luapan emosi yang paling tinggi. Menangis.
Bukankah ketika kita teramat senang, teramat marah, teramat sedih, dan
teramat takut, kita akan menangis? Semua terlalu lengkap. Apalagi yang
kurang?
Maaf. Untuk kali ini, mungkin Gabriel akan egois. Ia hanya ingin Ify
tersenyum untuk dan karenanya. Bukan orang lain yang menjadi penerima
dan penyebabnya. Sungguh. Ia tak peduli dengan gadis lain yang ternyata
bukan hanya tersenyum untuk dan karenanya. Tapi juga bertahan hidup
untuk dan karena cintanya. Walau kini sang cinta, entah siapa yang
menjadi pengukir utamanya.
Juga tentang sepakbola. Rio tentu kalah jauh darinya. Gabriel adalah
kapten tim. Pemain andalan sekolah. Mendapat keistimewaan untuk
mengenakan kaus dengan nomor punggung keramat; sepuluh. Juga julukan
arjuna lapangan. Pemilik tendangan cakaran macan. Masih belum mengakui
bahwa ia tak kekurangan sesuatu apa pun?
Sederhana. Ia hanya perlu belajar bersyukur dan berendah hati. Maka segalanya, akan terasa berkecukupan.
Omong-omong tentang sepak bola, Gabriel jadi punya ide. Ia
mengangguk. Tentu saja berhubungan dengan gadis yang tak beranjak
sesenti pun dari hadapannya. Setia dengan apa pun yang akan diperbuat
Gabriel. Bahkan di tengah lorong sesunyi itu sekalipun.
"Ehm..." Gabriel berdeham. Berlaga membersihkan tenggorokkan.
Ify terkesiap. Tingginya yang hanya sebahu mengharuskan kepalanya sedikit mendongak, agar dapat menatap mata si pembicara.
Gabriel melanjutkan. Tak menghiraukan wajah penasaran yang mengarah
tepat pada wajahnya. Ia memandang lurus ke depan. "Tadi gue lihat lo
lagi main bola sama Rio. Senang ya?" Sentuhan berikutnya terkesan
sebagai sebuah prolog. Basa-basi. Mengulur waktu.
"Senang." jawab Ify cepat. Mengerjapkan matanya lucu. Lantas
menambahkan lagi kalimat yang lain kala melihat perubahan air muka
Gabriel menjadi masam. Seperti tidak suka. Jelas. Gabriel tidak suka Ify
merasa bahagia karena Rio. Yang harus dan boleh membahagiakan Ify,
hanyalah dirinya. Hanyalah seorang Gabriel Stevent. Yang lain tidak
berhak. Fatwa sekaligus dakwanya sendiri.
"Tapi Ify akan lebih senang kalau Gabriel yang ajak Ify main bola.
Senangnya juga panjang. Gini nih. Senaaaaaaaanggg!" Ify merentangkan
tangannya.
"Sip! Yuk!" kata Gabriel tanpa embel-embel yang lain. Menyeret Ify
menuju parkiran. Membuat gadis itu lagi-lagi harus membuntuti langkah
kecepatan turbo yang dilakukan Gabriel.
"Eh... Mau kemana? Aduh Gabriel. Ya ampun! Ish!" sebentar Ify
mengoceh. Setelahnya ia lebih banyak diam. Walau kadang, celetukan
polosnya masih tetap menimbulkan ekspresi beragam dari Gabriel. Lipatan
kening. Kerjapan aneh. Gelengan tak mengerti. Decakan samar. Dan masih
banyak lagi. Untuk kesekian kalinya, dimana letak kekurangannya?
Harusnya, Gabriel dapat menangkap segala kode yang diisyaratkan Ify.
Pada siapa gadis itu tak pernah membantah. Masih ingat ketika Ify
disuruh membaca buku jumbo tentang dinosaurus? Tak ada penolakan. Lalu
tentang gerakan seribu plester dinosaurus. Kepada siapa Ify mengajak
untuk ikut andil dalam kegiatan besarnya? Kalau Gabriel menggunakan
hatinya, semua akan terlihat kentara. Bahwa Ify ikhlas ketika Gabriel
menuntut sesuatu darinya. Dan ketika ia menuntut balik pada Gabriel, itu
bukan berarti Ify pamrih. Semata-mata karena Ify ingin Gabriel
menorehkan jejak dalam setiap apa yang dilakukannya. Agar suatu saat
nanti, ketika Ify 'sendiri', ia bisa mengenangnya. Bercerita pada dunia
baru, tentang masa lalu.
***
Di sana mereka sekarang. Sebuah tempat di pinggiran kota yang kadang
selalu luput dari perhatian. Hanya beberapa orang saja yang sudi
menjejakan kaki di tanah lembek yang menjijikan itu. Termasuk mereka.
Gabriel dan Ify.
Ada sebuah lapangan sepakbola dengan beberapa bagian yang tergenang
air bekas hujan kemarin. Tiga sisi lapangan, di kelilingi oleh pemukiman
kumuh para penduduk. Bersesak-sesak berbagi tempat. Di satu sisi lain
ada sepetak tanah yang tak terurus. Tanaman-tanaman liar tumbuh di sana.
Bergoyang diterpa angin. Beberapa anak tampak sedang berkejaran di
sana. Riang meniup gelembung yang terbuat dari air sabun.
Gabriel tentu tidak gegabah membawa Ify ke tempat seperti itu.
Berbagai pertimbangan telah dipikirkan hingga matang. Ia merubah rencana
semula. Mengajak Ify bermain sepakbola di lapangan kompleknya saja.
Namun sepertinya, itu akan menjadi hal yang biasa. Gadis sehebat Ify
harus mendapatkan sesuatu yang luar biasa. Maka Gabriel berbelok arah.
Membawa Ify ke sana. Lapangan pinggir kota. Satu-satunya tempat bermain
anak-anak sekitar. Dan juga, di sana mereka tidak akan bermain berdua
saja. Anak-anak yang beberapa telah mengenal Gabriel (saking seringnya
pemuda itu berkunjung ke sana) akan menemani mereka. Mengajarkan mereka
tentang cara bersyukur. Itulah bahagia. Sederhana.
Ify menatap takjub ketika pertama menjejakan kakinya di lapangan.
Menyisir ke setiap sudut. Ia seperti tidak tengah berada di kotanya. Tak
pernah ia temukan tempat seperti ini selama ia tinggal di kota itu. Ify
hampir menitikan air mata. Hatinya mencelos. Nanti entah ia masih punya
kesempatan untuk kembali lagi ke tempat itu. Atau ini kali pertama
sekaligus yang terakhir untuknya dapat menjejak tempat yang -menurutnya-
hebat itu?
Maka demi mengantisipasi kemungkinan yang kedua, tanpa ditanya
keberatan atau tidak ia diculik ke tempat itu, Ify berlari ke tengah
lapangan. Bergabung dengan anak-anak berbaju kumal dan berlumuran
lumpur.
Gabriel tersenyum menyeringai. Melihat dua kunciran rambut Ify
bergoyang di udara. Ia lantas tak membuang-buang waktunya. Segera
melakukan hal yang sama. Berlari merebut bola.
Dan dimulailah permainan menyenangkan itu. Di sini, tidak
dipermasalahkan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Asal menendang.
Berlari. Mengoper pada siapa saja. Menghindari hadangan. Terpeleset.
Terjerembab jatuh ke tanah. Seluruh badan bersimbah lumpur. Saling
menertawakan wajah yang cemong. Mengejar yang lain untuk membalas. Itu
saja. Sangat sederhana.
Brukk!!
Jatah Ify untuk jatuh. Sempurna tersungkur mencium tanah. Gabriel
ketar-ketir mengecek keadaan Ify. Takut terjadi apa-apa. Namun
sepertinya, Gabriel tak usah sebegitu cemas. Karena toh, Ify baik-baik
saja. Hanya hidung mancungnya yang tercelup ke dalam kubangan. Coklatnya
lumpur tertoreh pada capingnya. Membuat Ify nampak seperti badut. Lucu
dan menggemaskan. Dan sungguh, Gabriel tidak perlu khawatir. Karena
setelah terjatuh, Ify langsung bangkit kembali. Meringis sebentar.
Lantas berlari memburu tersangka yang telah membuatnya jatuh.
Repetitif. Sampai tubuhnya memaksa berhenti. Walau hasrat di hatinya masih menggebu-gebu.
Ify menepi. Duduk bersila menghadap sepetak tanah dengan tanaman liar
memenuhinya. Ia nampak tengah mengatur satu persatu hela nafasnya. Lalu
memejamkan mata. Meresapi hembusan angin yang menerpa lembut wajahnya.
Membuat poninya yang sudah berantakan, semakin tak karuan.
Untuk beberapa saat, Gabriel membiarkan Ify sendirian. Sampai ketika
seorang anak lelaki mengagetkatnya. Anak itu menyerahkan sebotol air
mineral pada Gabriel. Lantas meminta Gabriel untuk agak membungkuk. Agar
anak itu dapat membisikan sesuatu di lubang telinganya. Gabriel
mengangguk mengerti. Menahan senyum ketika mendengar apa yang dibisikan
anak itu. Sungguh kepolosan khas anak-anak.
Sesuai bisikan anak itu, Gabriel pun beranjak menghampiri Ify yang
masih terus memejamkan mata. Terlelap dalam dunia yang siapa pun tak kan
bisa memahaminya. Setidaknya untuk saat ini.
"Nih!" Gabriel memberikan air mineral yang didapatkannya dari anak
tadi. Lalu setelah Ify meraihnya, ia duduk bersila di samping Ify.
Lantas baru menyadari, bahwa wajah penuh lumpur itu terlihat pucat.
Pernah dilihatnya gurat seperti itu kemarin. Dan saat itu, Ify
membutuhkan asupan kaplet yang katanya vitamin. Yap!
"Elo belum minum vitamin ya? Minum dulu gih!" tukas Gabriel.
Ify hampir saja tersedak. Beberapa tetes air tersembur dari mulutnya.
Vitamin? Gadis itu mengerutkan kening. Sejak kapan ia rutin minum
vitamin? Bukankah yang selama ini selalu ia minum adalah obat-obat yang
hanya berkhasiat memperlambat, bukan menyembuhkan? Lantas...
Ify mengatupkan bibirnya. Baru ingat, kemarin ia bilang pada Gabriel
bahwa kaplet-kaplet yang diminumnya adalah vitamin. Jadi, harusnya Ify
tak heran kala Gabriel menyinggung soal itu. Ify mendesah. Membersihkan
mulutnya dari sisa percikan air.
"Ify ga akan mati kalau Ify ga minum vitamin itu." ujar Ify sarkatis.
Tak mengindahkan saran Gabriel. Untuk apa? Toh, kaplet-kaplet yang
telah ia telan selama lebih dari tiga tahun itu sengaja ditinggalkannya
di rumah. Ia tak mau terus bergantung pada obat itu. Karena cepat atau
lambat, ia pasti akan berpijak pada dunia 'gelap' itu. Terserah Tuhan
saja kapan berkehendak. Ia memasrahkan segalanya. Demi bumi dan langit,
ia telah belajar untuk ikhlas.
Gabriel terhenyak mendengar perkataan Ify yang terdengar seperti
sebuah keluhan. Ketidak mampuannya untuk tetap bertahan. Tapi mengapa?
Apa ada yang salah dari ucapannya? Gabriel sekedar mengingatkan saja. Ia
hanya tidak mau terjadi apa-apa pada gadis polosnya itu. Apalagi dengan
wajah sepucat itu.
"Maaf." Gabriel menggigit bagian dalam bibirnya. "Kamu ga senang ya
main sama aku?" tanya Gabriel. Entah sejak kapan merubah kata ganti
gue-elo menjadi lebih halus; aku-kamu.
"Gabriel." Ify bercicit pelan. Merasa bersalah. Lalu apanya yang
salah? Semuanya memang benar, bukan? Alfa dari meminum obat itu sekali
saja, takkan sampai membuatnya terjungkal. Hanya saja... "Ify senang
kok. Cuma, Ify ga mau Gabriel khawatirin Ify. Kemarin, Gabriel bilang
kalau Gabriel ga akan kenapa-napa selama ada Ify. Ify juga sama. Selama
ada Gabriel, Ify akan baik-baik aja. Gabriel harus percaya. Jadi, jangan
khawatirin Ify lagi."
"Aku ga bisa ga khawatirin kamu, Fy! Maaf!" Gabriel menunduk.
Lalu mereka berdua diam. Di tengah riang suara tawa renyah anak-anak
di belakang mereka yang masih meneruskan permainan sepakbola lumpur yang
menyenangkan. Juga teriakan gembira anak-anak yang berlarian di antara
tanaman-tanaman liar di depan mereka. Asyik meniupi gelembung sabun
colek. Selain itu, ada lenguhan gerombolan burung yang terbang membelah
langit. Dan suara tak terlupakan dari sepoi angin senja. Sisanya,
lengang begitu saja.
Sebuah layang-layang berbentuk dinosaurus nampak di kejauhan. Terbang
sendirian mengarungi bentangan langit. Mempertunjukan tarian yang
menakjubkan. Gerakannya meliuk-liuk di antara pormasi segerombol burung.
Entah siapalah yang mengendalikannya. Pastilah orang itu sudah sangat
mahir soal terbang-menerbangkan layang-layang.
Ternyata, layang-layang itu cukup mencuri perhatian Gabriel. Lesu
wajahnya hilang seketika. Ia mencelat dan langsung berdiri. Histeris
menunjuk layang-layang itu. Kalau bisa, ia ingin memetik layang-layang
itu untuk Ify.
Eh? Gabriel melirik gadis yang masih terpekur di atas tanah. Sama
sekali tak terkejut dengan lonjakannya. Gabriel samar mendesah. Ada apa
lagi?
Mungkin, layang-layang itu muncul untuk mengusir mendung yang
menggantung di hati gadis itu. Yap! Gabriel mencolek bahu Ify. Berniat
menunjukkan sesuatu luar biasa yang tengah berenang-renang di atas
samudera langit. Ify mendongak. Mengerutkan kening.
"Berdiri Fy! Tuh lihat! Ada layang-layang. Bentuknya dinosaurus.
Keren banget! Kamu suka dinosaurus, kan?" terang Gabriel berapi-api. Tak
ingin jika gadis berhidung mancung itu terlewat untuk menyaksikan aksi
hebat yang disuguhkan oleh sang layang-layang.
"Mana mana?" tanya Ify dengan wajah yang penasaran. Lumpur yang
melumuri wajahnya mulai mengerak. Ia langsung berdiri. Mengikuti kemana
arah telunjuk Gabriel. Lalu menyipitkan kedua mata. Berharap kemampuan
matanya masih cukup untuk dapat melihat layang-layang dinosaurus yang
keren seperti yang dikatakan Gabriel. Belum terlihat. Matanya kian
menyipit. Masih belum. Malah kini matanya terasa perih. Tersengat silau
jingga dari sang matahari senja. Ify mendengus.
"Ga keliatan Yel!" Ify merengut. Mengulum bibirnya.
Gabriel mengerenyit. "Masa ga keliatan Fy? Itu layang-layangnya gede
banget." Pemuda itu menggeleng. Mana mungkin layang-layang sebesar itu
tak terlihat? Lagipula, jaraknya tidak terlalu jauh. Mata yang normal
pasti dapat melihatnya dengan mudah. Akan tetapi... Tak sengaja Gabriel
menangkap kerjapan mata Ify. Gabriel baru mengerti arti dari kerjapan
itu. Bukan karena Ify centil, sehingga ia mengerjap ketika berbicara
pada siapa saja. Itu semata-mata karena gadis itu memiliki 'sedikit'
gangguan pada penglihatannya.
"Eh gue ambil kacamata lo dulu deh!" Gabriel bergegas menuju tempat
di mana ia memarkir motornya. Hendak mengambil kacamata milik Ify yang
ada di dalam tas yang disimpan di atas motornya.
Sebenarnya, Ify ingin melarang Gabriel untuk mengambil kacamatanya.
Karena ia tahu, kacamata itu sungguh tidak akan membantu. Selama ini
pun, ia mengenakan kacamata hanya untuk sebuah formalitas. Sekadar usaha
agar kerjapan matanya dapat terkamuflase di balik dua lensa itu.
Selebihnya, nihil. Tapi tentu saja ia tak ingin mengecewakan Gabriel.
Kalau Gabriel dicegah, pasti akan menimbulkan hipotesis yang
tidak-tidak. Beranggapan bahwa Ify ingin menolak segala kebaikan yang
diberikan Gabriel padanya. Jadi, biarlah Gabriel mengucurkan kebaikannya
dengan segala macam bentuk. Dan kalau memang hal itu tak cukup berguna
untuk raganya, tapi paling tidak hatinya akan selalu lapang menerima.
Bahkan di waktu tertentu, ia akan banyak berharap akan hal itu.
Ify menatap nanar pada langit. Ia percaya, pemilik langit selalu menaunginya. Apa pun yang terjadi nanti.
Sementara itu, Gabriel mengambil kacamata Ify yang disimpan di salah
satu bagian ranselnya. Pemuda itu tersenyum menyeringai. Ibu jarinya
lembut mengusap plester dinosaurus yang terlilit di batang
penghubungnya. Dan ketika itu, matanya tak sengaja tertumbuk pada
pergelangan tangan kirinya yang tanpa apa-apa. Tapi... Gabriel menggigit
bibir. Seingatnya, di tangannya itu ia pasang sebuah gelang. Gelang
yang dibuat dari tali yang dirajut sedemikian rupa. Di antaranya,
tersisip sebuah hiasan dari kayu berbentuk kepala dinosaurus. Gelang
yang persis seperti itu hanya ada dua. Satu untuk dipakainya. Dan satu
lagi disimpan di dalam dompet untuk kelak diberikan pada gadisnya.
Karena dulu, ia harus menunggu selama lebih dari tiga tahun untuk dapat
menghadiahkan gelang itu. Tapi kini, entah mendapat bisikan dari mana,
ia berpikir gelang itu harus diserahkannya pada gadis polos itu. Gadis
itu sungguh layak mendapatkannya. Lengannya akan semakin cantik ketika
dililiti gelang itu.
Ya. Gabriel merogoh dompetnya. Mengeluarkan gelang menggemaskan itu.
Namun, kemanakah gelang miliknya? Mungkinkah hilang? Tapi mana bisa? Ia
memasangnya kuat-kuat. Gabriel mengangkat bahu. Sudahlah! Pasti
tertinggal di rumah. Tadi lupa ia kenakan kembali setelah melepasnya
sebelum beranjak mandi. Pemuda itu mencoba berbaik sangka.
Gabriel kembali dengan membawa kacamata di tangan kanan, dan gelang di tangan kiri. Ia berdiri di samping Ify.
"Kalau pakai ini, pasti kelihatan kan, Fy?" Gabriel menyerahkan
kacamata berplester itu yang segera diterima dan langsung dipakai Ify.
Tidak juga. Batin Ify berkeluh kesah. Penglihatannya tidak akan
lantas membaik setelah ia mengenakan kacamata itu. Semuanya bukan omong
kosong. Sekarang buktinya. Bahkan ketika ia menggunakan empat lensa
sekaligus, layang-layang keren itu tetap tak terlihat. Ify mengepalkan
tangannya kuat-kuat. Merasakan kalau dua matanya mulai memanas. Jangan!
Maka Ify kini berpura-pura. Merekayasa bahwa ia melihat dengan jelas
bagaimana kerennya layang-layang itu. “Iya. Keren banget! Ify suka!”
memuji apa yang tak terlihat olehnya. Tidak. Ia melihat dengan hatinya.
Bukankah selama ini pun begitu. Baik atau tidaknya seseorang, selalu ia
lihat dengan hati. Jadi, gadis itu tidak seutuhnya berakting.
Gabriel menyunggingkan senyum mendengar seruan Ify. Tanpa tahu,
bagaimana wajah polos itu berusaha untuk menutupi rasa sakitnya. Tak
pernah tahu bagaimana mata itu kini basah dan berkaca-kaca.
"Gabriel benar! Layang-layangnya keren! Ify suka. Sungguh! Ify suka!"
ucap Ify dengan suara semakin mengecil. Giginya bergemeletuk. Bagaimana
ini? Gadis itu jatuh terduduk di atas tanah. Titik-titik kenelangsaan
itu tak bisa lagi dicegah. Tumpah.
"IFY?" pekik Gabriel. Menjatuhkan diri di samping Ify. Merangkul pundak gadis ringkih itu. "Ada apa?"
Belum ada jawaban dari Ify. Gadis itu masih sibuk menguras habis air
matanya. Berkutat dengan bagaimana jadinya ia nanti. Bagaimana kalau
bukan 'hanya' layang-layang yang tidak dapat dilihatnya. Esok, bisa jadi
seluruh dunia tidak bisa lagi dinikmati keindahannya. Mama yang
bersahaja? Papa yang bijaksana? Oik yang imut? Rio yang kece? Dan... Dan
Gabriel yang -ternyata- dicintainya?
"Kenapa Fy?" Gabriel bertanya lagi. Keringat dingin seketika membalut
pelipisnya. Pemuda itu ketar-ketir setengah mati. Mengundang perhatian
semua anak-anak yang ada di sana. Mereka berhenti menggocek bola,
berkejaran dan meniupi gelembung. Berkerumun mengecek keadaan kakak
mereka yang ceria. Yang kali ini tentu keceriaan itu raip diambil
nestapa. Mereka rusuh bertanya ada apa, kenapa.
Tetap belum ada jawaban apa-apa. Kecuali tangisan yang terdengar
sangat menyedihkan. Ify tak tahu harus berkata apa. Bagaimanalah ia akan
menjawab berondongan pertanyaan yang ditujukan padanya? Kalau sampai
sekarang saja, ia kadang masih belum mengerti mengapa Tuhan memilihnya.
Padahal, ada bermilyar manusia di muka bumi ini yang lebih 'pantas'
menerimanya. Bukan gadis sepolos Ify.
"Kakak kenapa? Kakak sakit?" tanya anak yang tadi memberikan Gabriel
sebotol air. "Maaf ya Kak! Gara-gara tadi Ray keseringan bikin kakak
jatuh ya?" anak bernama Ray itu melompat memeluk Ify. Tak peduli lumpur
di badannya yang masih basah akan semakin mengotori seragam sekolah Ify.
Ray memeluk Ify dengan sayang. Persis seperti seorang adik pada sang
kakak.
Pada akhirnya, dengan nafas tersengal, Ify berujar. "Ify ga kenapa-napa kok!" Dia membalas pelukan Ray. Tersenyum.
Jadilah anak-anak yang lain ikut memeluk Ify. Sayang sekali pada
kakak cerianya yang baru pertama mereka jumpai itu. Dan Ify tak
keberatan saat tubuh-tubuh dengan bau tidak sedap itu memeluknya. Ia
tidak peduli berjuta kuman akan menempel pada tubuhnya. Biarkan! Biarkan
ia merasakan kehangatan kasih yang tulus dari anak-anak itu.
Dan satu pemuda yang tersisa akhirnya menghembuskan nafas lega.
Melihat senyum mempesona itu terulas lagi di sana, sudah cukup membuat
hatinya lapang. Ia hempas jauh-jauh pertanyaan tentang apa yang
sebenarnya terjadi pada Ify. Tak penting apa pun penjelasan Ify.
Melihatnya tersenyum saja, sudah cukup.
"Kalian main lagi gih! Ify mau bicara berdua aja sama kak Gabriel."
kata Ify sesaat setelah ia keluar dari dekapan anak-anak luar biasa itu.
Mereka menuruti perintah Ify. Melanjutkan pertandingan bola,
berkejaran, meniup gelembung.
Tersisalah Ify dan Gabriel di sana. Duduk menghadap gradasi warna
yang indah di langit ketika senja hadir menyapa. Lima menit pertama,
mereka diam. Menerka-nerka apa yang akan terjadi berikutnya.
"Ify boleh minta sesuatu?" Gadis berhidung mancung itu yang memulai.
"Tentu."
"Ify ingin bermain layang-layang yang sama persis seperti
layang-layang itu." Ify menunjuk langit yang kini lengang. Tak ada
layang-layang yang dimaksud Ify. Tapi, bukankah Ify tidak melihatnya?
Jadi, anggaplah layang-layang keren itu masih ada di sana. Masih
bergoyang di udara.
"Pasti Fy! Layang-layang yang persis sama, akan kita terbangkan
bersama. Tunggu saja! Kamu harus ingat, aku milik kamu." tegas Gabriel
berkata. Tak terselip rasa ragu sedikit pun. Janji itu benar-benar akan
ia tunaikan. Langit boleh menagihnya kapan pun juga. Bumi boleh murka
ketika ia lalai sedikit saja. Dan alam boleh berseru tatkala ia berhasil
menjunjung tinggi janji itu, tanpa pernah sekali pun mengingkarinya.
Menunggu boleh jadi akan Ify lakukan. Pasti. Tapi belum tentu dengan
kedua matanya. Maka dari itu, Ify berharap Gabriel tidak akan terlambat.
Karena sedetik saja terlewat, semuanya akan tamat. Ify akan kehilangan
kesempatan untuk melihat layang-layang berbentuk dinosaurus yang keren
itu.
"Fy..." Gabriel mengambil alih kendali. "Boleh pinjam tangan kamu? Terserah yang mana aja."
Ify memberikan tangan kanannya. Ia memilih tangan sebelah kanan
karena teringat kata-kata Mama. Beliau berujar bahwa kanan itu baik.
Kita makan menggunakan tangan kanan. Masuk ke tempat ibadah,
mendahulukan kaki kanan. Nah, itu sebabnya tangan kananlah yang
diberikan Ify pada Gabriel. Semoga yang didapatnya juga akan baik.
Tangan halus nan putih itu terlihat agak gemetar. Terlebih ketika
Gabriel memasangkan sebuah gelang pada pergelangannya. Kini, tangan
mulus itu sempurna dililiti gelang cantik dengan aksen kepala
dinosaurus. Ify tersenyum. Air matanya telah kering sejak gadis itu
memutuskan untuk tidak terlihat lemah di hadapan yang lainnya. Gabriel
ikut tersenyum. Jemarinya lembut menapaki setiap inci bagian tangan itu.
"Gelang ini cuma ada dua. Satu di kamu. Dan err..." Gabriel menggigit
bibir. Sadar kalimat selanjutnya harus ia pertanggung jawabkan. "Dan
satu lagi ada di aku. Jaga gelang itu baik-baik! Seperti aku yang akan
menjaga kamu."
Ify menunda sejenak keterpanaannya pada gelang menggemaskan itu. Ia
menyentuh bahu Gabriel. "Ga usah Yel! Kamu jaga hati kamu aja. Bukannya
selama ini, itulah yang paling sulit?" sarkatis Ify bertanya.
"Tidak." Gabriel menyentuh tangan Ify. Mengurungnya dalam genggaman hangat kelima jemarinya. "Semua mudah karena kamu."
Terhanyutlah mereka dalam aliran tenang penuh cinta. Kasih tulus yang mengalir tanpa paksaan.
***
"Aduuh! Kenapa berantakan begini?" teriak Mama ketika melihat kamar
putra sematawayangnya sudah seperti kapal pecah. Buku-buku berserakan di
lantai. Bantal guling tersangkut di atas lemari. Pakaian-pakaian
tertumpuk sembarangan di atas tempat tidur. Boneka-boneka terjungkir di
mana-mana. Persis seperti habis diterjang gempa.
"Nanti Gabriel beresin lagi kok Ma!" ucap Gabriel. Menoleh sekilas
pada sang mama yang berkacak pinggang di ambang pintu. Lantas kembali
fokus mengubrak-abrik rak kecil tempat ia menyimpan sepatu dan
sandalnya. Bodoh. Benda itu tak mungkin ada di sana. Ah mungkin saja. Ia
membuat pembenaran dalam hatinya.
"Kamu cari apa sih?" Mama memungut benda-benda yang ada di sekitarnya. Menyimpan kembali pada tempat asalnya.
"Gelang Ma. Gelang dinosaurus aku hilang." Gabriel belum mau menyerah.
"Oh, gelang yang buat Sivia itu?"
Gabriel berhenti mencari dalam posisi membungkuk. Apa yang baru saja
dikatakan Mama? Sivia? Lalu ketika ia menegakan tubuhnya, ia merasakan
tulang punggungnya berjatuhan. Pemuda itu menatap kurang suka pada Mama.
"Terserah Mama." ia melambaikan tangan. "Mama lihat nggak?"
"Enggak. Sudah dicari ke semua tempat? Kamar mandi mungkin?"
"Sudah Ma. Tapi ga ada." Gabriel mendesah. Hampir saja putus asa.
"Ingat Yel, gelangnya cuma ada dua." ujar Mama seraya melengos meninggalkan kamar sang putra.
Benar apa yang dikatakan Mama. Gelang itu hanya dua. Satu ada di Ify.
Dan satu lagi, harusnya ada pada dirinya. Sebagaimana yang ia katakan
pada Ify. Ia mempertaruhkan kepercayaan yang disandarkan gadis itu
padanya. Maka tidak ada kata lain selain harus. Ya, Gabriel harus segera
menemukan gelang itu. Wujud dari pertanggungjawabannya.
Pemuda itu masih terus mencari. Tak peduli malam semakin temaram.
Dingin kian mencekam. Harus. Harus. Harus. Rapalnya berulang-ulang.
Tapi ketika malam telah melewati larut, pemuda itu akhirnya jatuh
terkulai. Terlelap tanpa sadar di atas lantai. Kamarnya masih
awut-awutan seperti habis diterpa badai.
***
Sivia merogoh tas selempang mahalnya. Mencari sesuatu. Lalu setelah
tak didapatkannya sesuatu itu di dalam tas, ia meraba saku kemejanya.
Masih tidak ada. Saku bletzernya. Juga tidak ada. Saku roknya. Tetap
tidak ada. Aduh! Sivia panik bukan main. Tidak boleh hilang. Kalau
sampai hal itu terjadi, Ayah pasti marah. Ini kali ketiga gadis itu
menghilangkan benda yang sama.
Cakka, pemuda yang berjalan beriringan dengan Sivia mengerutkan kening. "Kenapa?"
"Ponsel aku Kka!" gadis berparas cantik itu mendesah.
"Ketinggalan di mobil kali." ujar Cakka.
Mata coklat itu langsung membelalak. Ya, pasti tertinggal di mobil.
Pontang-panting Sivia berlari menuju tempat parkir, menuju mobilnya.
Tanpa ceremony apa pun, Sivia langsung membuka pintu mobil bagian
depan. Gadis itu menghembuskan nafas lega, kala mendapati ponsel canggih
dan yang pasti mahal miliknya ada di kursi penumpang bagian depan yang
tadi didudukinya. Langsung diambilnya ponsel itu dengan tubuh agak
membungkuk. Dan pada posisi seperti itu, bola coklat itu tak sengaja
menangkap bayangan sebuah benda jatuh tepat di retinanya. Sivia
mengerenyit. Semakin mendorong punggungnya untuk meraih benda yang
tergeletak di samping pedal rem.
Setelah berhasil digapainya benda itu, Sivia menelaah per-incinya.
Sebuah gelang lucu dengan aksen kepala dinosaurus. Dinosaurus? Tiba-tiba
hatinya mencelos. Ada apa dengan dinosaurus? Kenapa selalu saja terjadi
hal yang aneh setiap kali ia melihat atau mendengar apa pun perihal
dinosaurus. Entah itu dengan kepala, maupun hatinya.
Pertanyaan itu tersisihkan sejenak kala Sivia mendengar teriakan dari
Cakka. Pemuda itu memanggilnya untuk bersegera. Maka tanpa sadar, Sivia
memasangkan gelang itu pada pergelangan tangan kanannya. Menutup pintu
mobil dengan cukup keras. Berlari kembali pada Cakka yang masih setia
menantinya.
Bersamaan dengan itu, masih di gedung sekolah yang sama, Oik ditemani
Patton, -sepupunya yang juga sekolah di sana namun berbeda kelas-
tengah menempelkan sebuah kertas di mading. Kertas itu berisikan tentang
pengumuman akan diadakannya pertandingan sepakbola persahabatan antara
sekolah mereka dan sekolah favorit lainnya di kota mereka.
"Katanya, di kelas lo ada murid baru ya? Dua sekaligus?" tanya Oik sesaat setelah kertas pengumuman itu tertempel.
"Ho'oh!" Patton membantu Oik mendorong kaca pelindung mading. "Cowok cewek. Yang cowok cakep banget! Yang cewek cantik banget!"
"Oh ya?" tanya Oik, terdengar lebih kepada sebuah pertanyaan
sepintas. Demi menghargai cerita sepupunya yang sangat antusias. Tak
dijawab pun tak apa. Oik mengunci rapat papan mading.
"Iya Ik. Mereka dari Singapore. Namanya Cakka Nuraga, sama Si..."
Patton mengibaskan rambutnya. Lupa-lupa ingat. Lupa pada nama murid baru
yang perempuan itu, selalu ingat pada wajahnya yang cantik dan
mempesona.
Oik memperhatikan gurat wajah sepupunya yang aneh tatkala berpikir. Mengingat nama gadis itu. Si? Sinta? Siti?
"Sivia Ik! Namanya Sivia. Sivia Azizah!" pekik Patton seraya mengguncang-guncang bahu Oik.
Sivia Azizah. Oik mengulang nama yang manis itu dalam hati. Demi apa
murid baru di kelas sepupunya itu bernama Sivia Azizah? Apa yang
dimaksud Patton adalah Sivia Azizah sahabatnya? Gadis plester.
Tubuh mungil itu lemas seketika. Tak berontak ketika Patton terus
mengguncangnya. Wajah manis itu berubah memucat. Keringat sebesar biji
jagung mengucur melalu celah poninya. Tulang-tulangnya serasa terlepas
dari kerangkanya. Hampir terjatuh kalau saja gadis itu tak menguatkan
dirinya sendiri.
Menangkap perubahan aneh yang terjadi pada Oik, Patton melipat keningnya. "Kenapa?"
Dengan secuil tenaga yang masih tersisa, Oik menepis tangan Patton.
Tak menggubris banyak pertanyaan dari Patton. Ia melengos pergi.
Berjalan tersaruk menuju kelas. Walau Oik belum memastikan bahwa Sivia
itu adalah Sivianya, tapi hatinya berseru yakin. Bagaimana ini?
Bagaimana kalau yang dikatakan Gabriel kemarin adalah fakta. Sivia tak
mengenali pemuda cerobohnya. Sivia telah bahagia dengan pemuda yang -Oik
menduga pasti- bernama Cakka itu. Lalu apakah dirinya terlupakan juga?
Mengingat telah sebulan Sivia memutuskan komunikasi secara sepihak. Tapi
mengapa? Bukankah Oik adalah sahabatnya. Kalau Sivia berpaling pada
pemuda yang lain, tak mungkin sampai melupakan sahabat yang kelewat
setia seperti dirinya. Setetes kristal bening tiba-tiba jatuh dari sudut
mata.
Semuanya terlalu mengejutkan.
***
Bersambung