Juni...
Ingatkah kau pertemuan pertama kita? Ketika itu aku masih setinggi
dagumu. Ah, sampai sekarang pun, tinggi badanku tak berubah. Kamu
curang. Menjadi tinggi sendirian.
Tak ada yang berbeda dengan dirimu. Kau sama saja seperti pemuda
lainnya. Tidak menarik. Gaya berpakaianmu biasa saja. Celana panjang dan
kemeja.
Tapi, pentingkah itu? Mengingat beberapa waktu berikutnya, aku
benar-benar menyukaimu. Dimulai pada sore berhujan itu. Ketika kau
melempar sarungmu untuk melindungiku dari hujan. Kau tahu persis itu,
bukan? Sejak itu, kamulah satu-satunya adiksiku.
Kita adalah pribadi yang berbeda. Aku cerewet, kamu pendiam. Aku
hangat, kamu dingin. Aku manja, kamu dewasa. Aku bodoh, kamu jenius. Aku
benci olahraga, kamu sebaliknya.
Tapi, kita juga punya beberapa kesamaan. Kita sama-sama tinggal di
rumah nenek. Ya meskipun dengan alasan berbeda. Aku, karena ingin
mandiri. Tinggal berpisah dengan orang tuaku -walau rumah mereka
berdampingan-. Sedangkan kamu, karena piatu. Kamu sudah tak mempunyai
ibu.
Selain itu, kita juga gemar mengulum bibir. Kita menyukai hujan. Dan
kita sama-sama jahil. Ingatkah kau bagaimana kita saling susul-menyusul
dalam mengumpulkan skor menjahili satu sama lain? Dipikir-pikir, kita
bodoh juga ya?
Kamu pernah menjahiliku dengan jengkol. Tak tahukah kamu bahwa
jengkol adalah hal yang paling ku benci? Dia bau. Tapi kau berbohong.
Mengatakan bahwa jengkol yang kau berikan berbeda. Tak berbau. Maka
dengan bujukanmu, aku memakan sang jengkol. Dan hasilnya apa? Aku hampir
pingsan. Satu poin untukmu.
Aku membalasnya dengan mengutukmu menjadi fotographer. Dan aku
modelnya. Kau juga hampir pingsan ketika aku tak mau berhenti bergaya.
Skor kita sama.
Oh ya, kita juga pernah bertanding games di ponselmu.Aku kalah
telak. Jadilah ku lemparkan ponsel menyebalkan itu ke sembarang tempat.
Kau juga pernah mengerjaiku ketika bersepeda. Mengikat sepedaku pada
pagar. Sehingga, sekuat apa pun aku mengayuh, sepedaku tetap tak
bergerak.
Namun, tak adil rasanya jika aku hanya menjabarkan kejahilanmu.
Tentu saja kamu punya banyak kebaikan. Kamu pemuda yang sholeh. Rajin
pergi ke surau. Kamu juga hebat. Ya, orang yang berhasil membuatku
bahagia adalah orang yang hebat. Kau juga rela berkorban. Masih ingat
insiden gelang dulu? Ah ya. Kau bersedia meloncat ke dalam kubangan
lumpur untuk menemukan gelangku. Baiknya kamu.
Lalu, perlukah aku ceritakan bagaimana perasaanku ketika kau sempat
bersama gadis lain? Walau hanya beberapa pekan? Ah, tak perlu. Bukankah
kamu pernah meyakinkanku, bahwa aku tetap menjadi gadis bodohmu. Iya.
Bodoh adalah sebutan yang kamu gunakan untuk memanggilku. Hatiku sakit,
Juni.
Tapi ternyata, sakit itu tak seberapa. Setelah aku tahu tentang
rencanamu untuk kembali ke kota asalmu. Tinggal bersama ayahmu. Kau
hendak pergi. Di bulan juni pula. Ah, kau ini. Pintar mengoyak hati.
Juni...
Apakah kau tahu, adiksimu masih tetap sama? Bahkan magisnya jauh
lebih kentara. Maka, aku tak pernah menuntut apa-apa darimu, bukan?
Hanya ingin, selalu ada waktu setiap harinya untukku dapat melihat
wajahmu. Sederhana sekali inginku.
Lalu, kalau kau pergi, bagaimana dengan diriku? Bagaimana aku harus
menaklukan daya magis adiksi itu? Bagaimana aku memenuhi ingin
sederhanaku itu?
Untuk Juni...
Kau tidak boleh pergi sebelum semuanya selesai. Kau tidak boleh
pergi selama rasa itu masih berpendar di hatiku. Kau harus tetap tinggal
di sini untuk membantuku. Agar aku terbebas dari adiksimu. Agar aku
menjadi gadis yang kuat, sebagaimana harapmu. Dan setelah itu, terserah
kau mau pergi ke mana saja. Bahkan mengelilingi dunia.
Dan untuk Juni...
Sampai detik ini, kau masih tetap menjadi satu-satunya lelaki yang ku puja, selain ayahku.
Untuk Juni...
Bermilyar rintik hujan di bulan juni.
***