Dia adalah Gabriel. Pemuda penyendiri yang aneh. Yang justru membuatku
selalu saja ingin memandangi siluetnya. Ya, untuk saat ini cukup itu
saja. Tidak kurang. Tidak lebih.
Hampir setiap jam istirahat aku mendapati Gabriel berada di sana.
Duduk menekuk lutut di depan ruang kelasnya. Sendirian. Kadang, ia
membaca. Kadang, ia juga mendengarkan musik. Musik rock favoritnya.
Namun, yang sering ia lakukan adalah tidak ada. Hanya melamun. Menatap
kosong ke depan.
Ketika yang dilakukan Gabriel hanya itu-itu saja, maka aku pun sama.
Memandanginya dari depan ruang kelasku yang kebetulan berdampingan
dengan ruang kelasnya. Menatap lekat-lekat bagaimana air muka wajahnya.
Namun, tak pernah ku dapati ekspresi lain di sana. Datar saja. Hanya
ketampanan yang kentara. Diam-diam, aku mengaguminya.
Hampir beberapa pekan aku selalu mencuri pandang ke arahnya. Sembari
memupuk tetesan rasa kagum yang menghujami setiap dinding hatiku. Dan
selama itu pula,
aku tak pernah tertangkap basah olehnya. Mungkin, ia
terlalu serius menekuri buku, musik, atau bahkan lamunannya. Sehingga,
ia tak menyadari, ada sepasang mata yang tak pernah sedetik pun berhenti
mengintainya. Atau bisa jadi, ia berpura-pura tak mengetahui. Ia sama
sekali tak peduli.
Teman-temanku sering menegurku untuk berhenti melakukan hal yang
-bagiku menyenangkan ini. Mereka mengatakan, semua yang ku lakukan tidak
ada gunanya. Hanya sia-sia. Lebih baik aku datang menghampirinya.
Bertanya siapa namanya -walau sebenarnya aku sudah hafal nama itu di
luar batok kepala-. Bertanya apakah gerangan yang dilakukannya. Hingga
menawarkannya seteguk air mineral. Tapi, penolakan yang selalu ku
berikan. Tidak. Bukankah aku hanya ingin memandanginya? Dari kejauhan?
Itu saja. Maka, biarkanlah aku mengaguminya dari jarak beberapa meter
darinya. Karena itu saja, sudah cukup membuatku bahagia.
Dan hari itu, ketika tak sengaja aku bertemu dengan Gabriel di
koridor yang sepi, aku mendapatkan rasa bahagia yang melebihi kuota.
Tatkala pemuda yang masih mempertahankan eskpresi datarnya itu, menahan
langkahku. Ia menohok manik mataku. Mata yang selalu ku gunakan untuk
menelan bulat-bulat tiap inci lekuk wajahnya. Ia berdeham pelan.
Aku terdiam. Entah apa yang harus aku katakan. Aku tak pernah
mempersiapkan barisan kata indah untuknya. Bukankah sudah ku tegaskan,
aku hanya ingin memandanginya. Bukan berbicara padanya. Aku mendesah
samar.
Dan ternyata, selain aneh, Gabriel juga adalah pemuda yang penuh
kejutan. Ia mengucapkan apa yang tak pernah ku prediksikan. Ia
mengatakan 'terimakasih' dengan suara baritone yang menyenangkan. Kata
dan suaranya membuka terhenyak.
Maka, aku hanya bisa melongo setelahnya. Bahkan ketika Gabriel menyimpul seulas senyum, dan melanjutkan ucapannya.
"Terimakasih telah menemani lamunanku setiap hari. Itu sudah cukup
membuatku bahagia.... Ify." lantas setelah itu, Gabriel melengos pergi.
Meninggalkanku yang masih berdiri kaku.
Bahkan, untuk sekedar memutar tubuh dan menatapi punggung pemuda itu
pun, aku tidak bisa. Daya kejut dari setiap kata yang diutarakan
Gabriel terlalu hebat. Sehingga, aku tak dapat melakukan apa-apa.
Bagaimana cara mengedipkan mata saja, aku tidak bisa.
Gabriel. Dia telah memberikan apa yang tak pernah ku inginkan. Aku
hanya ingin memandanginya. Itu saja. Namun kini, Gabriel menghadiahkan
lebih untukku. Ia bukan hanya tak keberatan apabila aku memandanginya.
Ia juga senang ketika aku melakukan hal menyenangkan itu untuknya. Dan
bonus satu lagi, dia mengetahui namaku. Dia tidak keliru memanggil
namaku. Lidahnya fasih mengucapkan namaku. Semuanya cukup. Cukup
membuatku bahagia.
***
selesai
*