"Operasinya berhasil!" ujar seorang lelaki paruh baya yang baru saja keluar dari sebuah ruangan.
"Benarkah Dok?" ujar lelaki yang lain tak percaya.
"Ya, semangatnya memang patut diacungi jempol. Itu adalah salah satu
faktor ia bisa bertahan hingga sampai saat ini. Pak Alvin beruntung
memilikinya." kata lelaki yang pertama yang adalah seorang dokter.
Lelaki yang dipanggil Pak Alvin itu tersenyum. Mengusap dadanya
lega. "Ya, saya memang beruntung. Terimakasih dok! Oh iya, saya boleh
bertemu dengan anak saya?" tanya Pak Alvin.
"Tentu saja. Tapi saya harap Pak Alvin tidak terkejut kalau sampai
dia lupa sesuatu tentang dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Operasi
pengangkatan tumor di otaknya membuat sedikit banyak ingatan dalam
memorinya hilang." jelas sang dokter.
Pak Alvin mengangguk. Tak apa. Bukan hal buruk baginya. Yang
terpenting adalah kesehatan anaknya. Bahwa gadis kecilnya telah berhasil
menaklukan satu lagi penyakit dari dua penyakit yang bersemayam dalam
tubuh ringkihnya. Dua penyakit itu yang memaksa gadis itu meninggalkan
semuanya. Kota dan seluruh kenangan di dalamnya. Termasuk pemuda
cerobohnya.
Kini, dari bibir Pak Alvin tak berhenti terlontar ucapan terimakasih
untuk sang dokter yang telah tiga tahun menemani perjuangan gadis
kecilnya. Dalam hatinya lantunan syukur tak henti ia panjat untung sang
pemilik hidup.
Pak Alvin bergegas memasuki ruangan. Hendak menemui putrinya.
Berharap bahwa kenangan pahitlah yang hilang. Hanya menyisakan kenangan
indah yang telah dipahatnya selama hampir 17 tahun ia menjejak bumi.
***
Gabriel melemparkan jaket yang baru saja ia lepas dari tubuhnya ke
sembarang tempat. Langsung menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur.
Hendak melepas lelahnya selepas mengantar Ify pulang.
Ify? Gabriel tersenyum. Entah mengapa hatinya tergelitik saat
mengingat nama gadis polos sok tahu itu. Pemuda itu memejamkan mata.
Berharap di tidurnya nanti, sang gadis akan datang menghadiahkannya
mimpi terindah.
Beberapa detik saja matanya tertutup, Gabriel langsung membelalakan
mata. Ekor matanya tertumbuk pada rak yang ada di samping meja belajar.
Tadi ia mendapati Ify tengah mengamati koleksi boneka dinosaurusnya.
Gabriel tersenyum penuh arti. Tanpa bisa ditebak, ia mencelat dari
kasur. Mengambil salah satu boneka. Berlari keluar kamar.
Gabriel sudah sampai di sana. Tempat di mana orang tuanya sedang asyik bercengkrama. Gabriel menghampiri mereka.
"Loh, Gabriel? Kirain udah tidur. Ada apa Nak?" tanya Mama.
"Tolong bungkusin ini ya Ma!" Gabriel memberikan sebuah boneka dinosaurus yang dibalut kaos berwarna merah muda.
Mama menatap boneka itu bingung. Lalu menatap Papa. Yang ditatap menggeleng samar. Lantas beralih menatap Gabriel. "Untuk apa?"
"I-Ify." ujar Gabriel agak segan.
Mama akhirnya mengerti. Mengurai kerutan di keningnya. Baiklah.
Dengan senang hati. Tentu saja ini adalah hal yang baik. Ya, gadis polos
itu memang hebat. Sebelumnya, mana pernah putranya itu memberikan salah
satu dari boneka kesayangannya kepada orang lain. Jangankan memberi,
untuk mengizinkan seseorang menyentuhnya saja ia enggan. Dan sekarang,
Ify perlahan mengembalikan keramahan putranya. Mama mengangguk.
"Makasih ya Ma. Aku tidur dulu. Malam Ma, Pa!" Gabriel melengos pergi. Melanjutkan prosedur tidurnya yang belum sempat dijajaki.
***
Jalanan kota masih lumayan lengang. Tak ada sesak kendaraan yang
biasa menghantarnya ke sekolah. Gabriel memang sengaja berangkat sedini
mungkin. Agar ketika ia tiba di sekolah nanti, ia menjadi orang kedua
yang datang ke sekolah setelah Pak Indra, satpam sekolahnya. Juga agar
rencananya tak diketahui siapa-siapa.
Benar. Sekolahnya memang masih sepi. Hanya Pak Indra yang
didapatinya di pos satpam yang tengah menyesap secangkir kopi. Gabriel
bergegas menuju kelasnya.
Ketika ia sudah mencapai kelas, tergesa ia menghampiri mejanya.
Mengeluarkan sebuah kotak cantik berhiaskan pita merah menyala. Kotak
itu ditemukannya di atas meja belajarnya pagi tadi kala pertama ia
membuka mata. Kotak itu pula yang membuatnya semangat mengarungi tiap
detik untuk hari ini.
Gabriel menyimpannya di atas meja. Celingak-celinguk ke sekitarnya.
Memastikan bahwa tidak ada satu pasang mata pun yang menyaksikan semua
yang dilakukannya. Gayanya sudah seperti secret admirer di film yang
pernah ditontonnya. Ternyata memang, diam-diam Gabriel mengagumi
kepolosan gadis itu.
Setelah itu, Gabriel memutuskan pergi. Matahari yang mulai meninggi,
mengindikasikan bahwa teman-temannya akan segera datang. Kalau ia tetap
di sana, mereka pasti akan mencurigainya.
Kini, Gabriel memilih menyendiri di taman belakang sekolah.
Mengamati lalu lalang kendaraan di sepanjang jalan. Sambil merenungi apa
yang telah diperbuatnya.
Tiba-tiba ia merasa telah melupakan sesuatu. Namun rasa itu
ditepisnya kuat-kuat. Biarkan. Biarkan penantian semu itu hanya
mengurung hatinya. Karena lamat-lamat, jiwa dan raganya telah berhasil
meloloskan diri.
***
Ify membekap mulutnya ketika ia terhenyak mendapati sebuah kotak
cantik di atas mejanya. Awalnya, ia mengira bahwa kotak itu bukan
ditujukan padanya. Namun ia membaca sebuah kertas memo di atas kotak
yang mengatakan bahwa kotak itu diperuntukan kepadanya. Ify mengetukan
telunjuknya pada cuping hidungnya. Hari ini bukan ulang tahunnya.
Ify mengerjap. Entah mengapa, bisa-bisanya ia berpikir bahwa yang
ada di dalam kotak itu adalah bom. Tapi, di sekolahnya tidak ada
teroris. Anaknya Amrozi juga tidak bersekolah di sana. Lalu mengapa bisa
ada bom di atas mejanya.
Ify terkesiap ketika sebuah tangan lembut menyentuh bahunya. Ify melirik pemilik tangan itu. Oik.
"Itu apa?" Oik menunjuk kotak itu.
"Bom." ujar Ify setengah berbisik.
Oik mengerenyit. Mana mungkin ada bom. Gadis berambut sebahu itu
meraih kotak itu, setelah berhasil terlepas dari cegahan Ify. Oik
meyakinkan Ify bahwa tak ada bom atau benda berbahaya lainnya di dalam
kotak.
Oik membuka kotak itu. Matanya yang kecil membelalak ketika melihat isi kotak itu. Ia menggeleng tak percaya.
Dan gadis polos itu langsung mengambil kotak itu dari tangan Oik.
Gesit ia meraih isi kotak itu. Boneka dinosaurus yang sangat
menggemaskan. Ify tersenyum. Memeluk erat sang boneka.
Oik masih belum benar-benar percaya. Ia tahu siapa yang memberikan
boneka itu pada Ify. Pasti. Siapa lagi kalau bukan pemuda ceroboh itu.
Ya, apa yang dilakukan pemuda itu memang adalah sebuah kecerobohan. Tak
tahukah ia, bahwa hati Ify mungkin saja tersentuh karenanya?
"Ya ampun Oik! Ini boneka yang aku lihat kemarin di kamar Gabriel.
Iya. Pasti ini dari dia." ujar Ify. Gadis itu masih memeluk
dinosaurusnya.
Oik tersenyum miring. Setengah ia mati ia memaksakan diri. Kabar ini harus segera diberitahukan pada sahabatnya.
Wajah Ify nampak berseri-seri. Setelah memeluknya, ia menciumi sang boneka.
***
Rio menyandarkan tubuhnya yang berlumur peluh pada tiang gawang.
Setelah berkali-kali ia menendang bola dengan segenap tenaga. Ditambah
emosi yang sedari tadi entah mengapa membuncahi logikanya.
Rio sadar, tidak seharusnya seperti ini. Ia tidak berhak.
Apa? Apanya yang tidak berhak? Cemburu maksudnya? Rio terkekeh. Mana
mungkin Rio cemburu saat Ify mendapatkan hadiah boneka dari Gabriel.
Tapi kalau bukan cemburu, apa namanya? Kalau hatinya seakan terbakar
saat Ify terus menerus bercerita tentang Gabriel. Apalagi sekarang,
Gabriel perlahan melunak pada Ify.
Rio kini sendiri. Menikmati nafasnya yang terengah-engah.
Lalu tak berapa lama, gadis yang membuatnya kacau itu datang.
Membawakan sebotol air mineral untuk Rio. Gadis itu duduk di samping
Rio.
"Kapan-kapan, aku boleh kan main bola sama kamu?" tanya Ify.
Membukakan botol air mineral untuk Rio. Menyerahkannya pada pemuda itu.
Rio melirik Ify. Gadis yang dilirik itu mengerjapkan mata.
Rio meraih botol air mineral. Menenggak isinya. Lalu mengusap habis buliran keringat yang bergelayut pada wajah tampannya.
"Makasih ya!" ujar Rio.
Memang seharusnya, ia tidak seperti itu. Toh, kedekatan Ify dan
Gabriel yang mulai terjalin, tak membuat gadis itu menjauh darinya. Ia
masih bisa mendapatkan perhatian Ify dengan caranya sendiri. Itu sudah
cukup baginya.
***
Ify mencubiti boneka dinosaurus yang sudah menjadi miliknya.
Sesekali ia terkikik, mengingat wajah Gabriel yang lucu ketika ia
memastikan bahwa memang Gabriel yang memberikan boneka itu. Dan ia juga
teringat, saat ia membisikan kata terimakasih tepat pada telinga
Gabriel. Membuat wajah pemuda itu berubah memerah.
Sekali lagi Ify memeluk bonekanya.
Ketika Ify mengurai pelukannya, ia menemukan sebuah kalung cantik
berwarna perak. Ify memperhatikan kalung itu dengan seksama. Dan ia juga
mendapati sebuah nama dengan huruf yang dibuat bersambung terukir pada
bandulnya. Ify memicingkan mata. Mencoba membacanya.
"S-Si... Si... Sivia?" Ify menatap langit-langit kamarnya.
***
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentari