Pages - Menu

Jumat, 04 Mei 2012

Lebih Dari Plester part 2


Suasana gaduh di ruang kelas langsung lenyap ketika salah seorang guru masuk ke dalamnya. Wanita itu bernama Winda, guru fisika yang akan mengajar di jam pertama. Namun pagi itu, ia tak sendiri. Dua langkah dibelakangnya, seorang gadis mengikuti. Semua pasang mata menatap padanya. Bertanya-tanya tentang siapakah gadis itu. Mungkinkah dia murid baru di kelas mereka?

"Baiklah anak-anak, hari ini kita kedatangan teman baru." ujar Bu Winda. "Silakan perkenalkan dirimu!"

Gadis itu menyisir seluruh penjuru kelas. Lantas mengerjapkan kedua matanya. "Perkenalkan, nama saya Alyssa Saufika. Panggil saja Ify. Saya pindahan dari Bandung." ujar Ify. Gadis itu tersenyum. Kembali mengerjapkan mata.

Seisi kelas menyambut Ify dengan suka cita. Ify tersenyum. Mungkin, ia tidak akan sulit beradaptasi dengan lingkungan barunya. Lihatlah wajah-wajah mereka yang bersahabat dan menyenangkan. Ify tertegun ketika matanya tertumbuk pada satu siluet pemuda yang duduk sendiri di baris paling depan. Pemuda itu sedari tadi menyembunyikan wajahnya. Ia menunduk. Mungkin, wajahnya sangat menyeramkan seperti monster. Makanya ia malu. Ify terkikik.

"Baiklah Ify, sekarang kamu duduk di belakang sana." Bu Winda menunjuk sebuah bangku kosong di pojok belakang kelas.

Ify mengerjap. Menggigit bibir bagian bawahnya ragu. Bagaimana ia akan belajar dengan baik kalau ia duduk di sana? Gadis itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Melihat ekspresi wajah Ify yang nampak aneh, Bu Winda bertanya, "Kenapa Ify?"

Ify menoleh. Mendapati wajah Bu Winda yang bersahaja. Mungkin, Bu Winda akan memaklumi keadaannya apabila ia berterus terang padanya. Ify mengerjap. Membisikkan sesuatu pada Bu Winda. Mengerjap beberapa kali. Siswa yang lain mengerutkan kening. Penasaran dengan apa yang dibisikkan oleh gadis berambut sebahu itu.

Bu Winda mengangguk-angguk. Ia memang seorang guru yang bijak. Ia pikir, Ify bisa menempati meja kosong di depan itu. Bukankah pemiliknya tak pernah merasa bersyukur dapat menghuni tempat strategis itu. Buktinya saja, hampir setiap hari ia datang terlambat, seperti hari ini. Bu Winda bahkan sudah bosan memberi peringatan. Ia bahkan telah menyerah dalam mengganjar hukuman. Karena seberat apa pun hukuman yang dihadiahkan oleh Bu Winda, empunya tempat itu tak pernah sekali pun merasa jera. Setelah ia menimbang-nimbang beberapa saat, akhirnya ia mengambil keputusan.

"Oke, Ify duduk sama Gabriel."

Mendengar namanya disebut, pemuda yang sama sekali tidak tertarik dengan kedatangan murid baru di kelasnya itu pun langsung mendongak. Menatap Bu Winda tak percaya. Beralih menatap gadis di sebelah Bu Winda yang langsung menohoknya dengan sesimpul senyum. Kembali menatap Bu Winda lagi.

"Ibu masih anggap Rio murid ibu, kan?" Gabriel mencibir. Secara tak langsung menolak Ify untuk duduk bersamanya.

"Gabriel, dia tetap murid Ibu. Walaupun dia tak pernah mendengarkan Ibu. Dia bisa duduk di belakang." Bu Winda menghela nafas. "Ibu yakin dia tidak akan keberatan." lanjutnya.

"Ta... Tapi..." Gabriel baru saja akan menyanggah. Memberikan alibi lain yang akan membuat Bu Winda mengurungkan niatnya menyuruh Ify duduk bersamanya. Ketika seorang pemuda dengan kemeja awut-awutan dan dasi yang asal pasang menyembul dari balik pintu. Nafasnya tersengal. Nyengir tanpa dosa pada Bu Winda.

"Maaf Bu, saya telat. Hehe..." ujar pemuda itu.

"Rio... Rio..." Bu Winda berdecak. "Kapan sih kamu berubah?" Bu Winda mendesah frustasi.

"Hehe... kapan-kapan ya Bu!" ujar Rio seenak udelnya. Kembali nyengir. Lantas terkesiap saat ia menyadari bahwa ada seorang gadis yang belum di kenalnya berdiri di samping Bu Winda. "Murid baru ya?" tanya Rio.

Ify tersenyum. Menganggukan kepala.

"Wih!" mata Rio langsung membelalak. Buru-buru merapikan kemeja serta dasinya. Menggosokkan kedua telapak tangannya. "Gue Mario. Panggil gue Rio kece!" Rio mengulurkan tangannya. Menunggu Ify untuk segera meraih tangannya.

Ify hendak membalas uluran tangan Rio, ketika Bu Winda berdeham. Mempelototi Rio yang kemudian tersipu. Salah tingkah.

"Rio, ini Ify. Ify akan duduk di tempat kamu. Kamu ga apa-apa kan duduk di belakang?" tanya Bu Winda.

"Dengan senang hati ku berikan tempat dudukku untuk gadis cantik ini Bu!" ujar Rio. Mengerlingkan matanya pada Ify. Sebenarnya, bukan sepenuhnya karena Ify ia bersedia duduk di belakang. Tapi juga karena ia bisa tidur ketika jam pelajaran tanpa ketahuan. Ia malas mendengarkan ceramah guru. Apalagi pelajaran yang berhubungan dengan angka-angka. Sangat membosankan.

Gabriel ternganga. Menatap Rio tajam. Yang ditatap menjulurkan lidah jahil. Habis, Gabriel tidak asyik. Dia sering mengusik tidurnya. Dia juga tidak pernah memberinya contekan pada saat ulangan. Dasar sahabat yang pelit.

Gabriel mendengus. Rio memang tidak bisa diajak kompromi. Mungkin, ia telah mengharapkan hal ini terjadi sejak lama. Gabriel mengumpat dalam hati.

"Sekarang kamu ga berhak menolak apa kata Ibu, Gabriel. Rio, Ify, silakan duduk!" kata Bu Winda.

Rio dan Ify melangkah menuju tempat duduk mereka. Ify menyimpan tas selempangnya di atas meja. Duduk dan mengeluarkan alat tulisnya dari dalam tas. Bersiap menyimak materi yang akan disampaikan Bu Winda. Sebelum itu, ia mengulurkan tangannya pada Gabriel. Seraya mengucapkan "Ify" dengan nada yang ceria.

Gabriel membuang muka. Untuk apa? Tadi gadis itu sudah memperkenalkan diri di depan kelas. Kenapa harus diulang? Kesan pertama ketika ia melihat gadis itu, ia sudah tidak suka. Mungkin sampai nanti, ia akan tetap tidak suka pada Ify. Terkecuali kalau Gabriel mau sedikit saja melunakan hatinya.

Sementara Rio, murid yang terkenal karena kenakalannya itu duduk di tempat barunya. Meletakan kepalanya di atas meja. Beberapa menit lagi, ia akan mendengkur. Menghindari koaran Bu Winda yang baginya sama sekali tidak penting itu. Jelas saja. Buat apa ia menghitung laju kapur yang jatuh? Kurang kerjaan. Begitu kilahnya setiap kali ia ditanya mengapa ia tak menyukai fisika.

Oik, gadis berambut pendek yang duduk di belakang Gabriel dan Ify mendesah tak kentara. Entah mengapa, ia merasa bahwa kehadiran Ify akan membawa dampak yang kurang baik. Setidaknya, untuk sahabatnya nun jauh di sana. Gadis itu terkesiap. Semoga saja tidak. Sudah terlalu lama sahabatnya itu mengecap luka. Jangan sampai hal ini membuatnya abadi berteman duka.

***

Bel istirahat berbunyi, tepat ketika Rio yang lima menit lalu terjaga dari tidurnya hendak melejit keluar kelas. Perutnya sudah berdangdut ria sejak tadi. Tepat pula ketika Bu Winda berjingkat dari kursinya, dan berkata, "Rio, kamu ikut Ibu! Ibu belum kasih hukuman buat kamu."

Rio mendesah kecewa. Wajahnya murung. Teman-temannya bersorak mencibirnya. Sial. Rio merutuk dalam hati.

Dengan langkah gontai, Rio mengikuti perintah dari Bu Winda. Namun ketika ia melewati meja Gabriel dan Ify, ia masih menyempatkan diri menggoda Ify dan menertawakan wajah Gabriel yang cemberut.

Gabriel mengangkat tangannya yang mengepal. "Lihat saja nanti Rio!" gumam Gabriel pelan. Bergegas pergi keluar kelas.

Ify memandangi sekelilingnya. Sudah tidak ada orang. Ia langsung berlari mengejar Gabriel. Meraih tangannya hingga langkahnya tertahan.

"Apa sih?" Gabriel melepaskan tangannya dengan kasar.

"Aku lapar." kata Ify.

Gabriel cuma melongo. Kenapa gadis itu malah melaporkan keluhannya padanya? Masakah ia mau meminta dirinya untuk membelikannya makanan?

"Aku ga tahu kantinnya di mana. Boleh antar aku? Gabriel, please!" Ify memelas. Ia mengerjapkan matanya.

"Ga mau." tolak Gabriel mentah-mentah.

"Kamu kan duduk sama aku. Jadi kamu harus tanggung jawab. Ayo antar aku!" Ify memaksa. Kini ia menggoyang-goyangkan tangan Gabriel.

"Peraturan dari mana tuh? Gue tetap ga mau!" Gabriel memalingkan wajah.

"Kamu tega kalau aku mati kelaparan?" tanya Ify sarkatis. Menunduk.

Gabriel melirik gadis berdagu lancip itu. Mendapatinya dengan ekspresi seperti itu membuatnya kasihan. Sial. Gabriel memutar bola mata. Setelah mendesah, ia menarik lengan Ify menuju kantin.

Ify tersenyum menyeringai.

Sesampainya di kantin, Ify langsung memesan dua mangkuk bakso. Satu untuknya, dan satu untuk Gabriel.

Tiga menit kemudian, pesanan datang. Seorang pelayan kantin meletakkan dua mangkuk bakso di atas meja. Setelah mendapatkan ucapan terimakasih, pelayan tersebut undur diri.

Ify meraih sendok beserta garpu. Ia tak sabar untuk mencicipi bakso di hadapannya.

Sedangkan Gabriel meneguk ludah. Ia tak habis fikir, gadis mungil yang berada di sebrang mejanya itu akan menghabiskan dua mangkuk bakso sekaligus. Gabriel berdecak.

"Lo beneran lapar ya? Ampe mau makan dua mangkuk bakso. Ckck..." kata Gabriel.

Ify berhenti mengunyah. Tersenyum.

"Enggak kok. Ini kan buat kamu." ujar Ify.

Gabriel bergidik. "Ga mau!"

"Harus mau!" Ify memaksa. "Ayolah!" Gadis itu memasang wajah memelas seperti tadi.

Entah apa yang terjadi, namun setelah Ify memelas, Gabriel tidak lagi bersikeras menolak. Ia mulai melahap semangkuk bakso yang dibelikan Ify untuknya.

Dan tanpa disadari, Oik tengah mengintai mereka dari kejauhan. Ia mulai gelisah melihat mereka yang bisa langsung seperti itu. Gadis itu benar-benar berbahaya. Ia jauh lebih hebat dari apa yang dikiranya.

***

Gadis itu langsung melempar tasnya ke sembarang tempat. Ia cepat menyambar laptop dan menghidupkannya. Menekan keyboard hingga siap untuk mengirimkan e-mail. Hari ini, melakukan tugas rutinnya. Melaporkan apa-apa yang terjadi seharian ini. Terutama menyangkut pemuda itu.

"Ada murid baru. Namanya Ify. Dia cantik. Dia duduk sama Gabriel. Awalnya, Gabriel ga suka sama dia. Tapi, tadi aku lihat mereka makan bareng di kantin. Cepat pulang! Jangan sampai terlambat! Atau kalau enggak, kamu pasti menyesal."

Klik! Mengirim.

Gadis penerima e-mail itu memukul-mukul dadanya sedetik setelah ia membaca isi e-mail itu. Kenapa? Kenapa Tuhan harus membuatnya terpisah dalam waktu yang sangat lama dengan pemuda yang dicintainya? Cinta pertamanya.

Gadis itu berhenti menyakiti dirinya setelah seorang pemuda tampan datang untuk menenangkannya. Jadilah yang terjadi, gadis itu menumpahkan tangis dalam dekap sang pemuda.

***

Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentari